Kamis, 09 Mei 2024

Tentang Ritual Nawur Sesangi.

Menurut saya, Sesangi atau kaul itu terucap berawal dari rasa panik seseorang. Contohnya punya anak kesayangan menderita sakit keras dan hampir mati. Atau ketika seseorang hampir tenggelam di laut. Saking paniknya, mereka secara tidak sadar telah mengucapkan Sesangi atau Kaul. Makanya Sesangi itu sering pula disebut Saud Atur atau salah ucap. Ketika seseorang mengucapkan Sesangi bukan berarti mereka melakukan transaksi pada tuhan. Tidak begitu maksudnya. Yang jelas, seperti yang saya katakan tadi, Sesangi itu terucap berawal dari rasa panik seseorang sehingga mereka tidak menyadari apa yang telah mereka ucapkan. Apakah hal itu keliru? Jujur, saya tidak berani menyalahkan orang yang Mesesangi. Karena saya tahu betapa tertekannya perasaan seseorang saat panik.

Tetapi yang perlu diingat, Sesangi atau Janji, kalau bisa harus segera dilunasi setelah permohonan kita terpenuhi. Karena kita sadar bahwa kehidupan kita tidak abadi dan tidak ada satu pun orang di antara kita yang mengetahui akan datangya kematian. Dan siapa juga yang bisa memberitahukan akan datangnya kematian seseorang. Oleh sebab itu bayarlah Sesangi semasih kita hidup. Karena jika Nawur Sesangi dilakukan setelah kita meninggal, maka sungguh kasihan sekali anak cucu kita akan melakukan Upacara Nunas Ke Dalem  sehingga jumlah biaya yang dikeluarkannya akan membengkak. Sehubungan dengan hal itu, maka bayarlah Sesangi semasih kita hidup.


                

Tentang Ahimsa.

Topik yang paling kontroversial biasanya seperti apa yang telah saya amati di ruang publik baik secara online maupun di dunia nyata adalah topik yang membahas tentang tradisi di bali yang mempersembahkan daging binatang. Biasanya kelompok orang orang yang belajar Weda apalagi vegetarian, mereka pasti akan menganggap hal itu adalah tradisi yang bertentangan dengan Weda. Dan melanggar konsep Ahimsa. Tapi bagi mereka yang menganut tradisi itu, akan mengatakan bahwa tradisi itu tidak bertentangan dengan Weda. Lalu opini yang mana yang benar? Apakah kelompok orang orang belajar Weda atau kelompok penganut tradisi? Jadi, menurut saya, karena saya ini adalah orang yang bersifat fleksibel dan universal, jadi semua opini, saya anggap benar. Saya tidak memihak kubu manapun. Karena semua kubu saya rangkul. Lalu bagaimana solusinya agar mereka tidak selalu berselisih paham? Solusinya adalah belajar menghargai prinsip orang lain. Hargailah selama prinsip tersebut tidak melanggar nilai nilai kemanusiaan dan tidak melanggar hukum. Itu saja. Mudah kan?

Kategori menyakiti ada dua yaitu menyakiti fisik, dan menyakiti pikiran. Selama ini orang-orang hanya mengkritik tradisi memotong hewan untuk Yadnya saja. Padahal konsep ahimsa bukan hanya itu saja. Karena ada hal-hal yang harus dihindari agar perasaan seseorang tidak tersakiti yaitu dengan cara menghormati tradisi orang lain. Janganlah menentang tradisi orang lain secara ekstrem dan radikal. Karena perbuatan itu juga termasuk melanggar konsep Ahimsa.

Contoh lain, jika kita berjanji bertemu jam 10.00 sebaiknya kita harus tepat waktu. Itu juga termasuk contoh menjalankan konsep Ahimsa. Banyak lagi contoh-contoh lainnya. Jika kita mampu melakukan dendam, tetapi kita sengaja tidak menjalankan dendam, itu juga termasuk contoh melaksanakan ajaran Ahimsa. Kita menakut-nakuti monyet yang suka mengganggu persembahyangan di Pura dengan senapan palsu itu dibenarkan dalam ajaran Hindu. Karena kita tidak menyakiti, cuman menakut-nakuti saja.


Hormatilah Orang Tuamu Semasih Hidup.

Memuja leluhur adalah tradisi yang sangat bagus. Makanya sebagian besar masyarakat Bali yang beragama Hindu pasti memiliki Pelinggih Kemulan atau Rong Telu dan sebagainya. Karena Kemulan adalah tempat untuk menghormati leluhur. Tetapi alangkah bagusnya jika kita juga menghormati orang tua semasih hidup. Jika mereka sakit, rawatlah mereka. Dan carikanlah pengobatan agar kondisi mereka pulih kembali. Dan anak yang baik adalah anak yang selalu berusaha agar tidak melukau hatinya. Karena jaman sekarang, banyak anak muda yang malu memiliki orang tua yang sudah renta. 

Saya pernah menyaksikannya sendiri. Ketika anak muda jaman sekarang mengadakan resepsi pernikahan, orang tuanya dititipkan ke rumah tetangga karena malu pada temannya memiliki orang tua yang sudah renta dan bau. Aduh, Anak macam apa itu? Dimana rasa terimakasih mu pada orang tua mu? Harta dan kekayaan orang tuamu, engkau nikmati. Sementara orang tuamu kau titipkan ke rumah tetangga. Padahal orang tua ingin sekali ikut merasakan kebahagiaan anaknya dalam upacara pernikahan. 

Jika kamu adalah anak yang berbakti pada orang tua seharusnya kamu malu dengan perbuatanmu itu. Seharusnya berikanlah mereka pakaian baru dan minyak wangi agar mereka tidak bau.. Karena Hindu tidak hanya mengajarkan sembahyang saja. Hindu memiliki konsep Trihita Karana yang artinya tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya.
         
Jika melihat orang atau hewan kelaparan, sebaiknya berikanlah dia makanan. Makanya di Bali ada tradisi Ngejot atau memberikan makanan kepada orang lain ketika menggelar hajatan. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama. Ada juga istilah Mesaiban atau ritual menghaturkan sejumput nasi kepada alam sehabis masak nasi. Tujuannya adalah agar kita tidak mementingkan diri sendiri. Sejumput nasi yang kita taruh di setiap tempat agar dinikmati juga oleh hewan yang sedang kelaparan seperti kucing, anjing, ayam, semut dan hewan serangga lainnya. Kita harus ikut merasakan penderitaan mahluk lain. 
            
Dalam ajaran hindu sebenarnya tidak menyetujui mengurung atau membelenggu hewan. Biarkan mereka hidup di habitatnya, biarkan mereka bebas. Kita memang senang memelihara burung, mungkin karena senang mendengar kicauannya. Tapi kita tidak tahu apakah kicauan itu kicauan senang atau sedih?. Coba bayangkan, pada saat Corona melanda dunia, kita disuruh agar tinggal di rumah saja. Tidak boleh ke mana-mana. Bagaimana perasaan kita saat tinggal di rumah saja? Stress bukan? Nah, begitu juga dengan hewan-hewan yang mengalami pembelengguan karena ulah ulah manusia. 
                 
Kita hendaknya  selalu berbuat baik dan jangan Takabur. Karena hanya perbuatan baiklah yang akan menuntun kita ke alam sorga. Maka dari itu, usahakan sedapat mungkin agar sedari kecil kita melaksanakan ajaran Dharma. Hidup ini tidak kekal adanya, dan siapakah kiranya yang akan bisa memberitahukan datangnya kematian?  Dan yang ikut sebagai teman ke alam baka hanyalah perbuatan baik dan buruk. Sanak saudara hanya mengantar sampai batas kuburan , jadi berusahalah berbuat baik , yang akan menjadi sahabat yang akan menuntun jiwa ke alam baka.


Hidup Seharusnya Penuh Sukacita.

Hampir semua orang mendambakan agar memiliki wajah yang berwibawa, simpatik, berkharisma dan memilki Aura positif. Tapi tidak tahu bagaimana caranya. Malah menunjukkan muka galak. Dikiranya Wibawa itu bisa diraih dengan menunjukkan wajah jutek. Justru orang seperti itu dijauhi oleh semua orang. Lalu bagaimana caranya agar berwibawa? Resepnya sederhana. Yaitu hidup harus penuh dengan sukacita. Makanya tradisi di Bali, selalu menampilkan kegembiraan. Entah itu suasana berkabung, selalu disambut dan diwarnai dengan penuh sukacita. Misalnya iring-iringan pada ritual Ngaben atau pembakaran jenazah, selalu diwarnai dengan meriah seperti gambelan Baleganjur. Mungkin maksudnya agar keluarga yang ditinggalkan diharapkan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Kita disarankan agar bisa memisahkan hubungan Alam yang berbeda. Roh orang yang telah meninggal sudah berada di alam yang berbeda dengan kehidupan manusia. Makanya pada saat memandikan jenazah ada istilah Mepepegat yang berasal dari kata Pegat. Jika diterjemahkan Pegat berarti putus.
           
Walaupun dalam tradisi tersebut mengajarkan untuk ikhlas, tapi berhasil atau tidaknya menahan sedih, Itu tergantung kita. Diselimuti rasa sedih pada saat  ditinggal mati oleh orang-orang yang kita sayangi, itu sudah pasti. Dan hal itu adalah manusiawi. Jangankan kita yang notabene manusia awam, Awatara seperti Rama pun juga pernah bersedih ketika Laksamana mati suri saat bertarung melawan Meganada putranya Rahwana dalam cerita Ramayana. Mungkin hal itu juga akan dirasakan oleh para penceramah agama, penulis buku-buku Hindu, dan lain sebagainya. Mereka pasti Sedih ketika memiliki keluarga meninggal. Tapi Hindu menganjurkan agar kita selalu bersukacita. Apapun yang terjadi, kita harus bersukacita. Bahkan saat duka melanda pun, kita dituntut agar bersukacita. Saat memiliki kematian saja, kita disarankan bersukacita. Apalagi saat menyambut hari raya seperti Galungan. Menjelang Galungan kan ada istilah penampahan atau tradisi memotong babi. Betapa gembiranya hati kita saat menikmati sate babi maupun lawar Bali. Seakan-akan kita berada di alam sorga. Saat itu kita sedang bersukacita 

Jika pada saat Galungan sampai saat ini kita bisa hidup rukun dengan sesama, barulah kita layak disebut menang melawan Adharma. Karena mulai hari Galungan sampai saat ini, seharusnya kebiasaan-kebiasaan buruk harus dihilangkan misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk minuman beralkohol, menghilangkan kebiasaan berjudi , dan menghentikan kebiasaan buruk lainnya seperti melakukan seks bebas. Jika hal itu bisa dihilangkan, barulah kita bisa menjadi manusia merdeka. 


Kapan Sebaiknya Kita Puasa?

Ada sebuah pertanyaan di sebuah grup di Facebook yang diberi nama "Grup Ajaran Suci Agama Hindu" dari Akun yang berinisial Desak di Lombok. Dia menanyakan, apakah puasa Senin Kamis itu ada dalam ajaran agama Hindu? Atau puasa pada saat purnama saja? Dan bagaimana kisaran waktunya?

Menurut saya, mengenai Puasa Senen dan Kamis itu mungkin berasal dari tradisi Kejawen.  Karena Puasa senin dan kamis itu manfaatnya lebih cenderung ke hal hal yang bersifat Hoki, rejeki, dan keberuntungan. Biasanya dilakukan oleh orang orang yang rejekinya sedang seret. Mengenai kisaran waktu puasa dapat dilakukan kapan saja sebagai bentuk Tapasya atau pengendalian diri. Tapi idealnya dilakukan di hari sakral seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Galungan , Kuningan, Sivaratri dan lain lain. 

Tapi juga bisa dilakukan setiap hari selama setengah hari. Atau sebaiknya dicicil dulu. Mulai dari durasi 12 jam yaitu dari munculnya matahari sampai matahari terbenam. Intinya, puasa itu selain latihan menahan rasa lapar, puasa juga merupakan latihan mengawasi pikiran dan badan. Nanti jika sudah berhasil melakukan puasa selama 12 jam barulah naikkan durasinya  menjadi 24 jam disertai dengan latihan menahan rasa kantuk. 

Sedangkan puasa menurut tradisi Bali adalah pada saat Purnama dan Tilem. Atau juga sehari sebelum Purnama dan sehari sebelum Tilem. Biasanya umat Hindu di Bali berpuasa berdasarkan hari hari suci seperti pada saat Saraswati, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem dan sebagainya. Yang namanya puasa biasanya sama sekali tidak makan dan minum. Jika masih mengkonsumsi makanan atau minuman, itu tidak bisa disebut berpuasa. Melainkan Me-Brata. Seperti tidak makan daging, atau hanya makan nasi putih saja tanpa lauk dan sayur. Karena ajaran Hindu itu bersifat Fleksibel, Jadi di Bali tidak ada paksaan dalam menjalankan puasa. Karena melakukan puasa harus didasari dengan niat sungguh-sungguh, harus bersih jasmani dan rohani, berdoa pada tuhan, dan melakukan kewajiban dengan benar.

Dalam Hindu juga ada istilah puasa Ekadashi. Puasa tersebut kisaran waktunya hampir 36 jam. Tetapi diperbolehkan makan buah, sayur, dan umbi umbian. Selain dari Ekadashi, tidak boleh melakukan hal itu. Ekadashi itu jatuhnya 3 hari sebelum purnama dan 3 hari sebelum Tilem. 

Dalam hal berpuasa sebenarnya bukan hanya mengendalikan nafsu makan saja. Melainkan, juga mengendalikan segala nafsu yang ada pada diri manusia. Ketika dalam berpuasa yang dikendalikan hanya nafsu makan saja, itu namanya diet. Bukan puasa.

Sementara dalam buku yang berjudul 5 Steps To Awareness yang ditulis oleh Anand Krishna dijelaskan bahwa hampir semua agama dan semua tradisi menganjurkan puasa. Sayangnya, terkadang maksudnya tidak dipahami dengan baik. Puasa adalah satu-satunya cara untuk mengistirahatkan mekanisme tubuh kita khususnya sistem pencernaan. Badan butuh istirahat, dan itu antara lain bisa dipenuhi dengan puasa. Kendati demikian, puasa bukanlah kebutuhan badan saja. Karena itu, saat badan berpuasa, pikiran dan perasaan pun ikut berpuasa. Puasa bukanlah perpindahan jam makan karena kewajiban, ketakberdayaan atau peraturan. Puasa paksaan semacam itu tidak pernah mengistirahatkan pikiran dan perasaan. Karena saat berbuka puasa, ia cenderung makan berlebihan. Dan ia menjadi liar. Berpuasalah dengan penuh kesadaran karena puasamu tidak membantu siapa-siapa kecuali dirimu. Saat berpuasa tubuh memperoleh kesempatan untuk melakukan pembersihan dalam rumah. Demikianlah tentang puasa dan kaitannya dengan makanan dan minuman. Namun puasa tidak hanya terkait dengan makanan dan minuman. Pengendalian hawa nafsu dan pengendalian diri itu pun bisa disebut puasa.

Sementara dalam buku fear management halaman 42 karya Anand Khrisna dijelaskan bahwa puasa juga dapat membebaskan diri kita dari rasa takut yang muncul karena lapar. Namun yang beliau maksud adalah puasa dengan penuh kesadaran, bukan sekadar menahan lapar. Puasa menahan lapar sebagaimana dilakukan secara umum berakibat langsung pada harga bahan makanan di pasar dan supermarket. Semuanya naik karena saat menjalani puasa itu kita malah menjadi rakus. Karena makanan melulu yang terpikir setiap saat dan sepanjang hari. Saat buka puasa, kita menyerbu meja makan seperti kawanan serigala buas yang kelaparan.



             

Jumat, 03 Mei 2024

Menghormati Perbedaan Antar Hindu.

Berdebat karena perbedaan sering terjadi karena faktor pengetahuan yang tidak terbatas tapi dipahami dengan dasar pemikiran dan pemahaman yang terbatas. Jika kita duduk berdampingan di puncak yang sama maka akan terjadi sedikit perdebatan. Tapi jika kita duduk pada ketinggian yang berbeda, pasti akan terjadi banyak perdebatan. Orang yang duduk di atas meja dengan yang duduk di atap rumah, pasti berbeda jangkauan dan pandangannya. Orang yang naik di anak tangga kedua dengan yang sudah berdiri di anak tangga ke sembilan tentu juga akan berbeda pandangannya. Mari kita sama-sama belajar dan jangan malu mengakui kalau masih meniti di anak tangga terendah. 

Berbeda itu sudah kodrat alam ciptaan tuhan. Terkait perbedaan, kita tidak boleh mencela. Hiduplah berdampingan, saling menghormati, dan toleran terhadap perbedaan. Kalau mencela, orang yang dicela pasti tidak akan terima bahkan sebaliknya akan mencela lagi. Karena keegoisan manusia, ia merasa tidak perlu minta maaf saat berbuat salah dan tidak mau mengalah terhadap kesalahannya sehingga kesalahannya ditimpakan kepada orang lain. Dalam berkeyakinan, sikap toleransi mutlak diperlukan dalam perbedaan. Karena perbedaan itu indah seindah taman bunga. Tapi orang yang egois selalu menonjolkan kebenaran pribadinya khususnya dalam perbedaan berkeyakinan seperti perbedaan beragama, etnis, budaya, berbangsa, dan bernegara. Sifat egois yang lain adalah suka menilai buruk tentang orang lain. Ingat, Hindu itu fleksibel, universal, rasional, ilmiah, dan alamiah.

Sebagian besar penduduk Bali pemeluk Hindu, mereka menyadari asal-usul mereka berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bali dikenal gemar menelusuri asal-usul tersebut. Sebagian bangga memiliki leluhur dari tanah Jawa atau Majapahit. Yang lain bangga sebagai keturunan Bali asli. Darimanapun manusia Bali berasal, sebagai pemeluk Hindu tentu mereka tidak bisa mengelak bahwa peradaban sehari-hari orang Bali bersumber dari India. Doa-doa, filosofi hidup, tata krama, etika, dan ritual manusia Bali pasti sangat besar dipengaruhi peradaban India. Kendatipun runtutan upacara keagamaan orang Bali tidak sama dengan pemeluk Hindu di India, namun jiwa spirit orang Bali punya nafas kuat budaya India. Mereka berpikir, karena Hindu dari India dan dianut oleh orang Bali semestinya banyak tradisi India tampak jelas di Bali. Ternyata tidak. Bali dengan gemilang membentuk peradaban Hindu yang unik. Mereka yang bertahan pada cara-cara beragama sesuai tradisi Bali tentu membela diri dengan mengatakan, untuk apa harus meniru seutuhnya peradaban India kalau kita di Bali sudah memiliki tradisi beragama yang khas dan tidak menyimpang dari Weda?
            
Bhagawadgita mengajarkan dengan cara apapun seseorang memuja tuhan, beliau tidak pernah mempersoalkan. Masing-masing pemuja tuhan punya asal-usul berbeda. Ibarat seorang petani dengan petani lainnya. Petani jeruk akan mempersembahkan jeruk ranum ke hadapan tuhan ketika panen. Sementara petani pisang akan mempersembahkan pisang sebagai sujud dan terimakasih. Biarkanlah mereka berbeda dalam cara penyampaian sepanjang yang satu tidak pernah memaksa yang lain untuk mengikuti caranya. Biarkanlah mereka berbeda jika dengan perbedaan itu mereka terhindar dari perusakan satu sama lain. Yang mengkhawatirkan adalah jika yang satu menghina cara yang lain dan selalu mencari celah untuk memaksakan kehendak. Cara orang Bali memahami Hindu India tentu tidak perlu dipertentangkan dengan orang Bali yang melaksanakan ajaran Hindu sesuai tradisi Bali. Biarkanlah semua itu berbeda karena pada akhirnya jaman jua yang menguji kelanggengan pihak umat terhadap perbedaan itu. Mungkin kelak di Bali ada kelompok yang melaksanakan tradisi Hindu seperti orang-orang di India sana melakoninya. Sementara yang melakoni Hindu sesuai tradisi Bali tetap tidak tergoyahkan. Apa ruginya kalau keduanya diberikan tempat terhormat dan pantas?

Kita sudah seharusnya saling menghormati. Karena meskipun sama-sama Hindu, terdapat banyak sekali perbedaan antara Hindu di Bali dan Hindu di India. Agama Hindu di India sangat beragam dan memiliki banyak sekte seperti diantaranya Hindu Rama, Hindu Shinta, dan Hindu Hanoman. Sementara Hindu yang  berkembang di Indonesia identik dengan Bali mulai dari model tempat peribadatan dan bentuk-bentuk ritualnya. Penyebab utama perbedaan ajaran Hindu di Bali dan India yaitu karena Hindu memiliki sifat lebih moderat dan mampu menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat. Ajaran Hindu dengan mudah mengalami akulturasi tanpa menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku. Hindu di India mengambil filsafat dari Weda dengan tradisi asli masyarakat India. Sedangkan Hindu di Bali adalah suatu bentuk perpaduan antara filsafat Weda dan Buddha dengan upacara serta kultur khas masyarakat Bali. Secara kasat mata, banyak sekali yang membedakan antara Hindu di Bali dengan di India. 

Masyakat Hindu di Bali melakukan sembahyang tiga kali sehari yang disebut Trisandya. Sementara di India hanya dua kali pagi dan sore. Hindu di India sebagian besar memiliki gaya hidup vegetarian, sedangkan Hindu di Bali sangat sedikit. Peribadatan Hindu di Bali menggunakan Padmasana dan dilakukan terbuka. Di India memakai Lingga Yoni dan tertutup. Orang Hindu di Bali lebih memiliki sopan santun. Ketika ritual dimulai, semua Pemedek akan secara otomatis bersikap tenang. Masyarakat Hindu di India tidak. Mereka dengan tenang bisa melangkahi sesaji bahkan berteriak ketika pendeta sedang membacakan doa di kuil. Sehingga rasanya prosesi ibadah terasa kurang hikmat. Dalam beragama sebaiknya jangan terlalu mengurusi keyakinan orang lain . Karena Manusia diciptakan berbeda maka  hargailah perbedaan tersebut. Kita sebagai umat Hindu terasa lucu jika ribut sesama Hindu. Orang yang masih kukuh dengan adat Bali biarkan saja. Sementara orang yang menginginkan perubahan, sebaiknya atur diri masing masing. Orang yang ingin beragama simple, silahkan. Jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena Tidak ada ajaran yang menganjurkan hanya prinsip kita yang paling benar. Justru yang paling benar adalah Hukum karma dan Hukum Tuhan. Apapun keyakinanmu, tidak akan bisa lepas dari takdir Tuhan dan karmamu . Hiduplah dengan rukun walaupun berbeda, kita semua adalah Hindu

Penyebab Terjadinya Perdebatan Sesama Hindu Di Medsos.

Bagi yang pernah bergabung atau sekarang masih aktif menjadi anggota grup bernuansa Hindu di Facebook, pasti akan sering menjumpai komentar-komentar miring dalam sebuah Postingan. Kenapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya, Mungkin karena latar belakang yang menjadi anggota dalam grup tersebut berbeda etnis maupun berbeda aliran atau sekte. Masing-masing kelompok suka berdebat karena mempertahankan prinsipnya, memiliki egois yang sangat tinggi, merasa paling benar, dan selalu menganggap prinsip orang lain salah, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam sebuah group bernuansa Hindu sudah pasti ada pengguna akun palsu yang sengaja menyamar menjadi pengguna akun beragama Hindu. Mereka sengaja membuat Postingan atau komentar yang bersifat Provokatif agar umat Hindu itu menjadi pecah. Misalnya kita sering menjumpai ada oknum yang sengaja membuat Postingan seakan-akan melecehkan Haree Khrisna. Atau juga sebaliknya, ada oknum yang sengaja membuat Postingan seakan-akan menjelekkan ritual di Bali atau menjelek-jelekkan adat dan budaya orang Bali. 

Jika kita sebagai penekun spiritual seharusnya saling menghargai kelompok lain. Walaupun berbeda etnis maupun berbeda sekte. Jika kita saling menghargai, maka sudah dipastikan tidak akan ada keributan. Karena jati diri orang Hindu adalah suka menerima perbedaan serta menghormati budaya dan kearifan lokal.

Penyebab lainnya adalah Fanatisme. Pasalnya fanatisme yang berlebih melahirkan ketidaksukaan terhadap kelompok lain hingga menjadi kebencian sampai pada Intoleransi. Dan Intoleransi yang berlebih melahirkan benih-benih Radikalisme. Sedangkan Radikalisme yang berlebih melahirkan tindakan berupa ujaran kebencian hingga tindakan merusak, menyingkirkan, melukai, hingga mentiadakan dengan berbagai cara. Dari fitnah sampai melakukan pembunuhan karakter hingga pembunuhan fisik dengan cara melampiaskan kepada objek yang dibencinya dengan cara apapun. Semoga kehidupan bersama bisa saling menjaga dengan segala kurang lebih di dalam kesempurnaannya dengan saling menyadari sebagai sesama. Sebelum belajar ilmu agama, belajarlah tentang ilmu kemanusiaan. Supaya anda tidak cuma pandai ibadah. Tapi juga pandai menghargai orang lain. Jika ingin melihat kebaikan seseorang, janganlah hanya menilai dari betapa seringnya dia bersembahyang dan berdoa. Namun lihatlah bagaimana cara dia memperlakukan orang lain. Orang yang mengaku dirinya beragama seharusnya antara moral dan Sraddha haruslah sejajar.

Kalau kita ingin mempelajari agama seharusnya secara komprehensif dan dari segala segi. Juga secara berurutan maka kita tidak akan kaget melihat perbedaan. Ibarat membaca buku maka kita harus membaca bab per bab secara berurutan. Tidak bisa sekarang membaca bab satu besok membaca bab sepuluh. Menilai ajaran agama harus proforsional. Karena setiap buku memiliki misi tertentu dan metodologi berbeda walaupun untuk tujuan yang sama. Karena kita baru seperti terbuka kran agamanya sehingga ibarat orang kelaparan tiba-tiba melihat makanan, maka tanpa banyak pikir, semua dilahap. Padahal masing-masing makanan punya peruntukan tertentu. Akhirnya walaupun seseorang itu banyak membaca buku, mereka belum tentu paham terhadap maksud dari buku tersebut.

          

 

         

            
 



Benarkah Weda Hanya Boleh Diketahui Orang Orang Suci?

Ada yang mengatakan bahwa membaca kitab suci tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Pertanyaannya adalah, Siapakah yang boleh membaca dan Menafsirkan kitab suci? Apakah Sulinggih, pemangku, Guru Agama hindu, siswa atau mahasiswa Hindu, Umat Hindu dan Siapa saja termasuk non Hindu? Jika seseorang tidak berwenang membaca dan Menafsirkan kitab suci, tapi melanggar, apakah sangsi dan hukumannya?

Mungkin pertanyaan tersebut muncul ketika ada Sulinggih berdharma-wacana di media publik bahwa tidak sembarang orang boleh membaca atau menafsirkan kitab suci Weda. Mungkin maksudnya Mantra ya? Perlu saya jelaskan disini agar orang orang tidak bingung. Karena definisi Weda bagi orang Bali Hindu pasti identik dengan mantra mantra kepemangkuan atau mantra mantra Sulinggih. Makanya ada pernyataan bahwa tidak sembarang orang boleh membaca atau menafsirkan kitab suci Weda. Kecuali orang orang yang sudah Mediksa sprti Pemangku, Sulinggih dan lain sebagainya.

Mengenai pertanyaan, siapa saja yang boleh membaca kitab suci Weda? Jawabannya adalah jika membaca Weda seperti Purana, Itihasa, Upanisad, dan lain sebagainya, semua orang boleh membacanya. Tapi jika membaca Weda menurut definisi orang orang Bali Hindu (Mantra-mantra kepemangkuan atau Sulinggih), hanya orang yang telah Mediksa yang boleh membacanya. Mengenai apa sanksi dan hukumannya jika melanggar? Sanksi dan hukumannya tidak ada. Tetapi orang Walaka atau orang yang belum Mediksa, belum memiliki hak untuk Muput Upacara atau Muput Yadnya.







Senin, 15 April 2024

Siapa Nabi Agama Hindu?

Hindu tidak punya Nabi, tapi Hindu punya banyak Maharsi. Maharsi, Bukan Nabi. Para Rsi itu disebut Wipra, yaitu orang yang arif bijaksana. Orang yang ahli dan pandai. Hindu tidak mengenal Nabi, apalagi Nabi Terakhir, Tidak! Rsi adalah seorang spiritualis, yang berbeda jauh dengan Nabi. Hindu memang tidak memiliki tokoh sentral seperti Nabi dan itulah yang membedakan dengan keyakinan lainnya. Kenapa demikian? Begini :

Kebijakan alam semesta tidak akan dapat terserap hanya oleh satu orang dalam kurun waktu yang terbatas (dalam batas umur manusia), karena selalu akan ada hal yang baru muncul karena belum di ungkapkan. Itu sebenarnya sudah immanen dalam semesta, baru akan muncul pada periode berikutnya.

Maha Rsi akan muncul pada berbagai periode. Dengan kebijaksanaan yang agung itulah mereka (The Great Sage) menemukan esensi kebijaksanaan semesta deep-contemplation, anubhawa, sehingga kitab-kitab suci Sanatana Dharma bebas dari kalimat-kalimat kekerasan.

Sifat lain dari the great sage yaitu tidak mau di kultuskan karena kultus adalah pemeliharaan terhadap ego yang sudah tidak ada pada mereka. Kultus melahirkan fanatisme sempit. Artinya, Hindu mengenal banyak Maha Rsi yang menerima kebijakan Weda dalam banyak periode sebagai akibat anubhawa dimana egonya sudah terkikis.

Jumat, 12 April 2024

Benarkah Upacara Keagamaan Hindu Di Bali Adalah Suatu Pemborosan?

Di group Fb Paguyuban Hindu sering sekali saya lihat ada pengguna akun yang suka menuding bahwa ritual di Bali sebuah pemborosan dan ritual buang-buang duit. Pasalnya setiap enam bulan sekali umat Hindu di Bali harus mengeluarkan biaya banyak untuk keperluan yadnya dan acara Piodalan di pura. Belum ditambah dengan acara Ngenteg Linggih yang memakan biaya begitu banyak. Kenapa harus alamnya yang diberikan sesajen? Kenapa Bhutakala-nya yang harus disomia? Dan kenapa bukan manusianya yang harus diperbaiki agar sifatnya menjadi lebih berkualitas dalam bidang spiritual? Kenapa agama memberikan kita beban hutang berupa Tri Rna? Apakah hutang itu harus dibayar dengan ritual? Dan apakah hutang itu harus dibayar dengan biaya sampai jutaan rupiah?

Menanggapi tudingan tersebut, saya akan menjawab sebagai berikut. Pada intinya pelaksanaan umat Hidu di Bali mengambil konsep Bhakti Marga Yoga. Biarpun kita sering melakukan yadnya atau Ngodalin di pura setiap enam bulan sekali tetapi yang namanya Bhakti Marga adalah ketulusan dan keikhlasan bisa mencapai tujuan. Jadi sebagai tokoh agama, kita harus berpikir secara komprehensif yaitu bisa menilai masalah dari berbagai perspektif. Kita tidak bisa menilai masalah dengan menggunakan kacamata kuda yang lurus ke depan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena agama Hindu bukanlah ilmu pasti. Hanya masalahnya, kita merasa kasihan kepada umat yang berat secara ekonomi terlepas dari apakah mereka merasakan atau tidak?
                
Sebagai tokoh agama seharusnya kita tahu apa arti dari slogan Wasudewa Kutumbakam. Slogan itu maknanya bahwa kita semua adalah bersaudara. Di mata tuhan, semua mahluk punya hak yang sama. Termasuk hak memilih jalan untuk mendekatkan diri dengan tuhannya. Alangkah bijaknya, bagi orang yang merasa berilmu, merasa suci dan merasa pintar, sudah seharusnya memberikan wejangan yang bisa menyejukkan umat, bukan malah membuat propaganda. Pasalnya dalam menjalani kehidupan beragama sudah seharusnya sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan. Biarpun kita menyukai ritual, jika kita sudah mampu dan ikhlas, hal itu tidak menjadi masalah. Asalkan dengan catatan, ritual diimbangi dengan bersedekah atau suka menyisihkan uang untuk membantu orang-orang miskin. 

Yang perlu diingat adalah agama Hindu itu sifatnya fleksibel dan universal. Tuhan sengaja menciptakan manusia dengan agamanya yang berbeda-beda. Tapi jika kita bisa saling menghargai dan bisa introspeksi diri maka perbedaan itu akan menjadi sebuah seni. Terkadang keegoisan sering menimbulkan pertengkaran karena semuanya merasa paling benar dan paling tahu tentang tuhan. Maka dari itu, Hindu sering mengajarkan umatnya untuk menghilangkan musuh-musuh dan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Dalam Hindu ada konsep Trikaya Parisudha yaitu berpikir yang baik dan benar, berbuat yang baik dan benar serta berkata yang baik dan benar. Hindu juga memiliki konsep yang disebut Panca Satya salah satunya adalah Satya Wacana yaitu tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak sopan


Rabu, 10 April 2024

Mahabharata adalah sejarah.

Kenapa banyak orang yang mengatakan bahwa Mahabharata itu adalah dongeng? Menurut saya, mungkin karena kejadian-kejadian dalam cerita itu sangat ajaib. Misalnya ada wanita yang terlahir dari api seperti Drupadi. Ada juga yang terlahir dari telinga seperti Raja Anga. Ada juga yang memiliki anak tanpa melakukan hubungan seks. Melainkan lahir dari mantra yang diucapkan oleh dewi Kunti. Jadi para Pandawa itu semuanya terlahir dari mantra. Mungkin itulah sebabnya Mahabharata dibilang dongeng.

Jadi menurut saya, Mahabharata itu adalah sejarah. Mahabharata adalah peristiwa yang pernah terjadi lima ribu tahun yang lalu. Rsi Wyasa bukanlah pengarang Mahabharata. Melainkan beliau adalah penyusun peristiwa yang pernah terjadi pada saat itu. Kalau ada yang membantah pendapat saya, oke, saya tunggu bantahan anda.

Kenapa saya mengatakan bahwa Mahabharata itu adalah sejarah? Karena bukti tempat perang bangsa Bharata atau Kuruksetra masih ada sampai sekang. Dan tulang tengkorak yang ada di Kuruksetra adalah orang orang korban perang.

Memotong Hewan Untuk Yadnya Dibenarkan Menurut Lontar.

Jika berdiskusi tentang konsep Ahimsa di grup FB yang bernuansa Hindu, pasti akan menimbulkan kontroversi antar anggota grup. Pasalnya tradisi-tradisi Hindu di Bali sering dituding tidak sesuai dengan Weda. Alasannya, karena tradisi Hindu di Bali banyak sekali ada tradisi ritual yang menggunakan hewan korban sebagai persembahan. Karena sebagian besar umat Hindu di Bali masih menggunakan literatur literatur kuno seperti lontar Werti Sesana,  Lontar Tapeni Yadnya, Sundarigama, Yama Tatwa, Kusumadewa, dan lain sebagainya. Lontar tersebut adalah beberapa literatur kuno yang memperbolehkan umatnya mempersembahkan darah dan daging binatang. Mungkin itulah sebabnya jika membahas masalah Ahimsa di Medsos akan berujung perdebatan yang sengit. 
            
Pada dasarnya, setiap ritual yang memakai persembahan darah dan daging binatang adalah hasil imajinasi pikiran, persepsi pikiran, atau kesepakatan masyarakat. Yadnya di Bali merupakan Pawisik atau wahyu langsung dari tuhan. Makanya sebagian besar upacara Bhuta Yadnya pasti memakai babi guling. Tentang persembahan babi guling sangat erat kaitannya dengan paham Siwa Sidhanta dengan konsep Tantrayana. Babi guling diyakini sebagai simbol persembahan kepada dewi Durga yang akan memberikan anugrah kesaktian dan kharismatik. Babi guling dimaknai sebagai simbol memohon berkah, bermakna pembawa kemakmuran dan sebagai salah satu wujud syukur paling benar.
             
Memang belakangan ini ajaran Ahimsa sering disalahgunakan untuk menghakimi ritual yang dilakukan masyarakat Bali yaitu Caru. Konflik terjadi ketika ada oknum tertentu menganggap Caru dan ritual persembahan daging itu merupakan perbuatan yang sangat kejam. Sementara penganut Tantra di Bali menganggapnya tidak melanggar ajaran Ahimsa. Itu sebabnya diskusi di Sosmed jarang yang membahas tentang Ahimsa padahal konfliknya hanya pada persembahan daging saja. Tradisi Bebantenan di Bali yang berisi pembunuhan binatang seperti ritual Caru misalnya selalu menjadi kontroversi di kalangan umat Hindu. 

Kenapa selalu menjadi kontroversi? Pasalnya Hindu terbagi menjadi dua kelompok yaitu pewaris jaman Weda dan pewaris jaman Brahmana. Kalau pewaris jaman Weda berprinsip tidak boleh menyakiti mahluk hidup dengan alasan apapun. Makanya kelompok tersebut tidak memiliki tradisi ritual yang mempersembahkan darah dan daging binatang. Sementara pewaris jaman Brahmana memiliki tradisi ritual Caru dan ritual yang berisi pembunuhan binatang. Itulah sebabnya kenapa ritual Caru selalu menjadi kontroversi. Di satu pihak ada yang melarang, sedangkan di pihak lain ada yang memperbolehkan. Bagi kelompok yang masih menjalankan tradisi ritual Caru meyakini bahwa dengan mengorbankan binatang sebagai Caru berarti telah melakukan Penyupatan terhadap binatang.
     
Apa itu Penyupatan? Penyupatan artinya mantra pada saat menyembelih binatang yang bertujuan untuk meningkatkan roh binatang agar dalam kehidupan berikutnya menjadi lebih sempurna. Atau roh binatang yang dijadikan korban Caru menjelma menjadi orang suci di kelahiran berikutnya. Ritual Caru merupakan kewajiban dan sebagai korban suci yang tulus ikhlas bagi umat hindu bernuansa Bali. Tuhan tahu roh binatang mana yang mati di pejagalan atau mati sebagai Caru atau juga mati karena penyakit dan usia tua. Beliau tahu siklus perputaran Atman. Jadi kita tidak perlu ragu. Karena beliau adil terhadap sebuah pengorbanan. Manusia hanya bisa mengucapkan mantra Penyupatan.
         
Perlu kita ketahui seandainya ritual Caru dihapus, toh manusia tidak terlepas dari pembunuhan seperti membunuh mahluk kecil seperti serangga hanya dalam hitungan detik. Jika anda sadar akan hal itu maka seharusnya anda diam dan jangan beranjak dari tempatmu semula selamanya agar tidak melakukan Himsa. Apakah anda bisa? 
     
Menghina Caru merupakan salah satu contoh tindakan yang merendahkan keyakinan pihak lain sebagai bagian dari yadnya yang sudah barang tentu ada landasan filosofi dan etikanya. Panca yadnya yang dilaksanakan di Bali mungkin sudah ribuan tahun. Itu semua dilakukan sesuai dengan tatanan keagamaan dan diyakini umat Hindu di Bali. Jika ada pihak yang memberikan penilaian negatif tentang hal itu akan menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Karena ada pembenaran di atas pembenaran yang akan mereka suarakan.
            
Para tetua di Bali jaman dulu membuat konsep Yadnya Sesa mungkin bertujuan untuk Panyupatan dari aktifitas menyakiti tanpa sengaja seperti menginjak semut dan mikroorganisme lainnya. Memang hal itu tidak bisa dicerna dengan akal sehat tapi itulah yang dinamakan Niskala. Bukan hanya di Bali saja ada ritual yang berisi pembunuhan binatang sebagai persembahan. Bahkan di India juga ada ritual yang berisi pembantaian binatang yang dinamakan ritual Gadimai. Kendatipun dalam Weda mengajarkan tentang konsep Ahimsa, tetapi ketika ada umatnya melakukan ritual yang sering dianggap bertentangan dengan Weda, mereka tetap diakui sebagai Hindu. Karena watak ajaran Hindu adalah bersedia merangkul budaya dan kearifan lokal. Tanpa pernah mencibirnya, menentangnya, bahkan memusuhinya. Karena dalam sejarah Hindu belum pernah mencatat seorang tokoh Hindu yang melakukan peperangan dalam menyebarkan agamanya. Itulah kehebatan ajaran Hindu. Dan yang membuat saya semakin bangga memeluk Hindu karena keuniversalannya dan kefleksibelannya. 
                          
Dalam mempelajari Hindu, kita tidak bisa hanya melihat apa dan bagaimana Hindu itu sekarang. Tapi harus bijak melihat sejarah Hindu secara kronologis dan komprehensif. Misalnya Hindu itu kita umpamakan ibarat gunung dan kita ibarat pendaki gunung. Maka pengalaman pendaki dari arah barat pasti berbeda dengan cerita pengalaman dari arah timur. Ini bukan berarti bahwa Hindu itu berbeda. Melainkan karena kita tidak melihat Hindu secara keseluruhan atau komprehensif. Padahal yang benar itu adalah kenyataan yang dialami dari semua arah.        
               
Sangat bodoh jika kita ngotot mengatakan bahwa gunung yang benar itu adalah hanya pengalaman nyata yang dialami atau dilalui hanya oleh orang yang mendaki dari arah barat saja atau timur saja. Begitu juga kita harus tahu ciri khas watak Hindu itu yang tidak pernah  memusuhi pengaruh dari luar. Hindu selalu menyambut dan beradaptasi serta memanfaatkan bentuk-bentuk pengaruh luar dan dielaborasikan dengan tatwa Hindu. Akibat watak Hindu inilah membuat Hindu tidak pernah menganggap pengaruh luar sebagai musuh. Tapi pengaruh luar disempurnakan menjadi bagian dari Hindu.
             
Lihat saja dalam acara ogoh-ogoh, dimana Bhutakala disempurnakan menjadi dewa apalagi hanya pengaruh luar. Contoh lainnya adalah ritual Tabuh Rah yang berasal dari pengaruh sekte Bhairawa atau Tantra. Jadi Hindu tidak menganggapnya sebagai musuh. Watak asli orang Hindu adalah tidak pernah melakukan Konfrontasi alias tidak boleh menentang keras tradisi dan ritual-ritual Hindu. Karena jiwa yang ingin memerangi ritual-ritual Hindu itulah yang sebenarnya bertentangan dengan konsep Ahimsa itu sendiri. Ahimsa bukan saja diartikan tidak membunuh tapi bermakna luas. Bisa berarti tidak keras, tidak kasar, dan tidak egois.
              
Dalam sejarah proses Weda, mengenai upacara tidak lahir atau muncul sekali atau bersamaan. Tapi ada tahafan-tahafannya seperti jaman Samhita, jaman Brahmana, Jaman Aranyaka, dan jaman Upanisad. Nah, di jaman Brahmana itulah mulai masuk bentuk-bentuk ritual atau upacara. Tapi karena watak Hindu yang tidak biasa menentang dengan kasar atau Konfrontasi sehingga tradisi menyimpang itu terus berlanjut. Dan nyatanya apa saja yang bersifat tradisi memang susah dihilangkan seketika. Jadi, mendalami suatu agama tidak bisa berpikir hitam putih seperti kacamata kuda yang hanya lurus pandangannya ke depan. Tapi juga harus mendalami ilmu lain seperti sejarah, Antropologi, Psikologi, politik, karakter agama atas dasar asal agamanya, dan lain-lain. Sehingga kita tidak akan mudah heran dengan berbagai fenomena yang ada dalam suatu agama.

                         
    

Senin, 08 April 2024

Masalah Cuntaka Atau Sebel.

Maaf, ya? Saya mau bertanya tentang masalah Cuntaka atau Sebel karena kematian. Sejak kapan seseorang sudah memasuki masa Cuntaka itu dan sampai kapan ? mohon pencerahannya. Terimakasih.

Di Bali masing masing desa memiliki tradisi yang berbeda- beda. Jadi jawaban yang anda dapatkan pasti tidak sama. Tergantung kepada siapa anda bertanya. Mulai kapan seseorang dinyatakan Sebel ketika ada salah satu keluarga Purusa ada yang meninggal?  Ada yang punya tradisi pada saat itu juga keluarga satu Purusa atau keluarga satu Kemulan dinyatakan Sebel. Ada juga yang memiliki tradisi sebelum jenazah diletakkan di Bale Dangin atau di Bale Semangen, atau sebelum Nunas Tirta ke Kemulan, maka keluarga tersebut belum memasuki masa Cuntaka atau Sebel. Begitu juga dengan batas waktu Sebel. Sebel Ada batas waktunya. Ada yang mengambil sebel 7 hari setelah masa penguburan. Ada juga yang mengambil sebel 11 hari. Tetapi beda lagi dengan jenazah yang dikremasi atau diaben. Ada yang sudah hilang masa Cuntakanya ketika abu jenazah dihanyutkan ke laut atau Sulinggih menghaturkan Pebersihan di Kemulan. Ada juga Ngaturang Bersihan secara adat sendiri keesokan harinya atau lagi tiga harinya. Setelah melaksanakan ritual Ngaturang Pabersihan maka sebel dinyatakan sudah hilang. Dan sudah diperbolehkan sembahyang atau memasuki tempat suci seperti pura dan lain sebagainya. 

Istilah Sebel bukan hanya karena kematian saja. Karena ada juga istilah Gamya Gamana atau kasus hubungan badan antara anak dengan ibu kandungnya sendiri atau ayah kandung dengan putrinya, atau kakek dengan cucunya. Atau ada juga kasus hubungan seks antara manusia dengan hewan seperti sapi dan lain sebagainya. Di desa tersebut dinyatakan Sebel apabila salah satu keluarga pelaku melapor ke adat. Tapi jika kasusnya ditangani oleh pihak kepolisian, maka yang Sebel adalah keluarga Lilitan-nya saja.
             
Ada juga istilah leteh yang artinya tercemar. Misalnya ada tempat mesum dan tempat kumpul kebo. Ada juga rumah yang pernah menjadi tempat tragedi pembunuhan atau perkelahian sampai meneteskan darah. Atau juga seorang wanita yang mengalami keguguran. Maka sudah seharusnya tempat tersebut dibuatkan upacara Caru Pabersihan.

Ada juga Cuntaka karena wanita yang sedang menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan memasuki tempat suci seperti pura, Kemulan, dan lain sebagainya, selama menstruasi belum hilang. Dalam sastra dijelaskan bahwa wanita yang habis menstruasi Wajib dibuatkan upacara pembersihan. 

Ada juga Cuntaka untuk ibu yang habis melahirkan. Yang terkena cuntaka adalah ibu yang habis melahirkan tersebut, sang bayi dan sang suami.
Batas waktu Cuntaka adalah sampai lepas tali pusar sang bayi. 

Ada juga Cuntaka karena perkawinan. yang terkena cuntaka adalah kedua mempelai. Berakhirnya cuntaka apabila sudah mendapat upacara penyucian atau mendapat Tirta Pabeakaonan.

Ada juga Cuntaka karena Kehamilan diluar nikah.
Cuntaka ini baru selesai setelah diadakannya upacara Beakaon.
Ada juga Cuntaka akibat hubungan seks diluar perkawinan atau pernikahan.
Yang terkena cuntaka adalah mereka berdua dan kamar yang dijadikan tempat untuk melakukan seks. Batas waktunya adalah sampai upakara Beakaon.

Bagi umat Hindu yang mengalami Cuntaka wajib untuk melakukan upacara pembersihan atau penyucian seperti Prayascita, Durmanggala, Beakala atau Beakaon  Pedudusan, Caru dan lain sebagainya.

Tradisi sebel ini sudah terjadi secara turun temurun. Sehingga banyak yang mengatakan kalau pada saat Sebel atau Cuntaka tidak boleh sembahyang atau ke tempat suci. Hal tersebut adalah benar karena memang pada saat kita sembahyang atau ke tempat suci, kita sudah seharusnya dalam keadaan pikiran yang tenang dan penuh dengan rasa ikhlas. Apabila kita sedang Cuntaka karena ada kematian keluarga, tentu suasana hati sedang tidak baik. Makanya tidak dianjurkan untuk sembahyang apalagi ke tempat suci karena aura kita yang sedang berduka bisa mengakibatkan ketidakseimbangan alam.













Senin, 12 Februari 2024

Belajar bersyukur.

Alkisah, seorang petani menemukan sebuah mata air ajaib. Mata air itu bisa mengeluarkan kepingan uang emas yang tak terhingga banyaknya. Mata air itu bisa membuat si petani menjadi kaya raya, seberapapun yang diinginkannya, sebab kucuran uang emas itu baru akan berhenti, bila si petani mengucapkan kata "cukup". Seketika si petani terperangah melihat kepingan uang emas berjatuhan di depan matanya. Diambilnya beberapa ember untuk menampungnya. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubuk mungilnya untuk disimpan di sana.

Kucuran uang terus mengalir, sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya. Tapi si petani merasa masih kurang.  Kemudian dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Tapi si petani masih merasa belum cukup. Malah dia membiarkan mata air itu terus mengalir,hingga akhirnya Petani itu mati tertimbun kepingan emas. Ya, dia mati tertimbun bersama ketamakannya. Karena dia tak pernah bisa berkata "cukup"

Kata yang paling sulit diucapkan oleh manusia, adalah "cukup". Kapankah kita bisa berkata cukup ?Hampir semua pegawai, merasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya. Pengusaha selalu merasa pendapatan perusahaannya masih di bawah target. Istri mengeluh suaminya kurang perhatian. Suami berpendapat istrinya kurang pengertian. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati. Semua merasa kurang, kurang, dan kurang. Kapankah kita bisa berkata "cukup" ? Cukup, bukanlah soal berapa jumlahnya. Cukup, adalah persoalan kepuasan hati. Cukup, hanya bisa diucapkan oleh orang yang bisa bersyukur. Tak perlu takut berkata cukup. Mengucapkan kata cukup, "bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya." Orang yang tidak pernah merasa cukup sulit baginya untuk berbagi. Sementara orang yang berkecukupan dengan mudah terbuka hatinya untuk berbagi tanpa merasa dirinya berkekurangan. Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia. Cukupkan dirimu dengan rahmat Tuhan yang melimpah dan syukurilah, maka dirimu akan merasa berkelimpahan.