Adat Bali kaya akan berbagai konsep ritual dan kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan dunia spiritual. Salah satu aspek menarik adalah konsep kesucian dan ketidaksucian yang terbagi dalam beberapa istilah, seperti Sebel, Cuntaka, dan Leteh atau Reged. Meski sama-sama berkaitan dengan kondisi ketidaksucian atau ketidaklayakan secara spiritual, istilah-istilah ini memiliki perbedaan mendasar dari segi penyebab, durasi, dan konsekuensi ritual yang harus dijalani.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang perbedaan Sebel dan Cuntaka, dengan sedikit tambahan pemahaman tentang Reged atau Leteh, terutama dalam konteks lontar Bramantaka yang mengatur beberapa ketentuan ritual yang wajib diikuti oleh umat Hindu Bali.
Sebel adalah suatu kondisi ketidaksucian yang terutama disebabkan oleh peristiwa kelahiran. Dalam lontar Bramantaka, kelahiran merupakan momen yang membawa pengaruh besar, sehingga baik ibu yang melahirkan, ayah, maupun bayi dianggap dalam keadaan Sebel.
Ibu yang baru melahirkan dianggap dalam kondisi Sebel selama 42 hari. Hal ini dilakukan untuk memberi waktu bagi ibu dan anak untuk pulih serta menghindari interaksi yang dapat menciptakan ketidakseimbangan spiritual dalam masyarakat atau keluarga.
Ayah dari bayi yang lahir juga terpengaruh oleh kondisi Sebel, namun durasinya lebih singkat, yakni selama 11 hari. Masa Sebel bagi ayah merupakan bagian dari tanggung jawab keluarga untuk menyeimbangkan kembali energi spiritual setelah proses kelahiran.
Bayi juga dianggap berada dalam kondisi Sebel, namun akan berakhir saat tali pusarnya terlepas. Setelah tali pusar lepas, bayi dianggap bebas dari pengaruh Sebel dan dapat menjalani upacara Ngaturang Pabersihan sebagai bentuk penyucian.
Setelah masa Sebel berakhir, keluarga umumnya akan melangsungkan ritual Ngaturang Pabersihan, yang bertujuan untuk menghilangkan segala pengaruh ketidaksucian. Ritual ini menandai kembalinya keluarga dalam kondisi suci dan siap berinteraksi secara normal dengan lingkungan sekitar.
Sementara Cuntaka adalah ketidaksucian yang disebabkan oleh peristiwa lain, seperti kematian, perkawinan, dan menstruasi. Kondisi Cuntaka sering kali dianggap lebih serius karena berkaitan dengan perubahan status dalam kehidupan seseorang atau keluarga yang memiliki dampak spiritual mendalam.
Cuntaka karena kematian biasanya berlaku bagi anggota keluarga yang kehilangan anggota lain. Ketentuan waktu cuntaka berbeda-beda tergantung pada hubungan kedekatan antara individu dengan yang meninggal. Semakin dekat hubungan keluarga, semakin lama masa Cuntaka. Hal ini menandakan adanya transisi spiritual besar dalam keluarga yang perlu diimbangi dengan pembatasan interaksi sosial dan ritual hingga masa Cuntaka selesai.
Menariknya, perkawinan juga menyebabkan Cuntaka. Dalam tradisi Bali, perkawinan dianggap sebagai proses perubahan besar dalam status spiritual individu, sehingga keluarga yang terlibat dalam perkawinan perlu menjalani masa Cuntaka. Ini bertujuan agar pasangan yang baru menikah dapat menjalani periode penyesuaian tanpa gangguan dari energi luar.
Menstruasi pada perempuan juga menyebabkan Cuntaka. Dalam periode menstruasi, perempuan dianggap dalam kondisi ketidaksucian, sehingga ada pembatasan pada aktivitas spiritual. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian lingkungan upacara atau tempat ibadah.
Selain Sebel dan Cuntaka, dalam masyarakat Hindu Bali juga dikenal istilah Leteh atau Reged, yang merujuk pada kondisi ketidaksucian yang disebabkan oleh tindakan-tindakan tertentu. Berbeda dari Sebel dan Cuntaka yang bersifat temporer, Leteh atau Reged terjadi akibat pelanggaran moral atau tindakan yang dianggap mencemari kesucian spiritual.
Hubungan seksual dengan saudara atau keluarga yang masih memiliki hubungan darah dianggap sebagai pelanggaran besar yang dapat menyebabkan Leteh. Hubungan seksual di luar pernikahan atau yang dilakukan tanpa ikatan pernikahan juga dikategorikan sebagai tindakan yang menimbulkan Leteh. Masyarakat Hindu Bali sangat menekankan kesucian hubungan seksual dalam pernikahan, sehingga tindakan ini dianggap mencemari diri dan lingkungan spiritual. Untuk membersihkan diri dari Leteh atau Reged, diperlukan ritual-ritual penyucian yang bersifat khusus, dengan intensitas yang lebih dalam dibandingkan penyucian pasca Sebel atau Cuntaka.
Sebagai penutup, Konsep Sebel, Cuntaka, dan Leteh adalah cerminan dari sistem nilai dan spiritualitas masyarakat Hindu Bali yang menghargai kesucian dan keharmonisan dengan alam dan dunia spiritual. Perbedaan dari ketiganya mencerminkan adanya tingkatan dalam pemahaman tentang ketidaksucian, serta berbagai cara untuk mengembalikan diri kepada kondisi yang dianggap layak secara spiritual.
Dengan pemahaman ini, masyarakat Bali tidak hanya menjaga keseimbangan spiritual secara individual tetapi juga menjaga harmoni dalam kehidupan sosial dan hubungan mereka dengan alam dan para leluhur. Menjalani dan memahami konsep-konsep ini dengan tepat adalah bagian dari kewajiban yang melekat pada setiap orang yang menjalani kehidupan menurut ajaran adat dan agama Hindu Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar