Jumat, 20 Oktober 2023

Kenapa Orang Hindu Tidak Makan Daging Sapi?

Kenapa orang Hindu tidak makan daging sapi? Kalau soal itu, kembali ke individu masing-masing. Karena tidak semua orang Hindu itu tidak mengkonsumsi daging sapi. Karena Hindu itu beraneka ragam. Ada yang makan daging sapi. Sementara yang kebetulan mempelajari vegetarian, mereka bukan hanya tidak makan daging sapi, melainkan juga tidak mengkonsumsi segala daging. Tetapi jika nafsu makan dagingnya tidak bisa dikendalikan,maka dibuatkanlah daging buatan yang terbuat dari tepung atau jamur.

Di bali, ada yang mewajibkan seseorang agar tidak makan daging sapi. Umat Hindu di Bali yang tidak makan daging sapi biasanya seorang Pemangku atau Sulinggih. Kenapa tidak makan daging sapi? Karena Pemangku dan Sulinggih di Bali sebagian besar menganut paham Siwa Sidhanta. Dalam Mitologi Hindu diceritakan bahwa Bhatara Siwa memiliki kendaraan sapi putih atau lembu yang bernama Nandini. Untuk menghormati junjungannya, beliau juga menghormati kendaraannya. Makanya tidak mau makan daging yang dijadikan simbol kendaraan Bhatara Siwa. Sulinggih Sampradaya juga tidak mengkonsumsi daging sapi. 

Lalu bagaimana dengan asumsi yang keliru tentang umat Hindu menyembah sapi? Selama ini ada umat lain menuduh orang Hindu menyembah sapi. Tuduhan itu tidak benar. Karena dari dulu saya belum pernah melihat ada orang Hindu menyembah sapi.
Kecuali pada saat Tumpek kandang atau Otonan pada binatang, barulah saya lihat ada orang memberi sesajen pada sapi. Tapi itu bukan berarti menyembah sapi. Kalau menyembah Arca sapi putih atau lembu Nandini, itu sama dengan menyembah Siwa. Karena prinsip Hindu, memuja Ista Dewata sama dengan memuja Tuhan. Jadi menghormati Arca Nandini dalam ajaran Hindu sangat dibenarkan. Kalau di India, hampir semua orang Hindu menghormati sapi. Karena sapi di sana dianggap seorang ibu. Sapi juga menghasilkan susu terutama sapi perah. Tenaga sapi bisa juga digunakan untuk membajak sawah walaupun sudah ada traktor. Kotoran sapi bisa digunakan untuk pupuk. 





Kenapa Hindu Di Bali Jarang Melakukan Yoga?

Kenapa Hindu di Bali jarang melakukan yoga? Dan Kenapa pula jarang melakukan meditasi? It, jangan salah, ya? Sekedar Sharing, Yoga itu sudah ada sejak dahulu. Dan yang menciptakan Yoga itu adalah resi patanjali. Tetapi saat itu jarang yang mempraktekkan Yoga. Makanya leluhur kita mengaplikasikan Yoga dalam bentuk lain. Seperti menciptakan ritual Melasti. Ritual Melasti adalah membersihkan stana para dewa ke laut dengan cara berjalan beriringan secara ramai-ramai. Nah, tanpa disadari kita telah melakukan yoga. Dan kenapa leluhur kita membuat pura di atas bukit? Nah, dengan menaiki tangga untuk menuju pura yang di atas bukit itu, kita telah melakukan yoga. 

Tetapi belakangan ini beredar kabar di Medsos bahwa setiap pura di atas bukit akan dibuatkan eskalator dan lift. Entah berita itu Hoax atau tidak, yang jelas makna Yoga ala Bali akan berkurang jadinya jika berita itu benar. Wow, betul-betul ironis. Untuk melatih pernapasan, orang-orang Bali juga membentuk Sekeha Santi atau grup pembawa kidung kerohanian. Kalau meditasi, leluhur kita mengimplementasikannya dalam bentuk moment ibu-ibu dan remaja putri merangkai bunga, daun, dan buah untuk persembahan. Kalau meditasi untuk pria diimplementasikan dengan menabuh gamelan. Semua itu sama manfaatnya dengan meditasi. Bedanya adalah ada yang memejamkan mata dan ada yang tidak memejamkan mata.

Benarkah Upacara Keagamaan Hindu Di Bali Menyebabkan Kemiskinan?

Banyak sekali oknum oknum yang berdalih ingin menyederhanakan Yadnya padahal sesungguhnya mereka sangat alergi terhadap yadnya. Mereka berdalih bahwa Yadnya itu tidak sesuai dengan ajaran Weda. Dan Yadnya itu pemborosan dan buang buang uang. Bahkan juga saya pernah lihat di medsos ada orang yang meludahi persembahan tuhan. Ternyata orang orang jaman sekarang telah mengalami degradasi moral. Ada yang melecehkan, bahkan ada juga seperti pepatah yang mengatakan bahwa kacang lupa kulitnya. Mencari rejeki di Bali, tapi menghina tradisinya.

Bukankah dengan adanya upakara yadnya bisa menambah peluang kerja dan bisa berbagi rejeki dengan yang lain? Bukankah Yadnya juga bisa menambah nilai jual hasil hasil para petani dan peternak? Coba bayangkan, kalau tidak ada upakara yadnya, mungkin janur, pisang, dan lain sebagainya bisa susah untuk di pasarkan. Dengan adanya Upakara Yadnya, Petani bisa lebih mudah untuk memasarkan hasil pertanian mereka. Ternak ayam, itik, babi, dan binatang lainnya, proses penjualannya menjadi lancar. Dan roda ekonomi pun bisa berputar.

Yang perlu kita ketahui adalah Yadnya merupakan lambang kesuburan. Karena semua persembahan itu berasal dari hasil pertanian dan perkebunan. Tapi kenapa masih saja ada orang yang beranggapan bahwa Yadnya itu adalah sebuah pemborosan? Ternyata Hindu itu bukan hanya diserang oleh umat lain. Sesama Hindu pun  saling menyerang. Ketika ada bencana alam di Bali, umat lain akan mengatakan bahwa pantas saja di Bali terkena bencana. Karena di Bali itu pulau makziat. Tetapi ketika di tempat lain ada bencana alam, tak ada seorang pun yang berani berkomentar macam macam. 

Ada banyak opini yang tersebar diberbagai media maupun dalam percakapan sehari-hari. Bahwa menjadi orang bali yang beragama Hindu sangat berat, penuh dengan upacara, banyak larangannya, banyak kewajibannya. Khusus untuk upacara, bahkan ada persepsi bahwa resepsi itu terlalu berat secara ekonomi bahkan sampai menyebabkan kemiskinan. Akhirnya sampai pada kesimpulan takut menjadi orang Bali, takut menjadi orang Hindu. Jauh lebih enak dan praktis pada agama lain. Padahal sesungguhnya, kalau kita pahami dengan baik dan bisa kita lakukan interpretasi terhadap ajaran agama, sebenarnya menjadi orang Hindu itu sangat mudah dan simple. Tidak ribet. Mengapa dikatakan tidak ribet, berikut diantaranya alasannya.

Agama Hindu sangat fleksibel. Tidak ada kekakuan bahwa melaksanakan agama Hindu harus seperti ini dan harus seperti itu. Tidak ada kewajiban mutlak untuk berpuasa sekian hari; tidak ada kewajiban mutlak untuk sembahyang sekian kali sehari sampai meninggalkan pekerjaan; tidak ada ancaman hukuman neraka kalau kita tidak melakukan sesuatu; tidak ada ancaman neraka kalau kita makan daging hewan tertentu dan seterusnya.

Agama Hindu sangat bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Agama Hindu ibaratnya air jernih yang mengalir, yang tanpa warna. Warna air yang kita lihat tergantung dari warna tempat yang dilalui. Pelaksanaan agama Hindu bukan saja boleh di sesuaikan dengan kondisi lokal, melainkan harus di sesuaikan. Prinsip ini secara umum dikenal dengan Desa-Kala-Patra atau menyesuaikan diri dengan tempat, waktu, dan kondisi objektif yang ada.
Agama Hindu mengajarkan untuk menghargai budaya lokal. Penganut agama Hindu dimanapun berada tidak harus sama dengan penganut di India. Budaya lokal harus dipertahankan dan dijadikan pembungkus atau kulit luar dari pelaksanaan Agama Hindu. Sebagai contoh, orang Hindu  dari etnis Jawa silakan menggunakan pakaian tradisional Jawa, Umat Hinndu di Kaharingan Kalimantan juga dipersilahkan menggunakan pakaian tradisional Dayak Kaharingan, tidak harus memakai sorban atau memakai Dotti seperti orang India.

Pelaksanaan upacara keagamaan di dalam agama Hindu juga sangat fleksibel. Ukurannya bisa di sesuaikan, waktunya bisa disesuaikan, tempat juga bisa menyesuaikan. Untuk ukuran upakara misalnya, sudah diberikan pedoman mulai dari yang paling kecil, menengah, sampai yang paling mewah. Dan perlu ditegaskan bahwa Kanista, Madya dan Utama bukanlah merupakkan indikator atau penentu kualitas sebuah upacara, melainkan hanya merupakan ukuran besar kecilnya serta kompleksitas upacara yang sedang dilakukan. Kanista artinya Inti, pokok, yang utama, bukan rendah atau hina. Upacara yang besar belum tentu berkualitas dibandingkan upacara yang kecil atau sederhana. Bahkan upacara yang besar bisa kualitasnya rendah, kalau pelaksanaanya sangat dipengaruhi oleh sifat Rajasika atau Tamasika, seperti keinginan pamer, adu gengsi, bersaing dengan orang lain. Ini tergolong Rajasika Yadnya, bukan Satwika Yadnya.

Jumat, 13 Oktober 2023

Tuhan Itu Nirguna Brahman Dan Saguna Brahman.

Tuhan sebagai Pribadi Tertinggi dan pemilik dari sifat-sifat mulia yang tidak terbatas merupakan salah satu konsep yang paling fundamental dalam Siddhanta-Siddhanta Theistik dalam Weda. Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa juga dikenal sebagai Ananta Kalyana Gunanidhi atau samudera kemuliaan yang tidak terbatas. Secara khusus pengutamaan atas aspek Pribadi (Personal) Tuhan merupakan sumbangan keinsafan Waisnawa bagi kekayaan konsep Ketuhanan dalam Hindu. Apabila Upanishad menjelaskan Para Brahman sebagai nirgunam atau tanpa sifat, menurut Vaishnava Siddhanta bukanlah berarti bahwa Brahman sungguh-sungguh tidak memiliki sifat apapun, namun hal ini bermakna bahwa Beliau tidak memiliki rupa dan sifat duniawi yang penuh kekurangan seperti makhluk fana. Nirguna juga bermakna bahwa Beliau sepenuhnya berada di atas pengaruh tiga sifat alam yaitu kebaikan, penuh nafsu dan kebodohan. Dengan demikian Beliau disebut pula sebagai Tri Guna. Apabila kata Nirguna ini diterima sebagai keadaan tanpa sifat apapun, maka akan timbul ketidaksesuaian di antara deskripsi sastra-sastra suci Veda. Kontradiksi antar pernyataan Veda tidak boleh ada dalam penjelasan yang berasal dari perguruan-perguruan filsafat Vaishnava. 

Pribadi Para Brahman berada dalam sifat kebaikan murni yang mutlak, non relatif, yang diistilahkan sebagai keadaan Wisuddha-Sattwam, yang tidak mungkin hadir dalam diri makhluk terikat manapun. Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, Sri Bhagavan dalam terminologi Vaishnava, tidak pernah jatuh dari keadaan ini. Kitab suci menguraikan delapan belas kekurangan atau sifat-sifat negatif yang tampak dalam diri roh terikat yaitu: jatuh dalam khayalan, rasa kantuk, tidak beradab, nafsu birahi, loba, kegilaan, iri hati, kelicikan, meratap sedih, berusaha terlampau keras, kecenderungan menipu, amarah, ketakutan, berbuat kesalahan, ketidaksabaran, dan ketergantungan. Kitab suci menyatakan dengan jelas bahwa sifat-sifat Tuhan sepenuhnya bebas dari segala kelemahan dan kekurangan ini. Maka dalam Waishnava Siddhanta, Heya-Pratyanikatva atau tidak adanya sifat-sifat duniawi merupakan salah satu indikasi pengenal dari Kebenaran Mutlak Tertinggi yang merupakan pemilik sifat-sifat mulia yang tak terbatas. Jadi dua hal ini, yaitu tidak adanya kekurangan atau tidak adanya sifat negatif dan penuh kemuliaan, merupakan dua indikasi terpenting dari Para Brahman. Dalam Vedanta, Nirguna dan Saguna tidak menyatakan dua substansi yang berbeda. Para Brahman adalah Nirguna dalam artian Heya-Pratyanikatva dan Saguna dalam artian Kalyana-Gunakaratva.

Sebuah kesimpulan sementara yang bisa saya pahami dari ajaran weda yaitu Hindu merangkul semua nama nama suci tuhan. Hindu memfasilitasi seorang Bhakta untuk memuja tuhan yang bersifat Nirguna Brahman atau tuhan tidak berwujud dan tuhan Saguna Brahman atau tuhan yang memiliki wujud. Di setiap purana pastinya personal yang menjadi judul purana itu yang diragukan dan disebutkan tuhan tertinggi dan saya sangat menerima hal itu. yang akan menjadi masalah dan merupakan hal yang sia sia dimana si para bhakta itu ngotot akan tuhan yang diyakini lewat purana. Masing masing ngotot menganggap tuhan menurut versinya adalah yang paling tinggi. Nama nama tuhan lain dianggap hanyalah ngontrak di Mercapada ini. Sifat ini yang menurut saya tak elok kalau jadi seorang pemuja tuhan. Ranah ketuhanan adalah ranah pribadi keyakinan masing masing individu sesuai sifat yang mendominasi dan sesuai karma. Beda orang pastinya beda ketuhanan yang diyakini. Berbeda bukan harus claim untuk superior. Layaknya pelangi yang indah dimana perbedaan ini saling melengkapi satu sama lain. Bukan saling mendominasi yang lain. Agama merupakan pengetahuan yang tidak ada habisnya untuk kita gali. Dan untuk memantapkan kita dalam berspiritual, mencari jati diri, dan untuk mengerti tujuan hidup. Tuhan menurut saya, mungkin bisa dianalogikan dengan udara yang masuk ke dalam balon. Jadi Udara yang memenuhi alam semesta tidak berkurang karenanya, tetapi udara dalam balon terkurung oleh wajahnya atau bentuk balon itu sendiri. Ketika udara masuk ke dalam balon maka udara tersebut tidak bebas kemana-mana memenuhi alam semesta ini,  ia hanya memenuhi ruang lingkupnya sendiri. Pertanyaannya apakah udara dalam balon itu sama dengan udara yang memenuhi alam semesta ?

Jawabannya jelas sama, tetapi yang beda tekanannya, pergerakannya dan volumenya. Jadi jika balon itu meletus maka selesailah tugasnya untuk memenuhi atau mengIsi balon tersebut. Kita tidak bisa bertengkar lagi untuk bIsa menunjukkan udara yang ada di dalam balon tadi, dan kita tidak bisa mengkapling udara tadi tetap seperti apa yang ada dalam balon tersebut dan tidak bIsa juga terus mepertahankan pendapat bahwa udara yang sesungguhnya adalah udara yang ada di dalam balon, atau jangan beranggapan bahwa udara yang ada di alam semesta ini bersumber dari udara yang ada dalam balon tadi, melainkan udara yang ada dalam balon itulah bersumber dari udara yang ada di alam semesta. Mohon maaf ini hanya sekedar contoh dari sebuah balon udara. Mungkin  udara itu akan bisa masuk pada miliaran balon, ban, ruangan dan lain sebagainya. Tapi tak akan pernah habis dan berkurang. Jadi udara ini bukanlah udara yang ada pada sebuah balon, tapi ia akan bisa mengambil berbagai bentuk ruang yang ada. Mungkin Seperti itulah keadaan Tuhan Yang Maha Esa bagaikan udara yang ada di alam semesta ini. 

Pada konsep Hindu, Tuhan tidaklah terbatas pada penyataan tak terlihat. Sebab ketika sifat Tuhan itu adalah Wyapi Wyapaka maka segalanya adalah Tuhan (Sarva Khalvidam Brahma) sudah barang tentu Tuhan itu juga dapat terlihat. Tuhan terlihat adalah melalui unsur elemen-elemen penciptaan (Panca Mahabhuta). Maka dengan demikian segala mahluk termasuk Manusia dan benda-benda adalah Tuhan yang terlihat (Bhatara Katon).  Dalam ajaran hindu, Tuhan disebut Acintya yang artinya tidak terpikirkan. Sementara dalam Weda disebut Brahman. Tidak ada patung, tidak ada rupa, tidak ada sifat untuk brahman ini, tidak ada identitas apapun, tidak terjangkau, dan tidak terkatakan. Weda tertua menyebut beliau satu tapi orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Apakah satu itu seperti biji rambutan? Di situlah barangkali bedanya. 

Dalam upanisad dikatakan Tuhan seperti garam yang larut dalam air. Iya larut, ada dan memberi rasa bagi tiap butir atom ciptaannya. Dalam Gita, ia berkata "Akulah panas pada api, aku rasa pada air, Aku adalah pemberi hidup yang pada yang hidup. Kalau iya ada dalam dan sekaligus di luar, lebih besar dari semua ciptaan seperti air yang memenuhi Samudra, ada di luar dan di dalam ikan-ikan yang hidup di tengahnya, masuk ke pori-pori Karang, menguap menjadi mendung, turun menjadi hujan, diserap akar dan dedaunan, mengalir ke sungai, danau, masuk ke rumah-rumah menjadi air minum dan untuk mandi lalu bagaimana menjawab pertanyaan jumlah air di bumi? Dijawab dengan angka satu , benar karena semua Air mengandung zat yang sama yaitu sama-sama cair. 

Dikatakan tidak terhingga juga benar karena air mineral beda rasa dengan air hujan, air kelapa beda rasa dengan air perasan jeruk. Beda pula air semangka dan air kencing. Bila untuk menjawab pertanyaan jumlah air saja begitu sulit, apalagi menjawab pertanyaan tentang Berapa jumlah Tuhan. yang yang dia dipercaya memenuhi setiap pori-pori semesta. Bila dia begitu besar hingga melampaui segala bentuk, sifat, nama rupa, maka sesungguhnya angka pun tidak dapat mewakili keberadaannya. Weda memang menyebutnya dengan Eka tetapi ia juga sekaligus memenuhi semesta tanpa ada noktah yang Alfa dari kehadirannya. Iya ada di dalam dirimu, diriku, dalam seorang suci dan seorang Pendosa dari dalam Pertapa dan dalam seekor kera.  Lalu bagaimana angka dapat mewakili nya? Maka kita hanya mengenalnya melalui manifestasinya. Bila yang tak terpikirkan itu disebut nirgunam maka manifestasinya kita sebut sagunam. dalam udara kita panggil beliau sebagai Bayu. dalam api kita sebut beliau sebagai Agni. Dalam pengetahuan kita sebut beliau sebagai Saraswati. Dalam kebijaksanaan kita memanggilnya Ganesha

 
              
 
 
 
         

         

     
 

        
   
             

           

      
 
        

              
.

  


Senin, 09 Oktober 2023

Benarkah Ketika Manusia Meninggal, Atman-nya Disiksa Di Neraka?

Atman atau Jiwa dalam kepercayaan Hindu dikatakan, tidak dilahirkan, tidak laki laki atau perempuan, tidak bisa dibunuh oleh senjata, tidak bisa dilukai, tidak terbakar oleh api dan tidak basah oleh air,.bersifat kekal dan bersifat sama dengan Tuhan itu sendiri. Lalu, ketika manusia meninggal, apanya yang disiksa di Neraka? Apanya pula yang mendapatkan kenikmatan di Sorga ? Mengingat sifat jiwa atau Atman seperti itu. 

Yang perlu kita ketahui adalah Atma berbeda dengan atman. Kalau Atma adalah jiwa yang terbalut dengan panca maya kosa. Jiwa yang terlepas dari Panca Maya Kosa inilah disebut Moksa atau putus dari Punarbawa dan Samsara. Dalam Bhagawadgita dijelaskan bagaikan dua ekor burung dalam satu pohon. Yang pertama sebagai saksi dan yang kedua sebagai penikmat. 

Sifat Atman sebelum mendapatkan tubuh, ia sangat suci seperti tuhan. Namun ketika ia sudah memasuki tubuh manusia,  maka Atman akan dipengaruhi oleh tiga sifat yang disebut Tri Guna yaitu Satwam, Rajas dan Tamas. Ketiga sifat tersebut secara proporsional mempengaruhi karakter, prilaku,  dan tersimpan pada badan halus atau Wasana. Kemudian Wasana ini yang merasakan suka dan duka. Makanya Orang Hindu di Bali mengenal istilah Ngaskara dalam upacara Ngaben yamg  sejatinya adalah membersihkan Wasana ini.

Manusia dibentuk oleh 3 badan.yaitu badan raga dari panca maha buta, badan roh dari roh leluhur  dan badan atman yang terdiri dari 10 sinar Suci tuhan yang disebut Dasa Atman atau energi. Karena energi bersifat kekal jelaslah Atman atau sinar suci tuhan itu tidak terbakar oleh api dan tidak basah juga oleh air. Beda dengan Roh akan tetap bertanggung jawab  atas Bayu, Sabda dan Idepnya. Sama seperti mobil. ,Sopir sebagai pengendali mobil atau roh mobil, bila mobil menabrak orang jelaslah sopir dihukum. Bukanlah mesin mobil sebagai Atman atau penghidup mobil yang dihukum. Itu pula yang menyebabkan Roh atau pengendali manusia tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya sampai bila inkarnasi lagi.

Minggu, 08 Oktober 2023

Tanggapan Saya Mengenai Tujuan Berpuasa.

Menurut saya tujuan puasa adalah untuk mengendalikan hawa nafsu, mengendaikan pikiran, dan untuk mengetahui rasa lapar. Kenapa kita harus mengetahui rasa lapar? Karena dengan mengetahui rasa lapar, kita jadi tahu betapa sengsaranya ketika seseorang dilanda rasa lapar karena hidupnya miskin. Dengan begitu, pikiran kita akan mudah terketuk ketika menemukan orang-orang kelaparan di sekitar kita. Jadi, tujuan puasa bagi saya adalah untuk menumbuhkan rasa kepedulian kita terhadap orang orang miskin dan orang orang kelaparan. Kok bisa? Apa hubungannya orang puasa dengan orang kelaparan? Ya, pasti ada hubungannya. Coba renungkan sejenak. Apa dampak orang yang sedang puasa pada perutnya? Pasti lapar, kan? Nah, dengan berpuasa kita jadi tahu betapa menyiksanya rasa lapar itu. Maka dari itu bagi orang orang yang selalu makan enak enak dan tidak pernah kelaparan, sudi kiranya agar membantu orang orang yang sedang kelaparan.

Bagi orang yang pernah puasa, ketika mereka jatuh miskin dan tidak bisa membeli makanan, mereka tidak akan mengeluh karena sudah terbiasa menahan lapar. Ketika mereka sakit gula dan dokter menyarankan agar mereka tidak makan nasi, mereka juga tidak akan mengeluh karena mereka sudah terbiasa tidak makan nasi. Selain itu, bagi orang yang sudah menginjak usia 40 ke atas, agar mengurangi porsi makannya. Dengan tujuan agar terhindar dari serangan penyakit diabetes dan obesitas. Bila perlu kurangi juga makan daging karena daging itu mengandung kolestrol yang sangat tinggi. Jika kita kelebihan kolestrol maka penyakit akan mudah datang seperti stroke, jantung, kanker, paru paru, ginjal dan lain-lain. Pengusaha, investor, politikus, serta orang orang yang tidak gemar berolahraga, juga harus menerapkan pola hidup sehat mulai sekarang. Pengusaha dan investor sebagian besar kurang gerak, kurang olahraga, tidur di ruangan ber-AC, makan enak enak tetapi gizinya sedikit. Bagi orang orang yang suka mabuk mabukan, mulai sekarang berhentilah mengkonsumsi minuman beralkohol. Karena minuman beralkohol sangat buruk untuk kesehatan.

Apakah puasa itu penting? Karena Hindu itu sifatnya sangat fleksibel. Mau puasa, silahkan. Tidak puasa, juga tidak apa apa. Jika perbuatan kita selalu baik dan tidak melanggar agama, apalagi kita rajin bersedekah, antara puasa dan tidak puasa, tidak menjadi masalah. Mau berpuasa di hari hari keagamaan umat Hindu seperti Siwaratri, Saraswati, Nyepi, Galungan, Kuningan, purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Anggarkasih, Buda Kliwon, Tumpek, dan lain lain, sangat bagus dilakukan. Tetapi bagi yang tidak berpuasa saat itu, juga tidak apa apa. Karena Hindu itu agama spiritual. Bukan agama hukum. Kecuali saat Mau Mebersih jadi Mangku dan sebagainya, barulah wajib berpuasa. Pertanyaan terakhir, apakah puasa bisa digunakan untuk sarana mencari kesaktian, kekebalan, kekayaan, ketenaran, naik pangkat dan mencari jodoh? Tidak, karena tujuan puasa untuk menahan lapar, mengendaikan hawa nafsu dan mengendaikan pikiran. Bukan untuk hal hal seperti itu.
 

Sabtu, 07 Oktober 2023

Memahami Makna Sloka Bhagawadgita Bab 9 Sloka 26

Dalam Bab 9 Sloka 26 dijelaskan bahwa Bagaimana Proses Untuk Mengembangkan Cinta Bhakti Kepada tuhan dengan Begitu Mudah?  Sehingga Setiap Orang Dapat Melakukannya? Dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa Tuhan Menginginkan Sesuatu Yang Sangat Sederhana Yang Pastinya Mampu dilakukan Oleh  Semua Orang. Betapapun Miskinnya Orang Tersebut, mereka pasti Bisa Mempersembahkannya Kepada Tuhan. Contohnya mempersembahkan daun pada tuhan. Kalau Kita Tidak Punya Dedaunan, Kita Bisa Mempersembahkan Setangkai Bunga. Kalau Kita Tidak Punya Bunga, Kita Bisa mempersembahkan Buah. Kalau Kita Tidak Punya Buah Maka Kita Bisa mempersembahkan air saja. Sebab Air Ada Dimana-Mana Dan Setiap Orang Pasti Punya. Sehingga Semiskin Apapun orang tersebut, dia Pasti Bisa Melakukannya.

Namun karena kreatifitas umat Hindu di Bali yang begitu tinggi dan didukung ekonomi yang sudah maju, maka umat Hindu di Bali merasa malu jika sembahyang ke pura cuma menghaturkan bunga saja. Harus ada usaha keras agar bunga tersebut kelihatan indah. Contohnya ketika kita mau mempersembahkan kado pada orang tua, saudara, sahabat ataupun pacar, kita berusaha keras agar tampilan kado begitu indah dan rapi. Kalau kita hanya mempersembahkan daun saja pada tuhan, maka kreatifitas kita akan mati. Makanya sebelum sembahyang ke pura, terlebih dahulu bunga dan janur dirangkai sedemikian rupa agar kelihatan menarik. Dengan jiwa seni umat Hindu di Bali maka terciptalah Canang Sari Atau Yang lebih besar dinamakan Canang Raka dan Banten. Yang terdiri dari daun, bunga dan buah. Kalau kita hanya berpatokan pada sloka di atas, maka selamanya kita akan miskin. Karena jiwa kita miskin dan selalu berharap gratisan. Dan tidak memiliki upaya keras untuk mendapatkan sesuatu. 

Contohnya kita ingin sekali mendapatkan buku buku hindu yang mungkin harganya 50 ribu dan kita sudah punya cukup uang. Tetapi kita selalu berharap gratisan karena sayang pada uang. Dan lucunya kita meminta potokopiannya saja. Dikiranya biaya potokopi buku lebih murah daripada harga buku. Kalau harga buku 50 ribu, mungkin jika buku itu dipotokopi akan memakan biaya 100 ribu. Itu adalah contoh orang orang yang berjiwa kering. Beda dengan orang yang berjiwa kreatifitas. Jangankan harga buku 50 ribu. Jika kita perlu, biarpun harganya lebih dari itu, kita pasti mampu membelinya. Karena kita memiliki jiwa pekerja keras. Dengan bekerja keras, kita mampu beryadnya. Ingat, beryadnya itu bukan hanya hubungan dengan tuhan saja. Bersedekah juga termasuk yadnya namanya. Andaikan kita semua berharap gratisan saja dan tidak mau bekerja keras, dunia ini tidak akan sejahtera. Jangankan menolong orang lain, menolong diri sendiri saja tidak bisa. Karena kita malas dan tidak mau bekerja keras.

Makanya di grup Facebok, jika ada yang memposting penjualan buku buku hindu pasti jarang yang mau komen. Paling hanya di-like saja. Atau lucunya minto kopiannya saja. Tapi jika berdebat di media sosial, orang orang indonesia paling nomer satu. Karena orang Indonesia itu sok pintar ngomong, suka debat, kelebihan teori, tapi praktiknya nol. Jika ada postingan yang mau menggalang dana untuk menolong orang yang terkena musibah, jarang ada yang komen. Mereka berdalih tidak punya apa apa dan tidak ada yang disumbangkan. Ups, jaga ucapanmu ya? Kamu bilang tidak punya apa apa, itu salah besar. Kamu punya tangan, punya bibir, punya pikiran. Ingat, menolong orang tidak selalu identik dengan uang. Kita punya tangan, gunakanlah tangan itu untuk menolong. Kita punya bibir, gunakanlah untuk bicara yang baik, mendoakan orang yang kena musibah. Kita punya pikiran, gunakanlah untuk memecahkan masalah. Makanya mulai sekarang berhentilah mengatakan kamu tidak punya apa apa. Kamu harus kreatif.

Mengenai mempersembahkan air, sangat lucu kedengarannya jika kita ke pura cuma mempersembahkan air saja. Masyarakat awam tidak boleh sembarangan mempersembahkan air pada tuhan. Karena hanya Sulinggih dan Mangku yang berhak mempersembahkan air pada tuhan. Dan memohon agar air itu menjadi Tirta. Setelah air itu mendapatkan anugrah dari tuhan, barulah air tersebut dibagikan kepada umat agar semua orang mendapatkan anugrah dari tuhan. 

Umat Hindu di Bali menggelar yadnya selalu ada unsur seninya. Makanya dalam bagian bagian Weda ada istilah Gandarwa atau ilmu yang mempelajari seni. Dalam memberikan wejangan pada masyarakat, orang Bali menyuguhkannya dalam bentuk Sendratari, drama, Parwa dan Topeng. Yang mengambil lakon Mahabrata dan Ramayana. Saking seninya umat Hindu di Bali, makanya ada Banten Pajegan atau Gebogan yang menjulang tinggi. Pura sebagian besar di Bali dihiasi dengan seni ukir. Ada juga Wadah, Bade, dan lembu dalam upacara Ngaben. Mengenai etika persembahan pada tuhan, umat tidak mau mempersembahkan bunga yang sudah busuk, layu, dan dihinggapi semut atau ulat. Dalam merangkai janur, tidak boleh memakai Staples. Harus memakai Semat. Dan dalam mempersembahkan Saiban tidak boleh memakai kertas minyak. Harus memakai daun pisang.