Rabu, 25 September 2019

Apakah Bhutakala Sama Dengan Jin?

Apakah Bhutakala sama dengan jin atau setan? Kalau menurut saya, Bhutakala tidak sama dengan jin atau setan. Jika jin atau setan dalam agama lain diusir agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Sedangkan Bhutakala tidak diusir tetapi diberikan Lelaban atau sesajen agar hatinya menjadi Somia atau senang. Setelah hatinya senang maka ia akan berubah menjadi dewa. Itulah hebatnya Hindu. Lalu apakah Hindu itu pemuja Bhutakala? Jawabannya adalah tidak. Hindu itu bukanlah pemuja Bhutakala. Walaupun umat Hindu sering memberikan Lelaban kepada Bhutakala, itu bukan berarti Hindu memuja Bhutakala. Buktinya pada saat memberikan Lelaban pasti ditaruh di bawah. Ibarat kita memberi makanan pada sapi, bukan berarti kita memuja sapi. Memberi makanan berbeda maknanya dengan memuja.
             
Memberi makanan pada hewan peliharaan adalah bentuk rasa kasih sayang terhadap mahluk hidup. Lalu kenapa hanya umat Hindu di Bali saja memiliki konsep memberikan sesajen kepada Bhutakala? Tidak juga. Di India juga ada sistem penghormatan terhadap Bhutakala. Kalau anda tidak percaya, silahkan tonton serial Mahadewa. Pasalnya serial Mahadewa adalah produk India, bukan produk Bali. Jika ada orang yang mengatakan bahwa hanya umat Hindu di Bali saja yang memiliki konsep penghormatan terhadap Bhutakala, berarti orang itu salah.
         
Lalu kenapa demi menyenangkan Bhutakala, umatnya begitu tega mengorbankan binatang sebagai persembahan? Terkadang hewan dibunuh untuk ritual Caru. Apakah hal itu tidak melanggar konsep Ahimsa? Bukankah dalam Weda perbuatan membunuh dengan alasan apapun sangat dilarang? Betul sekali. Dalam sloka Weda sangat melarang tindakan membunuh. Tetapi watak Hindu itu sangat permisif dan toleransi terhadap budaya dan kearifan lokal.
         
Ritual Caru itu adalah tradisi lokal. Hindu tetap mengakui tradisi tersebut sebagai bagian dari Hindu. Itulah hebatnya Hindu. Hindu tidak suka mencibir, atau sinis, apalagi menentang tradisi yang dianggap bertentangan dengan Weda. Karena pengertian Ahimsa tidak saja berarti tidak membunuh. Ahimsa juga berarti tidak melakukan konfrontasi atau menentang tradisi lokal secara radikal hingga membuat kelompok lain sakit hati. Kita sebagai penekun spiritual tidak boleh melakukan konfrontasi. Jika level spiritual kita semakin tinggi, seharusnya kita bisa menghormati tradisi kelompok lain.
               
Apakah tradisi yang berisi pembunuhan hewan bisa dihapus? Menurut saya, yang namanya tradisi itu sulit sekali untuk dihapus. Justru tradisi itu semakin lestari dari abad ke abad. Andai saja tradisi bisa dihapus, mungkin sudah dari dulu terhapus tanpa anda bersusah-susah untuk menghapusnya. Jangankan Hindu etnis Bali, Hindu Etnis India pun punya ritual yang berisi pembunuhan hewan yang lebih sadis dibandingkan pembunuhan hewan di Bali. Ritual tersebut bernama ritual Gadimai yang masih lestari sampai sekarang walaupun ada pihak tertentu yang menyarankan agar ritual tersebut dihentikan.
 
Kenapa Hindu Di Bali Menyembah Bhutakala?
-----------------------------------------------
 
Menurut saya, tradisi menyembah Bhutakala bukan hanya ada di Hindu Bali.Hindu di India pun mengenal tradisi menyembah Bhuta. Kalau tak percaya, coba saksikan film India yang berjudul Mahadewa. Ketika terjadi perang antara para dewa melawan para Bhuta. Bukankah boss para dewa adalah dewa Siwa juga? Jadi kesimpulannya adalah dewa dan Bhuta itu pada prinsipnya adalah sama-sama anak dari tuhan. Dan yang perlu kita ingat  adalah film Mahadewa adalah produk India dan bukan produk Bali. Dengan kata lain umat Hindu di India pun mengakui bahwa Bhuta  itu bukan mahluk haram. Maka dari itu, Hindu di Bali mengenal istilah Dewa Ya Bhuta Juga Ya.
              
Kemudian pada hari Pengrupukan atau malam sebelum hari Nyepi ada istilah Nyomia Bhuta menjadi dewa yang disebut dengan ritual Tawur Kasanga. Hindu di Bali juga membuat Ogoh-Ogoh pada hari itu sebagai simbol perwujudan Bhutakala. Oleh karena dewa dan Bhuta sama-sama anak dari tuhan, makanya Bhuta dalam Hindu tidak diusir atau dimusuhi. Melainkan diberi Labahan atau Segehan [makanan] agar mereka tidak mengganggu menurut mitologi Hindu di Bali.
      
Memberi makanan tidak sama dengan menyembah sebagaimana pendapat agama non Hindu dan orang yang mengaku Hindu tidak boleh berpandangan seperti itu. Kita menyayangi dan memberi makan pada sapi bukan berarti kita menyembah sapi melainkan simbol menyayangi semua mahluk atau yang biasa disebut dengan Prema.
           
Orang yang terbiasa membaca kitab suci pasti selalu menanyakan sesuatu hal atau tadisi itu apakah ada dalam kitab suci. Hal itu adalah wajar dan tidak salah. Mereka ingin tahu dan mereka sudah mulai berpikiran kritis. Maka dari itu kita sebagai Hindu harus bisa menjelaskan sesuatu kepada mereka yang belum mengerti. Karena Hindu itu bukan agama hukum dan tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Belajar Hindu harus secara komprehensif dan kronologis. Contohnya, apakah Ogoh-Ogoh ada dalam kitab suci? Tentu saja tidak ada. Pasalnya dasar sastra yang menyebut Ogoh-Ogoh memanglah tidak ada. Tapi yang ada hanyalah mengusir Bhutakala. Dan mengusir Bhutakala model Hindu tidaklah sama caranya dengan model agama lain dalam mengusir setan. Kalau agama lain mengusir setan dengan cara kasar yakni dilempar. Tapi kalau cara Hindu adalah dengan menyenangkan atau memberi Segehan atau Caru. Sementara Ogoh-Ogoh adalah Bhutakala yang Personifikasi atau dibuatkan wujud.
          
Banyak orang-orang yang suka filsafat sering menyarankan agar tradisi mengarak ogoh-ogoh saat malam sebelum Nyepi dihilangkan. Tentu saja hal ini akan menjadi kontroversi dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Jika Ogoh-Ogoh dihilangkan, itu artinya sama dengan menghapus Hindu karena itu adalah hiburan keagamaan. Tapi yang harus selalu ada dalam menyambut Nyepi adalah penyucian desa dan rumah dengan api. Tujuannya untuk menetralisir hal-hal negatif ataupun kekotoran.
           
Kenapa di Bali harus ada Ogoh-Ogoh ketika menyambut Nyepi? Karena Ogoh-Ogoh di Bali adalah simbol Bhutakala atau sifat negatif manusia. Makanya Bhutakala itu tidak dihilangkan dengan cara kasar tetapi dengan cara halus. Denga cara memberikan Caru atau Segehan yang disebut Tawur Kesanga agar Bhutakala itu senang hatinya. Ketika hatinya sudah senang maka beliau akan berubah menjadi Dewa menurut konsep Hindu Di Bali. Ketika beliau telah berubah menjadi Dewa, maka kita akan tenang melakukan Catur Brata Penyepian yaitu empat hal yang dilarang saat Nyepi diantaranya tidak boleh menyalakan api. Dan api disini bukan saja berarti api, tetapi juga berarti api amarah yang ada di dalam diri manusia dan api hawa nafsu yang disebut Sadripu (anda bisa baca bagian dari Sadripu di topik lain). Yang kedua tidak boleh bekerja, ketiga tidak boleh bepergian, dan keempat adalah tidak boleh bersenang-senang.
            
Saya sangat setuju dengan adanya Ogoh-Ogoh di malam Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Asalkan Ogoh-Ogoh Itu berbentuk Bhutakala seperti Raksasa, Celuluk, Rangda dan lain-lain. Asalkan Ogoh-Ogoh itu tidak menyimpang dari tema Bhutakala. Karena jaman sekarang itu kreatifitas seseorang hampir melewati batas norma kemanusiaan yang melanggar undang-undang Pornografhy. Misalnya membuat ogoh-ogoh yang bersifat Porno dengan memperlihatkan alat kelamin pada ogoh-Ogoh. Kalau Ogoh-Ogoh sampai dibuat ada kelaminnya, itu oknum perorangan yang tidak mengerti filsafat agama, etika, dan ritual dan juga tidak memikirkan dampak negatifnya. Ogoh-Ogoh yang menampilkan hal-hal porno sangatlah bertentangan dengan undang-undang Pornografi dan juga bertentangan dengan ajaran agama.
                   
Selain menyembah Bhutakala, Hindu di Bali juga mengenal konsep memanusiakan alam atau lingkungan dan juga memanusiakan tuhan. Makanya orang-orang yang tidak paham dengan Hindu tradisi Bali, mereka pasti akan mengatakan bahwa Hindu di Bali adalah penyembah mahluk halus, bersekutu dengan setan, iblis, penyembah berhala, pohon, batu, dan lain-lain.
           
Konsep memanusiakan alam dalam tradisi Bali misalnya pohon dihiasi dengan pakaian layaknya manusia mengenakan pakaian. Pohon juga diberikan hidangan layaknya manusia diberi hidangan. Bagaimanapun juga, Hindu di Bali tetap memegang teguh konsep Wyapi Wyapaka yang artinya tuhan ada di mana mana termasuk ada di pohon, batu, dan lain-lain. Meskipun Hindu di Bali dituduh penyembah berhala, tapi Hindu di Bali tetap memuja Hyang Widhi. Mengenai Hindu di Bali diperbolehkan mempersembahkan darah dan daging binatang, itu disebabkan karena Hindu di Bali menganut paham Siwa Sidanta dan Bairawa
         
Umat Hindu di Bali banyak dipengaruhi faham atau filsafat dari Siwa Sidhanta sehingga tak heran hampir setiap pura di Bali memiliki Pratima dalam wujud sakti Kroda. Wujud Barong, Ratu Ayu, Ratu Niang, Ratu Gede, Ratu Jero Wayan adalah yang paling populer selain itu ada juga berbagai macam Tapel dari wujud binatang sampai pada wujud raksasa. Bentuk dan wajah yang menyeramkan ini dipuja guna memperoleh perlindungan dan sifat-sifat jahat itu sendiri.
                  
Hindu memandang Bhutakala ataupun mahluk jahat yang lain bukan sebagai unsur kejahatan mutlak, bukan sebagai musuh, atau sesuatu yang seharusnya tak ada di antara manusia dan tuhan. Melainkan bagian dari rangkaian penciptaan yang lahir dari sang pencipta sendiri. Tanpa kehadiran mereka, tidak akan ada yang disebut sebagai kebaikan. Bagaimana kalau kekuatan jahat itu tidak ada? Mungkin alam yang kita pijak sekarang ini bukanlah bernama bumi. Disinilah tempat keberadaannya semua Tatwa termasuk Rwa Bhineda sebagai dua perbedaan yang tetap seimbang. Umat Hindu pada saat melaksanakan rangkaian upacara apapun, selalu menghadirkan atau mengundang para Bhutakala dalam upacara yadnya. Bhutakala juga diundang untuk diberi sesajen dan setelah mereka menikmatinya diharapkan untuk tidak mengganggu proses dan jalannya upacara yadnya. Satu hal lagi yang unik yaitu rasa bersahabat yang diberikan dan ditunjukkan oleh orang-orang Hindu kepada Bhutakala, dimana setiap pagi setelah kita memasak, kita memberikan persembahan rutin dalam wujud Yadnya Sesa. Semua yang kita lakukan itu ada landasan Filosofinya dari Weda sendiri. Bukan sekedar ritual yang tak beralasan dan yang bersifat sia-sia. Bukan suatu ketakutan dari orang-orang Hindu terhadap kekuatan Bhutakala apalagi untuk menduakan tuhan.
               
Dan mengenai Ritual Mecaru atau Tawur mempunyai makna untuk memberikan upah kepada para Bhuta supaya tidak mengganggu saat melaksanakan pemujaan. Setelah para Bhuta tersebut diberikan Lelaban atau upah melalui ritual Mecaru, maka mereka tidak akan mengganggu dalam kurun waktu tertentu sesuai besarnya upah yang diberikan. Setelah kurun waktunya habis maka para Bhuta tersebut akan mengganggu lagi sehingga perlu dilakukan ritual Mecaru lagi, begitu seterusnya. Kenapa para Bhuta perlu diberikan upah sebelum melaksanakan pemujaan? Secara umum, umat Hindu di Bali melakukan pemujaan akan mempersembahkan daging yang merupakan kesenangan para Bhuta. Jika para Bhuta tersebut tidak diberikan upah maka persembahan yang ada dagingnya tersebut akan diambil oleh para Bhuta. Berbeda halnya jika dalam melakukan pemujaan tidak mempersembahkan daging maka tidak perlu dilakukan ritual Mecaru. Karena persembahan tersebut tidak akan diganggu karena tidak ada dagingnya. Yang dimaksud Nyomya saat ritual Mecaru adalah berdamai. Artinya setelah para Bhuta diberikan upah melalui ritual Mecaru atau Tawur maka mereka tidak akan mengganggu karena sudah berdamai dalam kurun waktu tertentu. Dalam Bhagawadgita sloka 13-21 dijelaskan bahwa alam adalah penyebab segala sebab dan akibat material. Sedangkan mahluk hidup adalah penyebab berbagai penderitaan dan kenikmatan di dunia ini. Mungkin penjelasan dari sloka di atas adalah apabila Atman menempati badan sebagai para Bhuta maka ia akan berprilaku sebagai para Bhuta dan ia tidak akan bisa merubah prilakunya apalagi seperti para Dewa. Hanya dengan diberikan Lelaban atau segehan melalui ritual Mecaru. Selain itu, yang berwenang menentukan naik turunnya tingkat sang roh adalah perbuatannya sendiri dan rasa bhaktinya terhadap tuhan.
        
Sementara ritual Kesanga atau sehari sebelum Nyepi merupakan upacara Bhuta Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Tawur artinya membayar atau mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari alam itu dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Bhuta dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis.