Blog ini ditulis oleh Made Budilana yang berasal dari Tejakula-Buleleng Bali. Untuk mendapatkan buku-buku Hindu, anda bisa menghubungi No WA 085792168271 atau bisa juga lewat email budilanalana@gmail.com. Terimakasih.
Sabtu, 29 April 2023
Masalah Kasta Di Bali.
Kamis, 27 April 2023
Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu. Bag. 4
Selasa, 25 April 2023
Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu. Bag. 3
Orang-orang yang tidak bisa menyimpulkan percakapan Khrisna dengan Arjuna dalam Bhagawadgita pasti kebingungan kenapa Weda melarang pembunuhan tetapi justru Khrisna menganjurkan Arjuna agar mau berperang dengan pihak Korawa? Dengan logika saja bisa kita analisa bahwa konsep Ahimsa itu ada pengecualiannya. Contoh dalam situasi berperang, kita tidak mungkin menerapkan ajaran Ahimsa. Contoh lainnya adalah apabila dalam keadaan nyawa terancam misalnya ada nyamuk pembawa virus berbahaya hendak menghisap darah kita, kita sudah pasti akan membunuh nyamuk tersebut.
Lain daripada itu, dalam Weda sapi dihormati seperti halnya kita menghormati seorang ibu. Namun dalam ritual di Bali, sapi dibunuh dijadikan ritual Caru. Bukan hanya di Bali saja ada konsep pembunuhan binatang untuk persembahan. Bahkan seperti yang saya baca di beberapa majalah, di India ada juga ritual pembantaian hewan yang masih ada sampai sekarang, namanya adalah ritual Gadimai. Jadi, mengenai pertanyaan apakah boleh membunuh binatang untuk yadnya, jawabannya adalah boleh. Kenapa saya bilang boleh? Karena ada dasar sastranya.
Mengenai gaya hidup vegetarian itu, saya serahkan ke pribadi masing-masing. Mau vegetarian, silahkan. Mau makan daging juga silahkan. Sebab Hindu itu agama Spiritual, bukan agama hukum. Buktinya, ajaran Hindu itu tidak pernah mewajibkan umatnya harus begini atau umatnya harus begitu. Dalam sejarah Hindu belum pernah ada tokoh Hindu yang melakukan peperangan dalam menyebarkan agamanya. Karena Hindu itu memiliki tahafan dan perkembangan jaman. Ada jaman Brahmana, ada juga jaman Upanisad. Kalau pada jaman Brahmana, masyarakat masih menggunakan korban binatang sebagai sarana persembahan. Sedangkan pada jaman Upanisad, masyarakat sudah tidak memakai sarana ritual apapun. Mereka memuja tuhan dalam konsep Nirguna Brahman atau memuja tuhan tanpa memakai simbol-simbol apapun. Karena bagi mereka, tuhan itu bersifat Acintya atau tidak berwujud. Lalu, yang mana yang paling bagus. Memuja tuhan tanpa simbol atau dengan simbol? Saya akan menjawab semuanya bagus.
Meditasi Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu Bag.1
Menurut Jiddu Khrisnamurti, meditasi artinya merenung atau berpikir. Makanya pikiran meditatif harus bebas dari pengukuran. Karena pikiran yang semata-mata mekanistik sebagaimana pemikiran tidak akan pernah dapat menemukan apa yang sebenarnya, tatanan tertinggi, karena itu adalah kebebasan yang lengkap. Seseorang harus memiliki pikiran yang luar biasa tertib, pikiran yang telah memahami kekacauan dan bebas sepenuhnya dari kekacauan yang merupakan kontradiksi, peniruan, kesesuaian, dan lain sebagainya. Perhatian bukanlah konsentrasi. Dalam perhatian itu ada kualitas keheningan. Bukan keheningan yang diciptakan oleh pikiran pikiran dan yang muncul setelah kebisingan serta dari satu pikiran yang menunggu pemikiran lain. Dalam meditasi itu selalu ada upaya, pengendalian dan disiplin untuk belajar sehingga pikiran menjadi semakin halus. Belajar adalah gerakan yang konstan dan tidak berdasarkan pada pengetahuan. Jadi meditasi adalah kebebasan dari yang diketahui yang merupakan ukuran. Dan dalam meditasi itu ada keheningan mutlak.
Sementara definisi meditasi menurut Anand Khrisna adalah untuk meniti jalan ke dalam diri. Masukilah dirimu dan cari tahu alasan keenggenanmu untuk menghadapi tantangan hidup. Meditasi bukanlah urusan menarik diri dari dunia dan pergi ke tempat terpencil. Melainkan tentang memenuhi tanggung jawab, tentang memainkan peran secara efisien dan efektif sambil berfokus pada jati diri sejati. Dan tidak membiarkan pikiran bercabang. Pikiran mudah teralihkan perhatiannya dan terganggu oleh untung rugi, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, dan lain sebagainya. Dengan pikiran yang terganggu tersebut, seseorang tidak akan pernah dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien pikiran yang terpusatkan pada jati diri sejati bertransformasi menjadi kesadaran dan intelijensia murni. Memang pikiran tidak stabil dan sulit dikendalikan. Tetapi bukan tidak mungkin dengan upaya intensif dan repetitif pasti dapat dikendalikan.
Sedangkan menurut tulisan yang saya pantau di grup Fb Paguyuban Hindu menjelasakan bahwa sesungguhnya meditasi itu adalah Mulat Sarira atau introspeksi diri. Jika di dunia ada puluhan jenis meditasi, maka ada satu meditasi sejati ialah Mulat Sarira. Meditasi bukan hanya kegiatan duduk bersila di sebuah tempat terpencil sambil komat-kamit merafal mantra dan lain-lain. Meditasi adalah keadaan sadar sepanjang waktu sambil melaksanakan kewajiban hidup sehari-hari. Nyetir mobil menjadi jalan meditasi, memasak, minum kopi, olahraga, berdebat, facebookan, dan lain-lain, semua itu bisa menjadi jalan meditasi. Meditasi adalah sadar dengan diri, Mulat Sarira, Eling, dan Jagra. Seseorang yang duduk bersila sambil komat-kamit baca mantra belum tentu sedang Mulat Sarira, belum tentu sedang bermeditasi, belum tentu sedang sadar atau ingat dengan dirinya. Sebaliknya seseorang yang sedang berdebat, sedang nonton televisi, sedang sibuk bekerja, belum tentu tidak bermeditasi.
Meditasi artinya sadar. Ketika orang sadar dengan dirinya di saat sibuk bekerja, mereka sedang bermeditasi. Ketika dia sadar dengan dirinya, sadar dengan pikirannya, saat dia berdebat, dia sedang bermeditasi atau Mulat Sarira. Mulat Sarira bukanlah kegiatan evaluasi diri atau introspeksi diri tatkala tengah malam. Mulat Sarira adalah melihat ke dalam diri kapanpun, dimanapun, setiap detik, setiap saat dan sepanjang waktu. Tidak ada waktu tanpa Mulat Sarira. Sebab tidak ada waktu tanpa pengaruh maya di jaman Kaliyuga ini. Sepanjang waktu maya atau ilusi menyerang pikiran dan kesadaran melalui Panca Indria. Maka sepanjang waktu itu pula kesadaran dijaga dengan Mulat Sarira.
Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh-Tokoh Hindu Bag. Pertama
Wayan Arini, bukan nama sebenarnya, dia adalah seorang wanita yang sangat tekun mempelajari Weda dan kitab-kitab Hindu lainnya. Tapi entah kenapa dia merasa kesal setiap kali melihat umat Hindu di Bali menggelar upacara yadnya yang selalu mengorbankan binatang sebagai persembahan tuhan. Bukankah itu melanggar konsep Ahimsa seperti yang tersurat dalam kitab Weda? Apapun alasannya, membunuh mahluk hidup sangat bertentangan dengan ajaran Weda. Biarpun membunuh dengan dalih persembahan untuk tuhan. Dia ingin sekali menentang kelompok-kelompok yang masih suka menggelar yadnya seperti ritual yang masih mempersembahkan darah dan daging binatang.
Menurut pengamatan saya, Wayan Arini sepertinya belum lulus dalam mempelajari Weda. Pasalnya dia masih suka kesal melihat sesuatu yang dianggapnya berbeda dengan prinsipnya. Berarti tingkat spiritualnya masih rendah. Jika seseorang yang gemar membaca Weda membuat pikirannya menjadi damai dan tercerahkan, berarti dia sudah lulus dalam belajar Weda. Ingat, Hindu itu adalah sebuah agama yang mau menerima budaya dan kearifan lokal seperti tradisi yang mempersembahkan darah dan daging binatang. Memang benar tradisi itu bertentangan dengan ajaran Weda karena berisi pembunuhan mahluk hidup. Tetapi yang perlu diingat, niat Wayan Arini yang ingin menentang secara radikal tradisi persembahan darah dan daging binatang, justru itulah yang melanggar konsep Ahimsa.
Umat Hindu dari kecil diajari agar saling menghormati, mau menerima perbedaan dan tidak pernah berniat untuk menyeragamkan sesuatu. Agar tidak seperti kasus pria penendang sesajen di gunung Semeru atau seoarng Muallaf dari Bali yang bernama Bu Desak menghina habis-habisan tradisi dan kearifan lokal di Bali lewat konten Youtube-nya. Mereka melakukan konfrontasi karena tidak sesuai dengan prinsipnya. Apa yang berbeda dengan prinsipnya akan dianggap sesat. Mereka beranggapan bahwa hanya prinsipnya saja yang paling benar.
Bangsa kita telah mengalami krisis moral karena tidak mau menerima perbedaan dan ingin menyeragamkan sesuatu. Apa yang terjadi setelah orang Hindu di Bali menonton video seorang pria menendang sesajen di gunung Semeru? Atau mendengar Bu Desak menghina habis-habisan tradisi Hindu di Bali? Umat Hindu di Bali merasa sakit hati. Tindakan yang mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang sakit hati itulah termasuk perbuatan yang melanggar konsep Ahimsa.
Betul sekali seperti postingan Ki Kamandalu di FB, Ketika manusia mengaku beragama, seharusnya manusia mulai mengenal etika kehidupan beragama, sehingga makna agama itu tidak dianggap tidak mendidik umatnya.
Agama mengajarkan moral layaknya manusia beragama, namun bila manusia beragama tidak bermoral maka sesungguhnya dia tidak beragama atau mungkin hanya agama di ktp saja.
Walaupun penampilan manusia mencerminkan dia beragama tetapi prilakunya sungguh menggambarkan manusia tidak beragma. Andaikan tuhan bagai manusia pastilah tuhan akan mengutuk umatnya yg belajar agama tatapi tidak menerapkan ajaranya. Sesungguhnya orang2 yg seperti ini adalah orang yang tanpa moral.
Saya justru kagum dengan Anand Khrisna. Walaupun beliau seorang vegetarian, penekun spiritual, dan suka meditasi, beliau belum pernah menentang tradisi dan kearifan lokal di Bali. Justru dia sangat menghormati budaya Bali. Coba baca buku-buku yang ditulis Anand Khrisna, tidak ada satu pun kata-katanya yang mendiskreditkan tradisi Bali. Itulah sebabnya sosok Anand Khrisna sangat dihormati oleh orang-orang Hindu di Bali.
Menurut kalian Ahimsa itu apa? Menurut Martin Luther King, Jr, Ahimsa juga berarti menghormati orang lain. Contohnya jika sudah membuat janji untuk bertemu jam 10 pagi, lima menit sebelumnya kita sudah berada di tempat pertemuan. Jangan sampai orang lain merasa resah menunggu anda. Karena perbuatan yang sangat meresahkan juga termasuk kekerasan.
Dalam buku Anand Khrisna yang berjudul Life Workbook dijelaskan bahwa Ahimsa berarti ikut merasakan penderitaan orang lain, siapapun orang lain itu. Ahimsa berarti memutuskan untuk tidak menambah penderitaan seorang pun karena sudah cukup penderitaan di dunia ini. Ahimsa juga tidak berarti menyiksa diri, tidak mengintimidasi siapapun dengan hendak membakar diri jika keinginan kita tidak dikabulkan. Atau membakar bendera negara lain karena pemerintahnya tidak bertindak tidak sesuai dengan keinginan kita.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan jika kita memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membalas tetapi memutuskan untuk tidak membalas, itulah Ahimsa. Menyimpan rasa dendam dalam hati tapi senyum-senyum di depan umum, itu adalah kekerasan terhadap rasa dan emosi. Ahimsa menuntut transformasi diri. Energi benci harus ditransformasi menjadi energi kasih.
Ahimsa adalah kewajiban tertinggi. Walaupun kita tidak dapat mempraktikkannya secara penuh dan purna waktu, setidaknya kita mesti berupaya memahami semangatnya dan menjauh dari kekerasan agar menjadi lebih manusiawi. Asas Ahimsa itu tidak bisa dipisahkan dari kasih sayang. Kedamaian tidak bisa diwujudkan dengan sikap keras kepala, apalagi lewat kekerasan fisik. Ahimsa juga berarti tidak merendahkan orang atau kelompok lain. Kedamaian adalah sebuah langkah penting untuk menuju cinta kosmis atau cinta pada Seantero alam. Bagaimana mungkin kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari, selama masih ada kebencian dalam diri kita? Bahkan Bagaimana kita bisa memahaminya, jika masih senang menghina orang lain dan meremehkan simbol-simbol yang mereka puja dan hormati? Maka dari itu, kita dianjurkan untuk saling menghargai dan menghormati.
Pujangga besar China yang bernama Lao Tze juga mengajarkan Ahimsa versi dia. Ia membenarkan persenjataan tetapi sekadar untuk menakut-nakuti. Barangkali paham itulah yang dianut oleh India maupun Pakistan. Ahimsa yang terjadi diantara kedua negara itu karena saling takut. Ahimsa itu semu masih lebih baik daripada saling menghancurkan tanpa itu. Mereka yang mengguanakan kekerasan untuk melawan kekerasan pasti tidak akan pernah berhasil. Karena lantai kotor tidak mungkin bisa dibersihkan dengan air kotor. Kita tetap membutuhkan air bersih untuk membersihkannya.
Sementara Thomas Alva Edison pernah mengatakan bahwa prinsip tanpa kekerasan membawa kita kepada etika tertinggi, yang merupakan tujuan seluruh evolusi. Sampai kita berhenti melukai sesama makhluk hidup, kita masih tetap biadab. Apakah kita dapat menggunakan kekerasan untuk menjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia? Jelas tidak. Untuk membangun hubungan harmonis dengan sesama manusia, kita mesti menggunakan landasan Ahimsa atau tanpa kekerasan. Setidaknya kita bisa berupaya untuk mencari solusi tanpa menggunakan kekerasan.
Kesaktian Dapur Tradisional.
Dulu jika ada orang bertanya dewa yang berstana di dapur, jawabannya sudah pasti dewa Brahma atau dewa Agni. Karena rumah orang Bali jaman dulu masih tradisional. Ruang dapurnya sudah pasti terdapat tungku tradisional yang bahan bakarnya adalah kayu bakar. Nah, tungku tradisional itulah diyakini oleh masyrakat Bali jaman dulu sebagai stana dari dewa Brahma atau dewa Agni. Dapur kalau bahasa balinya adalah Paon, Jalikan, atau lebih halusnya disebut Pewaregan atau Perantenan. Dapur jaman dulu yang ada tungku tradisionalnya dianggap sakral oleh masayarakat Bali jaman dulu. Makanya jika ada bayi menangis tengah malam karena diganggu mahluk halus, orang tua pasti membawa bayinya ke ruang dapur lalu mencolek Mangsi yang melekat pada tungku tradisional kemudian dicolekkan ke kening bayi tersebut. Maka saat itu juga mahluk halus berhenti mengganggu bayi tersebut sehingga bayi tersebut berhenti menangis dan tidur dengan nyenyak. Selain tungku tradisional, bahan dasar atap dapur terbuat dari ilalang. Menurut mitologi Hindu di Bali, ilalang dipercaya sebagai penghilang kotoran secara metafisika. Kepercayaan ini ada hubungannya dengan cerita tentang ilalang yang kecipratan Tirta akibat dari Garuda yang saling rebutan Tirta. Makanya ilalang adalah satu satunya tumbuhan yang dianggap suci.
Selain itu, jika orang jaman dulu datang sehabis bepergian dan setelah kembali ke rumah, tempat yang paling awal dicari pasti ruang dapur. Kenapa demikian? Alasannya agar tidak Ketutugan atau tidak diikuti oleh mahluk halus. Artinya mahluk halus yang mengikuti dalam perjalanan berhasil dilenyapkan di ruang dapur. Itulah kepercayaan masyarakat Bali jaman dulu yang masih diwarisi sampai sekarang.
Dapur jaman dulu dipercaya bisa menghilangkan Leteh atau kotoran. Contohnya jika orang berkunjung ke rumah orang yang sedang berduka atau memiliki kematian, maka orang yang berkunjung kesana dianggap Cuntaka. Maka untuk menghilangkan Cuntaka tersebut, setelah pulang ke rumah, orang tersebut mengambil air lalu dilemparkan ke atap dapur dan tetesan airnya itulah yang dipakai untuk membersihkan diri. Dan sampai sekarang ada sebagian orang yang masih mewarisi kebiasaan tersebut. Itulah kesaktian dari dapur tradisional.
Makanya untuk menjaga kesucian dapur, orang Bali biasanya tidak mau mengganti kerusakan-kerusakan ruang dapur dengan barang-barang bekas. Contohnya pintu dapur tidak boleh diganti dengan pintu bekas kamar mandi. Atau atap dapur tidak boleh diganti dengan atap bekas dari tempat lain. Itulah cara-cara orang Bali menjaga kesucian dapurnya. Makanya orang Bali jaman dulu sebagian besar melakukan ritual Agnihotra di ruang dapur.
Orang Bali biasanya tetap membiarkan tungku tradisionalnya sebagai simbol dewa Brahma walaupun bentuk rumahnya sudah modern. Contoh lain adalah warga Pande walaupun tidak berprofesi sebagai tukang besi, namun mereka tetap membuat Stana dewa api sebagai simbol dari dewa Perapen atau dewa perapian.
Namun di kota-kota besar seperti Denpasar dan sekitarnya sudah jarang kita melihat rumah masyarakat Bali yang memiliki ruang dapur berisi tungku tradisional. Karena jaman sudah berubah, sudah modern dan sudah semakin canggih. Bentuk-bentuk rumah sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada istilah Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh maupun Bale Delod. Rumah jaman sekarang bentuknya sudah modern. Orang-orang di jaman sekarang memasak sudah memakai peralatan elektronik. Masihkah dewa Brahma berstana di ruang dapur? Masihkah ruang dapur modern memiliki kesaktian seperti ruang dapur jaman dulu?
{Tulisan ini pernah dimuat di majalah Raditya edisi Januari 2020}
Sabtu, 15 April 2023
Patung Bayi Sakah.
Kala itu, Cokorda Darana mengajak sejumlah praktisi sejarah dan prajuru desa Batuan untuk melaksanakan sangkep (rapat). Tujuan rapat itu adalah untuk membahas kehendak Bupati Darana untuk membuat patung di seluruh simpang tiga dan simpang empat yang ada di Kabupaten Gianyar. Rapat pertama ternyata tidak menghasilkan keputusan. Kebanyakan dari peserta rapat kala itu mengajukan ide untuk membangun patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta. kalau patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta, tidak akan menjadi kebanggaan masyarakat Bali khususnya di Gianyar.
Sebab kalau di daerah lain dibangun patung pejuang dan wayang, maka patung yang akan dibuat itu tidak akan menjadi kebanggaan lagi bagi masyarakat Bali khususnya Gianyar. Akhirnya, setelah dilaksanakan rapat kedua, diputuskanlah untuk membangun patung Sang Hyang Brahma Lelare itu. Brahma Lelare adalah patung yang berwujud bayi. Wujud bayi dipilih karena sesuai filosofi bahwa bayi adalah simbol kelahiran manusia di dunia. Lantas, mengapa patung itu dibangun di Jalan Raya Sakah? Tepatnya di Banjar Belah Tanah? Mungkin itulah yang menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat Bali. simbol Siwa Budha itu dibangun di sana karena tanah yang terdapat di simpang tiga Jalan Raya Sakah itu, secara niskala disebut Blah –Tanah-Sake-Ah, artinya di tengah belahan tanah, terdapat sebuah sake (adegan) dan ah (tidak ada batas antara atas dan bawah)
Tumpek Kandang.
Sedangkan sifat manusia masih saja ada yang suka berantem dengan sesama atau saudaranya sendiri. Tidak mau bekerjasama, Tidak setia, Tidak bisa memilah makanan yang mana baik dan mana yang tidak baik untuk kesehatan, Pemalas,terkadang tidak tahu malu dan lain lain. Lama kelamaan bisa saja perilaku kita tidak bisa lebih baik dari binatang, seolah olah binatang lebih berfungsi otaknya daripada kita. Maka, Jadikanlah momen Tumpek Kandang tersebut untuk mengingatkan kita supaya bisa manjadi manusia yang lebih baik dan bisa menjadi lebih sempurna dengan mencontoh sifat baik dari hewan dan meninggalkan sifat kurang baiknya.
Manusia itu adalah makhluk paling utama daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya. Demikianlah Sanghyang Rare Angon Menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama badan Beliau. Makanya hari Tumpek Kandang merupakan salah satu hari wujud rasa kasih sayang serta ungkapan rasa terimakasih manusia pada binatang atau hewan. Baik hewan peliharaan maupun hewan ternak. Makanya dalam Yajur Weda Sloka 15-48 dijelaskan bahwa kita dianjurkan agar selalu menyayangi semua mahluk hidup. Agar semua mahluk hidup dan binatang - binatang, semuanya berbahagia.
Dalam sastra juga dijelaskan bahwa binatang itu dianggap sangat berjasa karena sudah membantu kehidupan manusia seperti misalnya sapi sangat membantu manusia dalam melakukan pekerjaan seperti membajak sawah. Kandang dalam filosopi mengandung makna mengekang pikiran yang begitu liar. Karena pikiran manusia diibaratkan seperti hewan dan harus dikendalikan sehingga mampu membatasi dan mengekang keinginan yang bersifat seperti binatang. Misalnya sifat binatang itu, hidupnya tanpa tata krama, liar, malas dan lain lain.
Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Kalau dilihat dari Urip Saniscara Kliwon Uye, berjumlah 7 dan itu dianggap sebagai hari yang berwatak rajas, yang disejajarkan dengan watak Sato (binatang) Untuk itu pada hari Tumpek kandang kita perlu menyucikan diri, untuk nyomia atau menetralisir kekuatan binatang dalam diri kita, karena daging dari hewan yang kita makan akan bersemayam pada tubuh manusia dan akan membawa pengaruh pada tabiat, sifat dan karakter manusia. Saniscara Uye merupakan Tumpek Kandang untuk mengupacarai semua jenis binatang besar, ternak maupun binatang lainya. Pada Tumpek kandang umat menghaturkan persembahan pada Sanghyang Rare Angon sebagai manifestasi dari Dewa Siwa yang berfungsi sebagai penguasa dan penjaga semua binatang. Dengan tujuan untuk diberikan keselamatan pada semua hewan peliharaan dan ternak agar bisa bermanfaat dan hasilnya melimpah dan sesuai dengan harapan dari pemiliknya. Dengan menghaturkan persembahan itu maka manusia juga berharap agar tidak menjadi Tulah Hidup, karena hanya menikmati saja tanpa persembahan.
Apakah Adat Dan Tradisi Bisa Berubah?
Kajeng Kliwon.
Kamis, 13 April 2023
Jenis Jenis Tetabuhan Atau Gambelan Dalam Upacara Ngaben.
.
1. Balaganjur
Balaganjur adalah seperangkat gamelan yang terdiri atas instrumen-instrumen perkusi berlaras pelog.
.
Barungan (ansambel) yang sangat dinamis dan bersemangat ini tergolong ke dalam barungan madya (Dibia, 2012).
.
Gamelan balaganjur yang digunakan dalam
prosesi upacara ngaben yang penulis amati
adalah balaganjur peponggangan dan balaganjur babonangan.
.
2. Gender Wayang
Gender wayang merupakan instrumen dengan sepuluh bilah berlaras slendro lima nada dimainkan oleh seorang penabuh dengan menggunakan sepasang panggul gender.
.
Biasanya gender wayang dimainkan minimal oleh dua orang yang masing-masing memainkan satu tungguh gender. Satu orang penabuh memainkan pukulan polos, penabuh lainnya membawakan pukulan sangsih.
.
Gending yang dimainkan pada prosesi ngaben adalah angkat-angkatan. Dalam pertunjukan wayang kulit, gending ini dipakai untuk mengiringi adegan berjalan dari tokoh wayang, misalnya selesai adegan paruman, tokoh wayang pergi ke hutan, ke gunung, ke medan perang atau tempat lainnya.
.
Selain angkat-angkatan, beberapa gending yang sering dimainkan dalam prosesi pemberangkatan jenazah adalah Katak Ngongkek, Gadebeg, Glagah Puwun, gending tetangisan seperti Mesem atau Bendu Semara (Wawancara dengan Ida Bagus Putu Catem).
.
3. Angklung
Angklung adalah ansambel (bebarungan) gamelan Bali berlaras slendro empat nada, yang terdiri dari kelompok instrumen idiophone, membranophone, dan aerophone. .
.
Kelompok instrumen idiophone dalam ansambel angklung antara lain: satu tungguh reyong yang terdiri atas delapan pencon, sepasang jegogan, masing-masing memakai empat bilah, tiga pasang gangsa pamade, tiga pasang gangsa kantil, sebuah instrumen kempur (berfungsi sebagai gong), sebuah tawa-tawa, sebuah klenang, dan satu pangkon cengceng ricik. Instrumen lainnya yaitu sepasang kendang angklung lanang-wadon (membranophone), dan beberapa buah instrumen aerophone berupa suling cenik (suling berukuran kecil).
.
Ketika upacara ngaben, angklung bisa memainkan gending-gending pategak untuk menambah kekhidmatan upacara atau memainkan gending gilak untuk mengiringi prosesi pemberangkatan jenazah dari rumah duka menuju ke kuburan.
.
Dalam prosesi pemberangkatan jenazah yg melibatkan ansambel angklung, biasanya posisi ansambel berada di belakang pamereman bersama-sama dengan kelompok.
.
Sumber: I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben, jurnal Resital Vol. 15 No. 2, Desember 2014.
Siwaratri Bukan Hari Menebus Dosa.
Mitologi Rumah Tusuk Sate Atau Tumbak Jalan.
Sejarah Subak.
Senin, 10 April 2023
Hari Yang Tidak Baik Untuk Upacara Pawiwahan.
Gay Dan Homoseksual Menurut Persfektif Hindu.
Meski bukan bagian arus utama, keberadaannya diakui meskipun tidak disetujui. Dalam Mahabharata ada kisah Arjuna menjadi Brihanala. Juga Srikandi, wanita berprilaku pria. Dalam Kamasutra pria yang menyukai pria disebut Auparistaka yaitu yang menggantikan fungsi vagina dengan mulut untuk mendapatkan kesenangan seksual. Kalau bisa, sebaiknya hindari mencintai sesama jenis karena bertentangan dengan norma hukum di Indonesia termasuk dalam Lontar. Menurut logika saya, tidak ada yang membolehkan karena sampai sekarang belum pernah dengar cerita dari penglingsir kita.