Dalam tulisan yang dimuat di harian Nusabali tertanggal 13 Sepetember 2020 dijelaskan bahwa perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang dalam fase Cuntaka atau Sebel. Di beberapa tempat di Bali menghaluskan arti menstruasi dengan istilah kotor kain. Dalam tradisi Hindu di Bali secara sederhana Sebel dianggap sebagai kotor secara Niskala. Maka dari itu, wanita yang sedeng Sebel tidak dianjurkan ke pura bahkan ada yang dilarang melakukan aktifitas yang berkaitan dengan yadnya. Yadnya dimaksud dimulai dari yadnya Ayah-Ayahan Karya setingkat Ngenteg Linggih, mempersiapkan atau Nanding Banten hingga membuat Banten Saiban sehari-hari. Di beberapa tempat di Bali, Kekeran atau batasan waktu pemberlakuan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi biasanya antara 3-7 hari.
Sebagai tanda berakhirnya Cuntaka ditandai dengan Melukat atau keramas. Selain Cuntaka karena menstruasi, ada juga Cuntaka karena melahirkan. Pada jaman dahulu, Cuntaka karena melahirkan selain dilarang Mebanten juga tidak boleh masuk ke dapur. Alasannya karena dapur dipandang sebagai tempat suci. Dimana api diyakini sebagai dewa Brahma. Batas waktu tidak boleh ke dapur selama 42 hari. Kenapa wanita usai melahirkan dilarang masuk ke dapur? Karena makna Sebel bukan hanya merujuk kondisi lahiriah. Tetapi juga keadaan bhatin dan kejiwaan seseorang. Misalnya perempuan usai melahirkan secara fisik tentu masih lemah. Oleh sebab itu, mengapa pada jaman dahulu perempuan yang sedang menstruasi atau usai melahirkan dilarang ke dapur? Karena masih lemah untuk mengambil pekerjaan di dapur yang tidak ringan tentunya.
Kenapa wanita saat menstruasi dilarang Nanding Banten? Karena Banten tidak saja berarti material persembahan rasa sujud bhakti kepada tuhan. Namun sebagaimana lumrah dipahami untuk Hindu Bali, Banten sebagai simbol dewa dan dewi. Dan Nanding Banten itu sama dengan menstanakan dewa. Karena itu dengan logika sederhana tentu kurang pas jika sesuatu yang dipandang suci dibuat oleh mereka yang sedang Sebel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar