Minggu, 20 September 2020

Kenapa Wanita Haid Dilarang Ke Pura?

 

Dalam tulisan yang dimuat di harian Nusabali tertanggal 13 Sepetember 2020 dijelaskan bahwa perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang dalam fase Cuntaka atau Sebel. Di beberapa tempat di Bali menghaluskan arti menstruasi dengan istilah kotor kain. Dalam tradisi Hindu di Bali secara sederhana Sebel dianggap sebagai kotor secara Niskala. Maka dari itu, wanita yang sedeng Sebel tidak dianjurkan ke pura bahkan ada yang dilarang melakukan aktifitas yang berkaitan dengan yadnya. Yadnya dimaksud dimulai dari yadnya Ayah-Ayahan Karya setingkat Ngenteg Linggih, mempersiapkan atau Nanding Banten hingga membuat Banten Saiban sehari-hari. Di beberapa tempat di Bali, Kekeran atau batasan waktu pemberlakuan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi biasanya antara 3-7 hari.
             
Sebagai tanda berakhirnya Cuntaka ditandai dengan Melukat atau keramas. Selain Cuntaka karena menstruasi, ada juga Cuntaka karena melahirkan. Pada jaman dahulu, Cuntaka karena melahirkan selain dilarang Mebanten juga tidak boleh masuk ke dapur. Alasannya karena dapur dipandang sebagai tempat suci. Dimana api diyakini sebagai dewa Brahma. Batas waktu tidak boleh ke dapur selama 42 hari. Kenapa wanita usai melahirkan dilarang masuk ke dapur? Karena makna Sebel bukan hanya merujuk kondisi lahiriah. Tetapi juga keadaan bhatin dan kejiwaan seseorang. Misalnya perempuan usai melahirkan secara fisik tentu masih lemah. Oleh sebab itu, mengapa pada jaman dahulu perempuan yang sedang menstruasi atau usai melahirkan dilarang ke dapur? Karena masih lemah untuk mengambil pekerjaan di dapur yang tidak ringan tentunya.
         
Kenapa wanita saat menstruasi dilarang Nanding Banten? Karena Banten tidak saja berarti material persembahan rasa sujud bhakti kepada tuhan. Namun sebagaimana lumrah dipahami untuk Hindu Bali, Banten sebagai simbol dewa dan dewi. Dan Nanding Banten itu sama dengan menstanakan dewa. Karena itu dengan logika sederhana tentu kurang pas jika sesuatu yang dipandang suci dibuat oleh mereka yang sedang Sebel.

Kamis, 13 Februari 2020

Konsep Keesaan Tuhan Dalam Hindu.

Dalam dialog jumat koran Kompas tanggal 11 Januari 2019 menjelaskan konsep keesaan Tuhan dalam agama Hindu tidak gampang untuk diterangkan. Orang-orang non- Hindu biasanya dengan mudah menyimpulkan agama Hindu tidak mengenal konsep keesaan Tuhan. Yang selalu terbayang di dalam benak mereka, ada tiga sosok yang dipersepsikan sebagai Tuhan atau Dewa, yaitu Brahma yang dikenal sebagai Sang Pencipta, Wisnu sebagai Sang Pelindung atau Pemelihara, dan Syiwa sebagai Sang Penghancur atau Pelebur. Meskipun disebut tiga nama, Tuhan di dalam agama Hindu diyakini tetap Esa, yang di dalam kitab Upanisad disebut: Ekam evam adwityam Brahma (Hanya satu Tuhan, tidak ada yang kedua). Tuhan Yang Maha Esa itu disebut berbagai nama atau abhiseka.
        
Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama (seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan sebagainya. Namun jika dikaji lebih mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan, metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia lainnya.
            
Dalam keyakinan penganut agama Hindu, manusia tidak mungkin melukis sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, karena Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas. Apapun yang terlintas di dalam pikiran tentang Tuhan pasti itu bukan Tuhan. Konsep Keesaan Tuhan lebih bersifat apophatic daripada cataphatic. Inilah yang dimaksud konsep neti, neti (bukan, bukan) di dalam Tradisi Hindu India. Untuk memahami Keesaan Tuhan dalam agama Hindu, tak ada jalan lain kecuali terus mendalami ajaran agama dan memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Mereka disarankan untuk mendalami sejumlah buku-buku agama Hindu, seperti kitab Veda, dengan bagian-bagiannya seperti kitab Vedanta (Upanisad), yang keduanya menjadi sumber paling otoritatif dalam mendalami kedalaman ajaran agama Hindu.
                
Bagi orang yang taraf kognitif dan tingkat spiritualitasnya masih rendah atau pemula, mereka masih membutuhkan media dalam melakukan pemujaan. Mereka membutuhkan simbol untuk menghadirkan dirinya berupa arca (patung), relief, gambar, atau bentuk-bentuk fisik lainnya.
Dalam melaksanakan upacara ritual keagamaan, mereka masih membutuhkan sarana upacaranya dalam bentuk persembahan dan sakrifasi, seperti buah-buahan, makanan, binatang, dan lain lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai ke tingkat lebih tinggi, tidak perlu lagi memerlukan media apapun karena sudah biasa menghayati hakikat Tuhan (Brahma Nirguna) dan selanjutnya meleburkan dirinya menjadi diri-Nya. Ia sudah mencapai apa yang disebut dengan moksa, sebuah pembebasan diri dari berbagai kemelekatan materi dan duniawi. Mirip apa yang dialami praktisi sufi jika sudah mencapai tingkat fana dan baqa.
              
Tuhan hanya gagasan metafisik yang diciptakan untuk suatu keadaan. Ini mengingatkan kita pada filsafat Positivisme yang digagas oleh filosof Prancis, Auguste Comte (1798-1857), yang menyatakan perkembangan keberadaan manusia berproses dari fase mitos-spiritual yang berawal dari tahap fetiyisme (pemujaan terhadap benda-benda), kemudian berkembang ke tahap monoteisme. Perkembangan akal budi manusia belakangan sudah bisa menyingkirkan asumsi-asumsi teologis yang membatasi otonomi dan otoritas manusia atas nama Tuhan.
                
Tentang ajaran keesaan Tuhan, ada dua mazhab yang dominan dalam agama Hindu, yaitu Mazhab Dwaita (Dvita) dan mazhab Adwaita (Adwita). Yang pertama mengakui adanya dualitas Tuhan (the duality of God), yakni mengakui adanya personal God (Brahma Nirguna). Mereka mengakui dan memuja Tuhan dengan berbagai nama, seperti Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain. Sedangkan yang kedua menolak dualitas ketuhanan (the duality of God) dengan menegaskan bahwa hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.
          
Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Wacana seperti ini mengingatkan kita ke dalam teologi Islam yang juga ada menekankan apek tasbih (similitary) dan yang lainnya menekankan aspek tanzih (uncomparability) Tuhan dengan makhluknya. Mazhab ini mirip dengan monoisme atau panteisme karena meyakini alam semesta tidak sekedar berasal dari Brahman, namun pada “hakikatnya” sama dengan Brahma.