Apakah
Bhutakala sama dengan jin atau setan? Kalau menurut saya, Bhutakala
tidak sama dengan jin atau setan. Jika jin atau setan dalam agama lain
diusir agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Sedangkan Bhutakala
tidak diusir tetapi diberikan Lelaban atau sesajen agar hatinya menjadi
Somia atau senang. Setelah hatinya senang maka ia akan berubah menjadi
dewa. Itulah hebatnya Hindu. Lalu apakah Hindu itu pemuja Bhutakala?
Jawabannya adalah tidak. Hindu itu bukanlah pemuja Bhutakala. Walaupun
umat Hindu sering memberikan Lelaban kepada Bhutakala, itu bukan
berarti Hindu memuja Bhutakala. Buktinya pada saat memberikan Lelaban
pasti ditaruh di bawah. Ibarat kita memberi makanan pada sapi, bukan
berarti kita memuja sapi. Memberi makanan berbeda maknanya dengan
memuja.
Memberi makanan pada hewan peliharaan
adalah bentuk rasa kasih sayang terhadap mahluk hidup. Lalu kenapa hanya
umat Hindu di Bali saja memiliki konsep memberikan sesajen kepada
Bhutakala? Tidak juga. Di India juga ada sistem penghormatan terhadap
Bhutakala. Kalau anda tidak percaya, silahkan tonton serial Mahadewa.
Pasalnya serial Mahadewa adalah produk India, bukan produk Bali. Jika
ada orang yang mengatakan bahwa hanya umat Hindu di Bali saja yang
memiliki konsep penghormatan terhadap Bhutakala, berarti orang itu
salah.
Lalu kenapa demi menyenangkan Bhutakala, umatnya
begitu tega mengorbankan binatang sebagai persembahan? Terkadang hewan
dibunuh untuk ritual Caru. Apakah hal itu tidak melanggar konsep Ahimsa?
Bukankah dalam Weda perbuatan membunuh dengan alasan apapun sangat
dilarang? Betul sekali. Dalam sloka Weda sangat melarang tindakan
membunuh. Tetapi watak Hindu itu sangat permisif dan toleransi terhadap
budaya dan kearifan lokal.
Ritual Caru itu
adalah tradisi lokal. Hindu tetap mengakui tradisi tersebut sebagai
bagian dari Hindu. Itulah hebatnya Hindu. Hindu tidak suka mencibir,
atau sinis, apalagi menentang tradisi yang dianggap bertentangan dengan
Weda. Karena pengertian Ahimsa tidak saja berarti tidak membunuh. Ahimsa
juga berarti tidak melakukan konfrontasi atau menentang tradisi lokal
secara radikal hingga membuat kelompok lain sakit hati. Kita sebagai
penekun spiritual tidak boleh melakukan konfrontasi. Jika level
spiritual kita semakin tinggi, seharusnya kita bisa menghormati tradisi
kelompok lain.
Apakah tradisi yang berisi
pembunuhan hewan bisa dihapus? Menurut saya, yang namanya tradisi itu
sulit sekali untuk dihapus. Justru tradisi itu semakin lestari dari abad
ke abad. Andai saja tradisi bisa dihapus, mungkin sudah dari dulu
terhapus tanpa anda bersusah-susah untuk menghapusnya. Jangankan Hindu
etnis Bali, Hindu Etnis India pun punya ritual yang berisi pembunuhan
hewan yang lebih sadis dibandingkan pembunuhan hewan di Bali. Ritual
tersebut bernama ritual Gadimai yang masih lestari sampai sekarang
walaupun ada pihak tertentu yang menyarankan agar ritual tersebut
dihentikan.
Kenapa Hindu Di Bali Menyembah Bhutakala?
-----------------------------------------------
Menurut saya, tradisi menyembah Bhutakala bukan hanya ada di Hindu
Bali.Hindu di India pun mengenal tradisi menyembah Bhuta. Kalau tak
percaya, coba saksikan film India yang berjudul Mahadewa. Ketika terjadi
perang antara para dewa melawan para Bhuta. Bukankah boss para dewa
adalah dewa Siwa juga? Jadi kesimpulannya adalah dewa dan Bhuta itu pada
prinsipnya adalah sama-sama anak dari tuhan. Dan yang perlu kita ingat
adalah film Mahadewa adalah produk India dan bukan produk Bali. Dengan
kata lain umat Hindu di India pun mengakui bahwa Bhuta itu bukan mahluk
haram. Maka dari itu, Hindu di Bali mengenal istilah Dewa Ya Bhuta Juga
Ya.
Kemudian pada hari Pengrupukan atau malam sebelum hari
Nyepi ada istilah Nyomia Bhuta menjadi dewa yang disebut dengan ritual
Tawur Kasanga. Hindu di Bali juga membuat Ogoh-Ogoh pada hari itu
sebagai simbol perwujudan Bhutakala. Oleh karena dewa dan Bhuta
sama-sama anak dari tuhan, makanya Bhuta dalam Hindu tidak diusir atau
dimusuhi. Melainkan diberi Labahan atau Segehan [makanan] agar mereka
tidak mengganggu menurut mitologi Hindu di Bali.
Memberi makanan tidak sama dengan menyembah sebagaimana pendapat
agama non Hindu dan orang yang mengaku Hindu tidak boleh berpandangan
seperti itu. Kita menyayangi dan memberi makan pada sapi bukan berarti
kita menyembah sapi melainkan simbol menyayangi semua mahluk atau yang
biasa disebut dengan Prema.
Orang yang terbiasa membaca kitab suci pasti selalu
menanyakan sesuatu hal atau tadisi itu apakah ada dalam kitab suci. Hal
itu adalah wajar dan tidak salah. Mereka ingin tahu dan mereka sudah
mulai berpikiran kritis. Maka dari itu kita sebagai Hindu harus bisa
menjelaskan sesuatu kepada mereka yang belum mengerti. Karena Hindu itu
bukan agama hukum dan tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Belajar
Hindu harus secara komprehensif dan kronologis. Contohnya, apakah
Ogoh-Ogoh ada dalam kitab suci? Tentu saja tidak ada. Pasalnya dasar
sastra yang menyebut Ogoh-Ogoh memanglah tidak ada. Tapi yang ada
hanyalah mengusir Bhutakala. Dan mengusir Bhutakala model Hindu tidaklah
sama caranya dengan model agama lain dalam mengusir setan. Kalau agama
lain mengusir setan dengan cara kasar yakni dilempar. Tapi kalau cara
Hindu adalah dengan menyenangkan atau memberi Segehan atau Caru.
Sementara Ogoh-Ogoh adalah Bhutakala yang Personifikasi atau dibuatkan
wujud.
Banyak orang-orang yang suka filsafat sering menyarankan agar
tradisi mengarak ogoh-ogoh saat malam sebelum Nyepi dihilangkan. Tentu
saja hal ini akan menjadi kontroversi dan menjadi polemik yang
berkepanjangan. Jika Ogoh-Ogoh dihilangkan, itu artinya sama dengan
menghapus Hindu karena itu adalah hiburan keagamaan. Tapi yang harus
selalu ada dalam menyambut Nyepi adalah penyucian desa dan rumah dengan
api. Tujuannya untuk menetralisir hal-hal negatif ataupun kekotoran.
Kenapa di Bali harus ada Ogoh-Ogoh ketika menyambut Nyepi?
Karena Ogoh-Ogoh di Bali adalah simbol Bhutakala atau sifat negatif
manusia. Makanya Bhutakala itu tidak dihilangkan dengan cara kasar
tetapi dengan cara halus. Denga cara memberikan Caru atau Segehan yang
disebut Tawur Kesanga agar Bhutakala itu senang hatinya. Ketika hatinya
sudah senang maka beliau akan berubah menjadi Dewa menurut konsep Hindu
Di Bali. Ketika beliau telah berubah menjadi Dewa, maka kita akan tenang
melakukan Catur Brata Penyepian yaitu empat hal yang dilarang saat
Nyepi diantaranya tidak boleh menyalakan api. Dan api disini bukan saja
berarti api, tetapi juga berarti api amarah yang ada di dalam diri
manusia dan api hawa nafsu yang disebut Sadripu (anda bisa baca bagian
dari Sadripu di topik lain). Yang kedua tidak boleh bekerja, ketiga
tidak boleh bepergian, dan keempat adalah tidak boleh bersenang-senang.
Saya sangat setuju dengan adanya Ogoh-Ogoh di malam
Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Asalkan Ogoh-Ogoh Itu berbentuk
Bhutakala seperti Raksasa, Celuluk, Rangda dan lain-lain. Asalkan
Ogoh-Ogoh itu tidak menyimpang dari tema Bhutakala. Karena jaman
sekarang itu kreatifitas seseorang hampir melewati batas norma
kemanusiaan yang melanggar undang-undang Pornografhy. Misalnya membuat
ogoh-ogoh yang bersifat Porno dengan memperlihatkan alat kelamin pada
ogoh-Ogoh. Kalau Ogoh-Ogoh sampai dibuat ada kelaminnya, itu oknum
perorangan yang tidak mengerti filsafat agama, etika, dan ritual dan
juga tidak memikirkan dampak negatifnya. Ogoh-Ogoh yang menampilkan
hal-hal porno sangatlah bertentangan dengan undang-undang Pornografi dan
juga bertentangan dengan ajaran agama.
Selain menyembah Bhutakala, Hindu di Bali juga
mengenal konsep memanusiakan alam atau lingkungan dan juga memanusiakan
tuhan. Makanya orang-orang yang tidak paham dengan Hindu tradisi Bali,
mereka pasti akan mengatakan bahwa Hindu di Bali adalah penyembah mahluk
halus, bersekutu dengan setan, iblis, penyembah berhala, pohon, batu,
dan lain-lain.
Konsep memanusiakan alam dalam tradisi Bali misalnya pohon
dihiasi dengan pakaian layaknya manusia mengenakan pakaian. Pohon juga
diberikan hidangan layaknya manusia diberi hidangan. Bagaimanapun juga,
Hindu di Bali tetap memegang teguh konsep Wyapi Wyapaka yang artinya
tuhan ada di mana mana termasuk ada di pohon, batu, dan lain-lain.
Meskipun Hindu di Bali dituduh penyembah berhala, tapi Hindu di Bali
tetap memuja Hyang Widhi. Mengenai Hindu di Bali diperbolehkan
mempersembahkan darah dan daging binatang, itu disebabkan karena Hindu
di Bali menganut paham Siwa Sidanta dan Bairawa
Umat Hindu di Bali banyak dipengaruhi faham atau filsafat dari
Siwa Sidhanta sehingga tak heran hampir setiap pura di Bali memiliki
Pratima dalam wujud sakti Kroda. Wujud Barong, Ratu Ayu, Ratu Niang,
Ratu Gede, Ratu Jero Wayan adalah yang paling populer selain itu ada
juga berbagai macam Tapel dari wujud binatang sampai pada wujud raksasa.
Bentuk dan wajah yang menyeramkan ini dipuja guna memperoleh
perlindungan dan sifat-sifat jahat itu sendiri.
Hindu memandang Bhutakala ataupun mahluk jahat yang
lain bukan sebagai unsur kejahatan mutlak, bukan sebagai musuh, atau
sesuatu yang seharusnya tak ada di antara manusia dan tuhan. Melainkan
bagian dari rangkaian penciptaan yang lahir dari sang pencipta sendiri.
Tanpa kehadiran mereka, tidak akan ada yang disebut sebagai kebaikan.
Bagaimana kalau kekuatan jahat itu tidak ada? Mungkin alam yang kita
pijak sekarang ini bukanlah bernama bumi. Disinilah tempat keberadaannya
semua Tatwa termasuk Rwa Bhineda sebagai dua perbedaan yang tetap
seimbang. Umat Hindu pada saat melaksanakan rangkaian upacara apapun,
selalu menghadirkan atau mengundang para Bhutakala dalam upacara yadnya.
Bhutakala juga diundang untuk diberi sesajen dan setelah mereka
menikmatinya diharapkan untuk tidak mengganggu proses dan jalannya
upacara yadnya. Satu hal lagi yang unik yaitu rasa bersahabat yang
diberikan dan ditunjukkan oleh orang-orang Hindu kepada Bhutakala,
dimana setiap pagi setelah kita memasak, kita memberikan persembahan
rutin dalam wujud Yadnya Sesa. Semua yang kita lakukan itu ada landasan
Filosofinya dari Weda sendiri. Bukan sekedar ritual yang tak beralasan
dan yang bersifat sia-sia. Bukan suatu ketakutan dari orang-orang Hindu
terhadap kekuatan Bhutakala apalagi untuk menduakan tuhan.
Dan mengenai Ritual Mecaru atau Tawur mempunyai makna
untuk memberikan upah kepada para Bhuta supaya tidak mengganggu saat
melaksanakan pemujaan. Setelah para Bhuta tersebut diberikan Lelaban
atau upah melalui ritual Mecaru, maka mereka tidak akan mengganggu dalam
kurun waktu tertentu sesuai besarnya upah yang diberikan. Setelah kurun
waktunya habis maka para Bhuta tersebut akan mengganggu lagi sehingga
perlu dilakukan ritual Mecaru lagi, begitu seterusnya. Kenapa para Bhuta
perlu diberikan upah sebelum melaksanakan pemujaan? Secara umum, umat
Hindu di Bali melakukan pemujaan akan mempersembahkan daging yang
merupakan kesenangan para Bhuta. Jika para Bhuta tersebut tidak
diberikan upah maka persembahan yang ada dagingnya tersebut akan diambil
oleh para Bhuta. Berbeda halnya jika dalam melakukan pemujaan tidak
mempersembahkan daging maka tidak perlu dilakukan ritual Mecaru. Karena
persembahan tersebut tidak akan diganggu karena tidak ada dagingnya.
Yang dimaksud Nyomya saat ritual Mecaru adalah berdamai. Artinya setelah
para Bhuta diberikan upah melalui ritual Mecaru atau Tawur maka mereka
tidak akan mengganggu karena sudah berdamai dalam kurun waktu tertentu.
Dalam Bhagawadgita sloka 13-21 dijelaskan bahwa alam adalah penyebab
segala sebab dan akibat material. Sedangkan mahluk hidup adalah penyebab
berbagai penderitaan dan kenikmatan di dunia ini. Mungkin penjelasan
dari sloka di atas adalah apabila Atman menempati badan sebagai para
Bhuta maka ia akan berprilaku sebagai para Bhuta dan ia tidak akan bisa
merubah prilakunya apalagi seperti para Dewa. Hanya dengan diberikan
Lelaban atau segehan melalui ritual Mecaru. Selain itu, yang berwenang
menentukan naik turunnya tingkat sang roh adalah perbuatannya sendiri
dan rasa bhaktinya terhadap tuhan.
Sementara ritual Kesanga atau sehari sebelum Nyepi merupakan
upacara Bhuta Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang
merusak kesejahteraan umat manusia. Tawur artinya membayar atau
mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari alam itu
dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para
Bhuta dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga
bisa hidup secara harmonis.