Belakangan ini banyak yang menuding bahwa konsep Hindu di
Bali sangat bertentangan dengan Weda. Selain konsep Hindu di Bali dituduh tidak sesuai Weda,
kini ada tuduhan lain terhadap Hindu di Bali yaitu Bali anti India dan anti Weda. Untuk menanggapi tudingan tersebut Ternyata slogan Depang Anake Ngadanin memang salah satu
jargon yang ampuh untuk menghindari perdebatan. Karena Hindu di Bali bukan anti Weda ataupun anti India. Coba perhatikan keseharian orang Bali yang melantunkan sloka Weda melalui Puja
Trisandya, Panca Sembah dan sebagainya. Bukankah Trisandya ataupun Panca Sembah berasal dari Sloka Sloka Weda?
kita sebenarnya sudah memaknai
ajaran Ithasa dan mengaplikasikannya dalam setiap yadnya. Kita sudah
menggunakan Purana sebagai patokan dalam membuat tempat suci seperti
Padmasana. Leluhur kita mewariskan Sruti, Smerti, Purana, dan Itihasa
dalam bentuk lontar yang telah disalin dalam bentuk buku. Kidung Kekawin
dan pementasan seni semuanya menggunakan acuan lontar tersebut. Tanpa kita sadari, ternyata kita sudah membaca Weda sejak dulu. Bahkan mengaplikasikannya langsung dalam
keseharian. Jika Bali anti India, tidak mungkin Ashram menjamur seperti
sekarang. Tidak berpakaian ala India bukan berarti anti India.
Praktek agama Hindu di Bali selalu
merujuk pada weda. Semua aspek kehidupan berdasarkan pada ajaran yang
bersumber pada pustaka suci weda. Karena pustaka suci weda tidak mencakup menjadi satu buku seperti kitab
suci agama lain. Pustaka suci weda adalah kumpulan
dari berbagai buku suci yang sangat banyak. Untuk memahami weda, kita
mesti memahami peta kodifikasi sebagaimana telah dikompilasikan oleh
Bhagawan Wyasa. Ada weda Sruti dan Smerti. Sruti terbagi menjadi kitab
Mantra, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Kitab Mantra terdiri dari Reg
Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Kemudian masing-masing
Catur Weda memiliki kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Adapun
Smerti terdiri dari kitab Sad Wedangga yaitu Siksa, Wyakarana, Canda,
Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa. Kitab Kalpa terdiri dari Srautasruta,
Giyasutra, Dharmasutra, dan Sulwasutra. Kemudian kitab Upaweda yaitu
Ithasa, Purana, Artasastra, Gandarwa Weda, dan Kamasutra.
Selanjutnya di Bali, tidak semua kitab tersebut dapat ditemukan
dan diterapkan dalam praktek agama Hindu. Berdasarkan catatan Hooykaas
dan Goris, di Bali belum ditemukan weda sebagaimana aslinya seperti
Catur Weda, Upanisad dan sebagainya. Justru di Bali praktek agama Hindu
berdasarkan pada Catur Weda Sirah yakni kitab yang memuat intisari dari
Sanghyang Weda Samhita. Kemudian hampir keseluruhan praktek agama
berdasarkan pada Lontar yang terbagi menjadi Lontar Tatwa, Susila,
Upakara, Tutur, Kawisesan, Kelepasan, Keputusan, dan Lontar Sastra
seperti Kekawin dan Geguritan. Menariknya lagi, di Bali, ajaran dan
nilai Weda dalam lontar dan teks-teks sejenis diwujudkan dalam praktek
ritual dalam kehidupan sehari-hari. Warga Hindu di Bali tidak akan
memahami weda secara teoritis. Tetapi sudah dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka tidak memahami weda tetapi melakoninya dalam
tindakan dan ritual yang sudah mencerminkan nilai weda. Jadi wacana Back
To Veda bukan diartikan agama Hindu di Bali tak berdasarkan pada weda.
Tetapi kembali memaknai praktek agama Hindu di Bali sehingga tidak hanya
berhenti pada ritual. Tetapi memaknai dan mewujudkan dalam prilaku.
Makanya leluhur orang Bali lebih menekankan aspek laku spiritual atau
praktek keagamaan yang disisipkan melalui berbagai macam seni dan budaya
Bali. Isi kitab suci harus dibuktikan kebenarannya dengan cara
dipraktekan langsung. Itulah salah satu aspek dari Pratyaksa Pramana.
Bahkan Buddha Awatara telah menegaskan lagi hal ini dengan mengajarkan
Ehipasiko datang lihat dan buktikan sendiri setiap ajaran atau kitab
suci yang dibaca. Bukan baca dan lalu dipercaya begitu saja sebagai
kebenaran mutlak. Kalau kitab suci hanya dibaca dan lalu harus dipercaya
begitu saja, itu namanya doktrin akan menyingkirkan aspek cipta, rasa,
dan karsa yang dianugerahkan tuhan kepada umat manusia. Ajaran doktrin
hanya akan melahirkan robot-robot bernyawa seperti para teroris yang
berani melakukan bom bunuh diri dengan alasan kitab suci.
mengartikan kitab suci secara
sembarangan, takutnya nanti bisa gagal paham. Cuma bisa ngomong agama
tapi tidak bisa menjalankan, hanya koar-koar menghasut orang. Ajaran
Hindu tidak demikian karena Hindu punya cara tersendiri untuk membaca
kitab sucinya. Walaupun Hindu di Bali dituduh jarang membaca kitab suci,
tapi belum pernah saya lihat orang Bali menjadi teroris. Justru
kedamaian tetap terjaga, gotong-royong, toleransi masih tetap terasa,
aktifitas sosial masih berlangsung di Banjar-Banjar, dan persatuan tetap
utuh. Semuanya itu bagian dari praktek ajaran yang ada dalam kitab suci
karena sudah diwariskan secara turun-temurun. Leluhur orang Bali
mengajarkannya melalui praktek langsung dan bukan hanya sekedar
koar-koar berbicara kitab suci sampai menimbulkan konflik antar umat
beragama.
Sebenarnya Weda itu ada dalam diri kita masing-masing. Apabila
seseorang sudah mencapai tingkatan rohani tinggi atau suci maka Weda
akan keluar sendiri dalam diri kita. Oleh sebab itu, kita yang harus
menggali dan menghidupkan Trikaya Parisuda melalui Catur Marga dan
melalui Penunggal Tri Murti. Kapan melihat diri kita bersinar ada Tri
Murti, maka Weda itu sudah kita temukan. Karena pada dasarnya jauh lebih
baik praktek daripada kebanyakan teori. Karena pengetahuan itu bukan
hanya didapat melalui membaca kitab suci. Belajar dari kehidupan
sehari-hari pun bisa. Karena pengalaman hidup adalah guru terbaik bagi
orang yang mau belajar.
Dalam ajaran Hindu dikenal dengan adanya tiga kerangka dasar
yaitu Tatwa atau filsafat, etika atau susila, dan Upakara atau upacara.
Ketiga kerangka dasar tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Dimana Tatwa adalah ilmu pengetahuannya sebagai bahan acuan.
Sedangkan etika adalah tingkah laku dalam lingkungan sosial. Dan Upakara
adalah tata cara penghormatan dan rasa syukur kepada tuhan. Dalam
keseharian umat Hindu memang jarang mempelajari Tatwa tetapi telah
mempraktekkan susila dan upacara sesuai dengan ajaran dalam kitab suci
Weda. Jadi, secara tidak langsung, umat Hindu sudah melakukan apa yang
ditulis dalam Weda. Hanya mereka tidak tahu atau kurang paham terhadap
makna dari hal-hal yang dilakukannya tersebut. Untuk mempelajari Weda
memang tidak segampang kelihatannya. Berbeda dengan kitab suci agama
lain yang sudah jelas pemaknaannya. Tetapi dalam Weda sendiri adalah
syair-syair atau nyanyian suci dalam bahasa Sanskerta. Sehingga tidak
semua orang bisa memahaminya apa sebenarnya arti dari syair yang ada
dalam Weda kecuali orang tersebut sudah mencapai tingkat kebijaksanaan
tertinggi yang mengerti dan memahami tentang alam semesta sehingga dari
pembaca Weda adalah dari kalangan Maharsi atau orang suci. Kita sebagai umat
Hindu semoga selalu berpegang teguh pada ajaran Trikaya Parisuda.