Kamis, 27 Juni 2019

Bali Anti Weda Dan Anti India?

Belakangan ini banyak yang menuding bahwa konsep Hindu di Bali sangat bertentangan dengan Weda. Selain konsep Hindu di Bali dituduh tidak sesuai Weda, kini ada tuduhan lain terhadap Hindu di Bali yaitu Bali anti India dan anti Weda. Untuk menanggapi tudingan tersebut Ternyata slogan Depang Anake Ngadanin memang salah satu jargon yang ampuh untuk menghindari perdebatan. Karena Hindu di Bali bukan anti Weda ataupun anti India. Coba perhatikan keseharian orang Bali yang melantunkan sloka Weda melalui Puja Trisandya, Panca Sembah dan sebagainya. Bukankah Trisandya ataupun Panca Sembah berasal dari Sloka Sloka Weda? 

kita sebenarnya sudah memaknai ajaran Ithasa dan mengaplikasikannya dalam setiap yadnya. Kita sudah menggunakan Purana sebagai patokan dalam membuat tempat suci seperti Padmasana. Leluhur kita mewariskan Sruti, Smerti, Purana, dan Itihasa dalam bentuk lontar yang telah disalin dalam bentuk buku. Kidung Kekawin dan pementasan seni semuanya menggunakan acuan lontar tersebut. Tanpa kita sadari, ternyata kita sudah membaca Weda sejak dulu. Bahkan mengaplikasikannya langsung dalam keseharian. Jika Bali anti India, tidak mungkin Ashram menjamur seperti sekarang. Tidak berpakaian ala India bukan berarti anti India.
                
Praktek agama Hindu di Bali selalu merujuk pada weda. Semua aspek kehidupan berdasarkan pada ajaran yang bersumber pada pustaka suci weda. Karena pustaka suci weda tidak mencakup menjadi satu buku seperti kitab suci agama lain. Pustaka suci weda adalah kumpulan dari berbagai buku suci yang sangat banyak. Untuk memahami weda, kita mesti memahami peta kodifikasi sebagaimana telah dikompilasikan oleh Bhagawan Wyasa. Ada weda Sruti dan Smerti. Sruti terbagi menjadi kitab Mantra, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Kitab Mantra terdiri dari Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Kemudian masing-masing Catur Weda memiliki kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Adapun Smerti terdiri dari kitab Sad Wedangga yaitu Siksa, Wyakarana, Canda, Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa. Kitab Kalpa terdiri dari Srautasruta, Giyasutra, Dharmasutra, dan Sulwasutra. Kemudian kitab Upaweda yaitu Ithasa, Purana, Artasastra, Gandarwa Weda, dan Kamasutra.
         
Selanjutnya di Bali, tidak semua kitab tersebut dapat ditemukan dan diterapkan dalam praktek agama Hindu. Berdasarkan catatan Hooykaas dan Goris, di Bali belum ditemukan weda sebagaimana aslinya seperti Catur Weda, Upanisad dan sebagainya. Justru di Bali praktek agama Hindu berdasarkan pada Catur Weda Sirah yakni kitab yang memuat intisari dari Sanghyang Weda Samhita. Kemudian hampir keseluruhan praktek agama berdasarkan pada Lontar yang terbagi menjadi Lontar Tatwa, Susila, Upakara, Tutur, Kawisesan, Kelepasan, Keputusan, dan Lontar Sastra seperti Kekawin dan Geguritan. Menariknya lagi, di Bali, ajaran dan nilai Weda dalam lontar dan teks-teks sejenis diwujudkan dalam praktek ritual dalam kehidupan sehari-hari. Warga Hindu di Bali tidak akan memahami weda secara teoritis. Tetapi sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memahami weda tetapi melakoninya dalam tindakan dan ritual yang sudah mencerminkan nilai weda. Jadi wacana Back To Veda bukan diartikan agama Hindu di Bali tak berdasarkan pada weda. Tetapi kembali memaknai praktek agama Hindu di Bali sehingga tidak hanya berhenti pada ritual. Tetapi memaknai dan mewujudkan dalam prilaku.
          
Makanya leluhur orang Bali lebih menekankan aspek laku spiritual atau praktek keagamaan yang disisipkan melalui berbagai macam seni dan budaya Bali. Isi kitab suci harus dibuktikan kebenarannya dengan cara dipraktekan langsung. Itulah salah satu aspek dari Pratyaksa Pramana. Bahkan Buddha Awatara telah menegaskan lagi hal ini dengan mengajarkan Ehipasiko datang lihat dan buktikan sendiri setiap ajaran atau kitab suci yang dibaca. Bukan baca dan lalu dipercaya begitu saja sebagai kebenaran mutlak. Kalau kitab suci hanya dibaca dan lalu harus dipercaya begitu saja, itu namanya doktrin akan menyingkirkan aspek cipta, rasa, dan karsa yang dianugerahkan tuhan kepada umat manusia. Ajaran doktrin hanya akan melahirkan robot-robot bernyawa seperti para teroris yang berani melakukan bom bunuh diri dengan alasan kitab suci.
        
mengartikan kitab suci secara sembarangan, takutnya nanti bisa gagal paham. Cuma bisa ngomong agama tapi tidak bisa menjalankan, hanya koar-koar menghasut orang. Ajaran Hindu tidak demikian karena Hindu punya cara tersendiri untuk membaca kitab sucinya. Walaupun Hindu di Bali dituduh jarang membaca kitab suci, tapi belum pernah saya lihat orang Bali menjadi teroris. Justru kedamaian tetap terjaga, gotong-royong, toleransi masih tetap terasa, aktifitas sosial masih berlangsung di Banjar-Banjar, dan persatuan tetap utuh. Semuanya itu bagian dari praktek ajaran yang ada dalam kitab suci karena sudah diwariskan secara turun-temurun. Leluhur orang Bali mengajarkannya melalui praktek langsung dan bukan hanya sekedar koar-koar berbicara kitab suci sampai menimbulkan konflik antar umat beragama.
        
Sebenarnya Weda itu ada dalam diri kita masing-masing. Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan rohani tinggi atau suci maka Weda akan keluar sendiri dalam diri kita. Oleh sebab itu, kita yang harus menggali dan menghidupkan Trikaya Parisuda melalui Catur Marga dan melalui Penunggal Tri Murti. Kapan melihat diri kita bersinar ada Tri Murti, maka Weda itu sudah kita temukan. Karena pada dasarnya jauh lebih baik praktek daripada kebanyakan teori. Karena pengetahuan itu bukan hanya didapat melalui membaca kitab suci. Belajar dari kehidupan sehari-hari pun bisa. Karena pengalaman hidup adalah guru terbaik bagi orang yang mau belajar.
         
Dalam ajaran Hindu dikenal dengan adanya tiga kerangka dasar yaitu Tatwa atau filsafat, etika atau susila, dan Upakara atau upacara. Ketiga kerangka dasar tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dimana Tatwa adalah ilmu pengetahuannya sebagai bahan acuan. Sedangkan etika adalah tingkah laku dalam lingkungan sosial. Dan Upakara adalah tata cara penghormatan dan rasa syukur kepada tuhan. Dalam keseharian umat Hindu memang jarang mempelajari Tatwa tetapi telah mempraktekkan susila dan upacara sesuai dengan ajaran dalam kitab suci Weda. Jadi, secara tidak langsung, umat Hindu sudah melakukan apa yang ditulis dalam Weda. Hanya mereka tidak tahu atau kurang paham terhadap makna dari hal-hal yang dilakukannya tersebut. Untuk mempelajari Weda memang tidak segampang kelihatannya. Berbeda dengan kitab suci agama lain yang sudah jelas pemaknaannya. Tetapi dalam Weda sendiri adalah syair-syair atau nyanyian suci dalam bahasa Sanskerta. Sehingga tidak semua orang bisa memahaminya apa sebenarnya arti dari syair yang ada dalam Weda kecuali orang tersebut sudah mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi yang mengerti dan memahami tentang alam semesta sehingga dari pembaca Weda adalah dari kalangan Maharsi atau orang suci. Kita sebagai umat Hindu semoga selalu berpegang teguh pada ajaran Trikaya Parisuda.
         

Minggu, 23 Juni 2019

Tanggapan Untuk Postingan Tentang Umat Hindu Banyak Yang Pindah Agama.

Di Medsos, baru-baru ini saya baca postingan bahwa sudah ada 27500 umat Hindu sudah konversi agama alias pindah agama. Disana tidak dijelaskan sumber datanya darimana. Yang jelas disana dinyatakan bahwa umat Hindu yang pindah agama sebagian besar disebabkan oleh tekanan adat Hindu di Bali yang sangat rumit. Selain itu, ada juga karena motif ekonomi, dan penceramah agama yang tidak memberikan kesejukan pada umatnya. Disana juga dijelaskan bahwa sampai saat ini juga oknum-oknum rohaniawan dan tokoh Hindu masih dibelenggu oleh sifat sifat Egois yang masih tinggi, selalu berdebat untuk kepentingan kelompok seperti Soroh, Wangsa, dan Klan. Greget feodalisme-nya masih kuat dan menganggap diri lebih superior. Sepertinya belum sinkron ke paradigma mereka, bagaimana merealisasikan strategi agar penerapan Tatwa, etika, dan upacara dapat porsi yang seimbang. Malah umat terus disuguhkan isi-isi lontar yang sudah dibuat ribuan tahun silam yang belum tentu cocok dengan situasi sekarang dan Upakara-Upakara yang mahal dan menakutkan. Apakah Hindu akan makin menyusut? Apakah oknum-oknum dan pihak terkait tetap buta tuli? Semoga orang orang yang peduli terhadap Hindu bisa merubah semuanya menjadi lebih baik.
       
Sayangnya dalam postingan tersebut tidak menyertakan data yang valid. Kalau memposting sesuatu tidak disertai dengan data yang valid, pasti akan dianggap hoax Atau hanya opini orang itu sendiri. Karena pada umumnya konversi itu bisa saja disebabkan oleh perkawinan. Misalnya seorang wanita Hindu yang dinikahi oleh pria non Hindu. Otomatis wanita tersebut pindah ke agama pria yang menikahinya itu. 

Mengenai postingan yang menyatakan bahwa penceramah itu tidak pernah memberikan kesejukan pada umatnya. Saya jadi ingin bertanya, penceramah itu harus bagaimana? Apakah Sulinggih itu harus terjun ke lapangan dan mendongeng kesana kemari? Ingat, dalam Hindu itu sang penceramah memberikan pemahaman sesuai kebutuhan sang umat. Karena Apa yang umat tanyakan, itulah yang diberikan oleh Sulinggih. Dan masalah tentang Klan dan Soroh itu hanya bentuk dari perbedaan politik. Cuma sepakat melarang politik masuk adat Kawitan dalam bentuk apapun. Entah itu politik praktis, politik Simakrama dan lain-lain. Saya yakin tidak ada permasalahan Klan dan Soroh karena semua sudah punya posisi masing-masing. Dan satu saja pesan saya. Berhentilah khawatir berlebihan. Hindu menyusut bukan karena hal diatas. Tapi karena memang ada salah satu umat yang kurang kuat dan greget terhadap agamanya sendiri. 

Dan mengenai lontar, saya akan  jelaskan disini bahwa lontar itu dibuat oleh tokoh suci atau sang penerima wahyu di jaman dulu. Memangnya lontar mana yang bertentangan dengan jaman? Lontar itu membahas tentang esensi. Jika memang itu boleh dirubah sesuai keinginan hati, mungkin tidak menunggu kalian untuk menilainya. Mungkin dari dulu sudah dirubah. Memangnya siapa yang tidak ingin praktis di jaman ini? Cuma sebatas mana kita boleh dan patut? Mari berhenti menyalahkan yang lain bila keadaan anda tidak kuat. Sulinggih dan tokoh suci juga manusia. Beliau bekerja tulus dan rasanya tidak mungkin bisa memuaskan hati semua umat. Jadi, jangan semua kesalahan dan beban dilimpahkan kepada beliau. Meskipun ada oknum tokoh suci yang mungkin dirasa melenceng, sebaiknya jangan pukul rata semua. Jangan pula itu dijadikan patokan untuk menilai. Dan satu lagi yang paling penting, serahkan semua kepada alam. Saya yakin rata-rata umat sudah berusaha menjaga eksistensi kehinduannya. Tapi masalah hasil, serahkan saja kepada alam dan sang penguasa.

Kenapa Krematorium Di Bali Menjadi Kontroversi?

Kenapa keberadaan krematorium di Bali selalu saja menimbulkan polemik dan menjadi kontroversi di masyarakat? Padahal harus diakui keberadaan krematorium merupakan salah satu terobosan pemecah kebuntuan terhadap begitu seringnya terjadi kasus-kasus adat seperti kasus Kasepekang. Apa itu Kasepekang? Kasepekang adalah istilah hukum adat di Bali yang artinya dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat. Penyebabnya adalah orang yang Kasepekang itu jarang bisa ikut Tedun Ngayahang Banjar atau jarang hadir dalam kegiatan adat di Banjar. Sanksinya adalah jika yang Kasepekang tersebut meninggal atau memiliki keluarga meninggal, maka mayatnya dilarang dikuburkan atau dibakar di kuburan adat desa tersebut. Untuk menangani masalah tersebut Maka kehadiran krematorium umum adalah solusi bagi orang-orang yang terkena kasus adat seperti Kasepekang. Mengenai kontroversi terhadap keberadaan krematorium wajar terjadi dalam dinamika berpikir masyarakat Bali karena di setiap desa adat di Bali sudah pasti memiliki kuburan adat. 
            
Mayarakat merasa terganggu jika ada salah satu warga yang mengambil jalan ini. Tapi bagaimana dengan orang yang Kasepekang tersebut  memiliki keluarga meninggal? Sudah pasti mayatnya akan dibawa ke krematorium. Adanya pergeseran budaya dari Ngaben di Setra berpindah ke krematorium disebabkan adanya pergeseran nilai dan pandangan masyarakat terkait dengan aturan di desa adat yang dianggap memberatkan mereka. Pasalnya mereka menganggap Ngaben di Setra memerlukan banyak biaya dan sulit dilaksanakan. Hal ini menyebabkan mereka memilih ke krematorium daripada pulang ke kampung halaman untuk melaksanakan Pengabenan di Setra. 

Selain itu terkadang di desa adat ada istilah Kekeran Desa yang cukup lama karena adanya upacara seperti Panca Walikrama di pura Besakih. Jika jenazah dititipkan di rumah sakit maka akan memakan biaya yang sangat mahal. Apalagi ada aturan adat yang mengharuskan Ngaben dengan upacara Banten Bebangkit dan Pulogembal. Apabila tidak menggunakan upacara tersebut, maka Pengabenan tidak mau dipuput oleh Sang Sulinggih. Dan ironisnya,  belakangan ini beredar kabar tentang membakar mayat di krematorium sangat bertentangan dengan Weda, benarkah? Setelah saya membaca artikel di koran Tribun Bali edisi 12 Desember 2016, disana dijelaskan bahwa sebenarnya tujuan pembakaran mayat ada dua macam.
                
Pertama untuk mengembalikan unsur Panca Mahabhuta melalui pembakaran. Dan yang kedua adalah mensucikan roh yang pernah memasuki badan duniawi melalui upacara Ngaskara. Di Bali, model pengembalian unsur Panca Mahabhuta itu ada yang bernama Tunon yang artinya membakar. Tentu ketika membakar jenazah pasti dilakukan di Setra atau Pamuwun. Dan rentetan Tunon harus diisi Panca Datu atau Mebumisudha. Sedangkan proses pembakaran jenazah ada dua macam yaitu bisa dilakukan dengan cara Pengabenan dan kedua adalah Mekingsan Di Geni. Jadi mengenai pertanyaan apakah membakar jenazah di krematorium bertentangan dengan Weda? 

Sepanjang umat Hindu melakukan pembakaran jenazah di krematorium disertai dengan upacara sesuai dengan standar agama, itu artinya tidak bertentangan. Yang dimaksud sesuai dengan standar agama adalah melakukan prosesi memercikan Tirta Widhi dan Tirta Weda pada jenazah. Tirta Widi adalah air suci yang diambil dari Sanggah Merajan atau pura desa. Masalahnya ketika melakukan proses pembakaran mayat di krematorium, terkadang desa adat akan menolak memberikan Tirta Kahyangan Tiga. Lalu bagaimana solusinya? Bila itu terjadi, anggota keluarga yang memiliki kematian harus Nyawang melalui Sanggah Surya.
               
Ngaben di krematorium yang penting semua prosedur Upakara Ngaben terpenuhi seperti Nunas Tirta Ring Kahyangan Tiga, Merajan, Pura Kawitan, Nganget Don Bingin, Nyiramin Layon, Ngajum Kajang, Ngaskara, Papegatan, Nganyud dan lain-lain, semua itu sah sah saja. semua proses Upakara Ngaben dilakukan baik di rumah duka maupun di krematorium, tidak ada perbedaan. Yang membedakan hanyalah tempat. Ada di Setra dan ada di krematorium. Dan krematorium juga banyak dikelola oleh desa adat dan lokasi juga ada di desa Setra adat seperti desa Pekraman Buleleng, Tista, Klungkung, dan Bangli.