Sabtu, 29 April 2023

Masalah Kasta Di Bali.

Jika ada seorang anak perempuan yang berkasta Anak Agung kawin dengan laki laki Jaba, bolehkah anak perempuan itu mabanten atau sembahyang ke rumah asalnya? Jawabannya boleh. Selama dikasi oleh keluarga bajang. Tetap juga hormati keluarga bajang ,kalau dibolehkan bersyukurlah.  Agar tidak ada masalah dengan keluarga. .Karena sebenarnya  yang kita puja di Merajan sama sama Ida Bhatara Guru. Ini kembali muncul antara Catur Warna dengan Catur Kasta. Yang ada dalam ajaran agama Hindu adalah Catur Warna yaitu empat macam jenis  kehidupan menurut agama Hindu. Pembagiannya adalah pertama.Brahmana yaitu orang yang bergelut di bidang keagamaan seperti pendeta, guru agama, Sarati Banten,pembuat wadah , Petulangan dan lain lain. Kedua Kesatrya yaitu angkatan perang seperti TNI dan polisi. Ketiga.Waisya adalah orang yang bergelut dibidang jual beli atau para pedagang. Keempat Sudra adalah para pekerja serabutan, Pelayan toko,restoran dan lain lain.

Di Bali antara agama dan adat budaya hampir susah dibedakan. Karena agama Hindu di Bali sudah menyatu antara adat budaya dengan agama. Banyak upacara upacara keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat bali. Di Bali ada Panca Yadnya..salah satunya adalah Manusa Yadnya  seperti upacara pernikahan atau Pawiwahan, Telubulanan, Otonan, Metatah dan banyak lagi yang lainnya. Di Bali selatan ada juga upacara Patiwangi atau Mepati wangi. Beberapa waktu yang lalu ada teman dari Dalung Kuta bercerita bahwa disana ada seorang pengantin pria dari Wangsa Pregusti mngambil istri dari anak Brahmana atau Dayu. Sebelum upacara Pawiwahan, terlebih dahulu melakukan ritual Mepatiwangi di pura Desa dan Puseh yang memiliki  makna mengembalikan Wangsa Dayunya. Mungkin karena pernikahan mereka berbeda kasta. Apakah di semua daerah di Bali ketika mengambil istri dari orang yang berkasta Dayu diwajibkan melakukan upacara tersebut?. Tidak juga. 
Kalau di wilayah Tejakula ada seorang pria mengawini wanita yang berkasta Desak atau Ida Ayu, maka keluarga mempelai pria tidak diwajibkan ke rumah keluarga mempelai wanita untuk Mamitang. Tidak ada istilah Nyerod. Dari kasta Desak tetap dipanggil Desak. Dari kasta Dayu tetap dipanggil Dayu. Tetapi tidak semuanya begitu. Ada juga wanita yang berkasta Gusti Arya atau Pregusti dikawini oleh pria Jaba, tetapi diperbolehkan ke rumah wanita untuk Mamitang. Di Tejakula sebenarnya banyak sekali ada orang orang berkasta. Tetapi karena adat Tejakula memiliki konsep Asah Basa atau tidak menerima kasta, maka kedudukan antara orang berkasta dan tidak, memiliki kedudukan yang sama.

Kamis, 27 April 2023

Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu. Bag. 4

Jika kita membunuh tikus yang membuat kotor di rumah, apakah termasuk melanggar konsep Ahimsa ya? Karena terkadang saya sering merasa menyesal setelah berhasil menjebak dan membunuh tikus itu. Pasalnya mereka juga berhak untuk hidup. Mohon pencerahannya. Tanya Awik Baliness di grup Fb Dasa Aksara Kanda Pat.

Menanggapi pertanyaan tersebut, kita tidak perlu terlalu kaku untuk menerapkan ajaran agama khususnya tentang Ahimsa. Apabila hewan sudah sifatnya merugikan ataupun berpotensi membahayakan atau menyebarkan penyakit, tidak menjadi masalah kalau dihilangkan. Tapi kalau merasa menyesal, hendaknya janganlah membunuh tikus. Lebih baik biarkan saja mereka berkembang biak agar di rumah  tambah ramai.

Dalam situasi dan kondisi tertentu terkadang kita dibenarkan melanggar konsep Ahimsa. Bahkan Arjuna yang tidak mau berperang dengan sepupunya justru dianggap berdosa karena tidak menunaikan kewajibannya sebagai seorang Ksatria. Malah dia lebih memilih pergi dari rumahnya sendiri untuk menghindari peperangan dengan sepupunya sendiri. Tapi Kresna tetap menyuruhnya berperang untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang Ksatria. Sama halnya kalau kita sedang sakit karena terserang virus dan bakteri kemudian kita berobat ke  dokkter. Apakah kita termasuk melanggar konsep Ahimsa? Begitu juga kalau petani menanam padi dan membasmi hama. apa juga termasuk melanggar konsep Ahimsa juga? Jelas tidak.



Selasa, 25 April 2023

Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu. Bag. 3

Ajaran agama Hindu itu sebenarnya sangat toleransi terhadap budaya dan tradisi kearifan lokal. Kendatipun dalam Weda dijelaskan bahwa tidak boleh membunuh mahluk hidup, tetapi ketika ada sebagian umat melakukan ritual yang mempersembahkan korban binatang, mempersembahkan darah dan daging binatang, tetapi mereka tetap diakui sebagai orang Hindu. Karena watak ajaran Hindu tidak pernah mencibirnya, menentangnya, bahkan memusuhinya. Karena masing-masing orang punya prinsip yang berbeda-beda sepanjang kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Umat Hindu di Bali sebagian besar berpedoman kepada lontar yang memperbolehkan ritual memakai persembahan darah dan daging binatang. Ketika mereka mempersembahkan korban binatang, mereka menganggap dirinya telah melakukan Penyupatan terhadap hewan dengan mantram suci agar hewan yang dipotong itu bisa bereinkarnasi menjadi mahluk yang lebih sempurna.
       Ajaran Hindu itu sangat universal dan fleksibel. Bahkan cerita-cerita kuno yang dianggap bertentangan dengan Weda tetap diakui sebagai bagian dari kitab sucinya orang Hindu. Seperti misalnya cerita tentang Lubdaka. Kendatipun Lubdaka diceritakan sebagai tokoh yang suka berburu dan membunuh banyak binatang, tetapi ketika ajalnya menjemput, Lubdaka berhasil mendapatkan sorga karena semasa hidupnya tanpa sengaja ia telah memuja Linggam dewa Siwa. Begitu juga dengan kisah Bubuksa dan Gagak Aking. Makanya jika kita ingin mempelajari Hindu lebih dalam lagi, kita harus mempelajarinya secara komprehensif dan kronologis. Tidak boleh mengamati sesuatu dengan kacamata kuda yang pandangannya lurus ke depan. Belajar Hindu ibarat orang-orang mendaki gunung. Ada yang mendaki dari arah timur, ada juga yang mendaki dari arah barat. Tentu saja pengalaman orang yang mendaki dari arah timur tidak sama dengan orang yang mendaki dari arah barat.
         Orang-orang yang tidak bisa menyimpulkan percakapan Khrisna dengan Arjuna dalam Bhagawadgita pasti kebingungan kenapa Weda melarang pembunuhan tetapi justru Khrisna menganjurkan Arjuna agar mau berperang dengan pihak Korawa? Dengan logika saja bisa kita analisa bahwa konsep Ahimsa itu ada pengecualiannya. Contoh dalam situasi berperang, kita tidak mungkin menerapkan ajaran Ahimsa. Contoh lainnya adalah apabila dalam keadaan nyawa terancam misalnya ada nyamuk pembawa virus berbahaya hendak menghisap darah kita, kita sudah pasti akan membunuh nyamuk tersebut.
           Lain daripada itu, dalam Weda sapi dihormati seperti halnya kita menghormati seorang ibu. Namun dalam ritual di Bali, sapi dibunuh dijadikan ritual Caru. Bukan hanya di Bali saja ada konsep pembunuhan binatang untuk persembahan. Bahkan seperti yang saya baca di beberapa majalah, di India ada juga ritual pembantaian hewan yang masih ada sampai sekarang, namanya adalah ritual Gadimai. Jadi, mengenai pertanyaan apakah boleh membunuh binatang untuk yadnya, jawabannya adalah boleh. Kenapa saya bilang boleh? Karena ada dasar sastranya.
          Mengenai gaya hidup vegetarian itu, saya serahkan ke pribadi masing-masing. Mau vegetarian, silahkan. Mau makan daging juga silahkan. Sebab Hindu itu agama Spiritual, bukan agama hukum. Buktinya, ajaran Hindu itu tidak pernah mewajibkan umatnya harus begini atau umatnya harus begitu. Dalam sejarah Hindu belum pernah ada tokoh Hindu yang melakukan peperangan dalam menyebarkan agamanya. Karena Hindu itu memiliki tahafan dan perkembangan jaman. Ada jaman Brahmana, ada juga jaman Upanisad. Kalau pada jaman Brahmana, masyarakat masih menggunakan korban binatang sebagai sarana persembahan. Sedangkan pada jaman Upanisad, masyarakat sudah tidak memakai sarana ritual apapun. Mereka memuja tuhan dalam konsep Nirguna Brahman atau memuja tuhan tanpa memakai simbol-simbol apapun. Karena bagi mereka, tuhan itu bersifat Acintya atau tidak berwujud. Lalu, yang mana yang paling bagus. Memuja tuhan tanpa simbol atau dengan simbol? Saya akan menjawab semuanya bagus.

Meditasi Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu Bag.1

Menurut Jiddu Khrisnamurti, meditasi artinya merenung atau berpikir. Makanya pikiran meditatif harus bebas dari pengukuran. Karena pikiran yang semata-mata mekanistik sebagaimana pemikiran tidak akan pernah dapat menemukan apa yang sebenarnya, tatanan tertinggi, karena itu adalah kebebasan yang lengkap. Seseorang harus memiliki pikiran yang luar biasa tertib, pikiran yang telah memahami kekacauan dan bebas sepenuhnya dari kekacauan yang merupakan kontradiksi, peniruan, kesesuaian, dan lain sebagainya. Perhatian bukanlah konsentrasi. Dalam perhatian itu ada kualitas keheningan. Bukan keheningan yang diciptakan oleh pikiran pikiran dan yang muncul setelah kebisingan serta dari satu pikiran yang menunggu pemikiran lain. Dalam meditasi itu selalu ada upaya, pengendalian dan disiplin untuk belajar sehingga pikiran menjadi semakin halus. Belajar adalah gerakan yang konstan dan tidak berdasarkan pada pengetahuan. Jadi meditasi adalah kebebasan dari yang diketahui yang merupakan ukuran. Dan dalam meditasi itu ada keheningan mutlak.

Sementara definisi meditasi menurut Anand Khrisna adalah untuk meniti jalan ke dalam diri. Masukilah dirimu dan cari tahu alasan keenggenanmu untuk menghadapi tantangan hidup. Meditasi bukanlah urusan menarik diri dari dunia dan pergi ke tempat terpencil. Melainkan tentang memenuhi tanggung jawab, tentang memainkan peran secara efisien dan efektif sambil berfokus pada jati diri sejati. Dan tidak membiarkan pikiran bercabang. Pikiran mudah teralihkan perhatiannya dan terganggu oleh untung rugi, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, dan lain sebagainya. Dengan pikiran yang terganggu tersebut, seseorang tidak akan pernah dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien pikiran yang terpusatkan pada jati diri sejati bertransformasi menjadi kesadaran dan intelijensia murni. Memang pikiran tidak stabil dan sulit dikendalikan. Tetapi bukan tidak mungkin dengan upaya intensif dan repetitif pasti dapat dikendalikan.

Sedangkan menurut tulisan yang saya pantau di grup Fb Paguyuban Hindu menjelasakan bahwa sesungguhnya meditasi itu adalah Mulat Sarira atau introspeksi diri. Jika di dunia ada puluhan jenis meditasi, maka ada satu meditasi sejati ialah Mulat Sarira. Meditasi bukan hanya kegiatan duduk bersila di sebuah tempat terpencil sambil komat-kamit merafal mantra dan lain-lain. Meditasi adalah keadaan sadar sepanjang waktu sambil melaksanakan kewajiban hidup sehari-hari. Nyetir mobil menjadi jalan meditasi, memasak, minum kopi, olahraga, berdebat, facebookan, dan lain-lain, semua itu bisa menjadi jalan meditasi. Meditasi adalah sadar dengan diri, Mulat Sarira, Eling, dan Jagra. Seseorang yang duduk bersila sambil komat-kamit baca mantra belum tentu sedang Mulat Sarira, belum tentu sedang bermeditasi, belum tentu sedang sadar atau ingat dengan dirinya. Sebaliknya seseorang yang sedang berdebat, sedang nonton televisi, sedang sibuk bekerja, belum tentu tidak bermeditasi. 

Meditasi artinya sadar. Ketika orang sadar dengan dirinya di saat sibuk bekerja, mereka sedang bermeditasi. Ketika dia sadar dengan dirinya, sadar dengan pikirannya, saat dia berdebat, dia sedang bermeditasi atau Mulat Sarira. Mulat Sarira bukanlah kegiatan evaluasi diri atau introspeksi diri tatkala tengah malam. Mulat Sarira adalah melihat ke dalam diri kapanpun, dimanapun, setiap detik, setiap saat dan sepanjang waktu. Tidak ada waktu tanpa Mulat Sarira. Sebab tidak ada waktu tanpa pengaruh maya di jaman Kaliyuga ini. Sepanjang waktu maya atau ilusi menyerang pikiran dan kesadaran melalui Panca Indria. Maka sepanjang waktu itu pula kesadaran dijaga dengan Mulat Sarira.

Dalam Gagending Pupuh Ginada ada kata-kata seperti ini "Geginane Buke Nyampat, Sai-Sai Tumbuh Luu, Ilang Luu Buke Katah" Yang artinya seperti kegiatan menyapu, setiap detik pikiran dan kesadaran adalah kotor oleh sampah karena mata melihat, telinga mendengar, lidah mencicipi dan seterusnya. Semua itu masuk ke dalam pikiran menimbulkan gejolak. Tujuan Mulat Sarira untuk menyapu semua itu. Tetapi hilang sampah itu masih ada debu yang mengotori pikiran atau kesadaran. Mulat Sarira terus berlanjut, setiap detik, setiap menit, setiap jam, sepanjang waktu, dan seumur hidup. Sesungguhnya umat Hindu di Bali adalah bagaikan kumpulan para Yogi. Dimana meditasi dan Mulat Sarira adalah makanan setiap hari. Apakah anda sudah Mulat Sarira? dan apakah anda sudah ingat dengan gerak pikiran?
            
Menurut Suhu Agung, pikiran akan sulit diam saat meditasi karena banyaknya pengetahuan spiritual yang tersimpan di alam bawah sadar baik itu yang diperoleh dari Jnana atau membaca buku-buku spiritual, pengalaman langsung, dan mendengar dari sumber yang layak dipercaya. Saat proses meditasi semua bentuk-bentuk pengetahuan akan muncul seperti beradau dalam pikiran inilah yang membuat pikiran bergejolak karena semua pengetahuan spiritualmu yang tersimpan dalam pikiran bawah sadarmu dan biarkan kesadaran yang bekerja dengan rasa bhaktimu. Tidak ada teori tentang mendiamkan pikiran. Tapi yang dibutuhkan adalah praktek penyelidikan bhatin melalui proses meditasi. Jadikanlah diri sebagai pengamat dari pikiranmu sendiri karena tidak ada orang lain yang mampu mengetahui dan mengenal dirimu kecuali dirimu sendiri.
         
Menurut Ganapaty Ananda dalam situs Blognya menjelaskan bahwa meditasi adalah salah satu jalan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kebenaran yang sejati tuhan yang maha esa. Meditasi adalah sebuah disipilin konsentrasi yang mendalam pada sebuah perwujudan tuhan hingga beliau sendiri mewujud di hadapan kita. Meditasi adalah sebuah disiplin untuk melihat ke dalam diri antara yang nyata dan tidak nyata guna yang mencapai tertinggi tuhan yang maha esa. Dengan melakukan meditasi secara terus menerus akan memberikan berbagai manfaat seperti misalnya rasa ego yang makin terkikis, rasa bhakti dan kerinduan terhadap tuhan makin tumbuh subur, timbulnya berbagai penampakan wujud tuhan. Sedangkan manfaat jasmani diantaranya kesehatan, peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit peningkatan daya konsentrasi.
               

                


 

Ahimsa Menurut Pandangan Tokoh-Tokoh Hindu Bag. Pertama

Wayan Arini, bukan nama sebenarnya, dia adalah seorang wanita yang sangat tekun mempelajari Weda dan kitab-kitab Hindu lainnya. Tapi entah kenapa dia merasa kesal setiap kali melihat umat Hindu di Bali menggelar upacara yadnya yang selalu mengorbankan binatang sebagai persembahan tuhan. Bukankah itu melanggar konsep Ahimsa seperti yang tersurat dalam kitab Weda? Apapun alasannya, membunuh mahluk hidup sangat bertentangan dengan ajaran Weda. Biarpun membunuh dengan dalih persembahan untuk tuhan. Dia ingin sekali menentang kelompok-kelompok yang masih suka menggelar yadnya seperti ritual yang masih mempersembahkan darah dan daging binatang.

Menurut pengamatan saya, Wayan Arini sepertinya belum lulus dalam mempelajari Weda. Pasalnya dia masih suka kesal melihat sesuatu yang dianggapnya berbeda dengan prinsipnya. Berarti tingkat spiritualnya masih rendah. Jika seseorang yang gemar membaca Weda membuat pikirannya menjadi damai dan tercerahkan, berarti dia sudah lulus dalam belajar Weda. Ingat, Hindu itu adalah sebuah agama yang mau menerima budaya dan kearifan lokal seperti tradisi yang mempersembahkan darah dan daging binatang. Memang benar tradisi itu bertentangan dengan ajaran Weda karena berisi pembunuhan mahluk hidup. Tetapi yang perlu diingat, niat Wayan Arini yang ingin menentang secara radikal tradisi persembahan darah dan daging binatang, justru itulah yang melanggar konsep Ahimsa.

Umat Hindu dari kecil diajari agar saling menghormati, mau menerima perbedaan dan tidak pernah berniat untuk menyeragamkan sesuatu. Agar tidak seperti kasus pria penendang sesajen di gunung Semeru atau seoarng Muallaf dari Bali yang bernama Bu Desak menghina habis-habisan tradisi dan kearifan lokal di Bali lewat konten Youtube-nya. Mereka melakukan konfrontasi karena tidak sesuai dengan prinsipnya. Apa yang berbeda dengan prinsipnya akan dianggap sesat. Mereka beranggapan bahwa hanya prinsipnya saja yang paling benar.

Bangsa kita telah mengalami krisis moral karena tidak mau menerima perbedaan dan ingin menyeragamkan sesuatu. Apa yang terjadi setelah orang Hindu di Bali menonton video seorang pria menendang sesajen di gunung Semeru? Atau mendengar Bu Desak menghina habis-habisan tradisi Hindu di Bali? Umat Hindu di Bali merasa sakit hati. Tindakan yang mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang sakit hati itulah termasuk perbuatan yang melanggar konsep Ahimsa.

Betul sekali seperti postingan Ki Kamandalu di FB, Ketika manusia mengaku beragama, seharusnya manusia mulai mengenal etika kehidupan beragama, sehingga makna agama itu tidak dianggap tidak mendidik umatnya.

Agama mengajarkan moral layaknya manusia beragama, namun bila manusia beragama tidak bermoral maka sesungguhnya dia tidak beragama atau mungkin hanya agama di ktp saja.


Walaupun penampilan manusia mencerminkan dia beragama tetapi prilakunya sungguh menggambarkan manusia tidak beragma. Andaikan tuhan bagai manusia pastilah tuhan akan mengutuk umatnya yg belajar agama tatapi tidak menerapkan ajaranya.  Sesungguhnya orang2 yg seperti ini adalah orang yang tanpa moral.

Saya justru kagum dengan Anand Khrisna. Walaupun beliau seorang vegetarian, penekun spiritual, dan suka meditasi, beliau belum pernah menentang tradisi dan kearifan lokal di Bali. Justru dia sangat menghormati budaya Bali. Coba baca buku-buku yang ditulis Anand Khrisna, tidak ada satu pun kata-katanya yang mendiskreditkan tradisi Bali. Itulah sebabnya sosok Anand Khrisna sangat dihormati oleh orang-orang Hindu di Bali.

Menurut kalian Ahimsa itu apa? Menurut Martin Luther King, Jr, Ahimsa juga berarti menghormati orang lain. Contohnya jika sudah membuat janji untuk bertemu jam  10 pagi, lima menit sebelumnya kita sudah berada di tempat pertemuan. Jangan sampai orang lain merasa resah menunggu anda. Karena perbuatan yang sangat meresahkan juga termasuk kekerasan.

Dalam buku Anand Khrisna yang berjudul Life Workbook dijelaskan bahwa Ahimsa berarti ikut merasakan penderitaan orang lain, siapapun orang lain itu. Ahimsa berarti memutuskan untuk tidak menambah penderitaan seorang pun karena sudah cukup penderitaan di dunia ini. Ahimsa juga tidak berarti menyiksa diri, tidak mengintimidasi siapapun dengan hendak membakar diri jika keinginan kita tidak dikabulkan. Atau membakar bendera negara lain karena pemerintahnya tidak bertindak tidak sesuai dengan keinginan kita.

Mahatma Gandhi pernah mengatakan jika kita memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membalas tetapi memutuskan untuk tidak membalas, itulah Ahimsa. Menyimpan rasa dendam dalam hati tapi senyum-senyum di depan umum, itu adalah kekerasan terhadap rasa dan emosi. Ahimsa menuntut transformasi diri. Energi benci harus ditransformasi menjadi energi kasih.

Ahimsa adalah kewajiban tertinggi. Walaupun kita tidak dapat mempraktikkannya secara penuh dan purna waktu, setidaknya kita mesti berupaya memahami semangatnya dan menjauh dari kekerasan agar menjadi lebih manusiawi. Asas Ahimsa itu tidak bisa dipisahkan dari kasih sayang. Kedamaian tidak bisa diwujudkan dengan sikap keras kepala, apalagi lewat kekerasan fisik. Ahimsa juga berarti tidak merendahkan orang atau kelompok lain. Kedamaian adalah sebuah langkah penting untuk menuju cinta kosmis atau cinta pada Seantero alam. Bagaimana mungkin kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari, selama masih ada kebencian dalam diri kita? Bahkan Bagaimana kita bisa memahaminya, jika masih senang menghina orang lain dan meremehkan simbol-simbol yang mereka puja dan hormati? Maka dari itu, kita dianjurkan untuk saling menghargai dan menghormati.

Pujangga besar China yang bernama Lao Tze juga mengajarkan Ahimsa versi dia. Ia membenarkan persenjataan tetapi sekadar untuk menakut-nakuti. Barangkali paham itulah yang dianut oleh India maupun Pakistan. Ahimsa yang terjadi diantara kedua negara itu karena saling takut. Ahimsa itu semu masih lebih baik daripada saling menghancurkan tanpa itu. Mereka yang mengguanakan kekerasan untuk melawan kekerasan pasti tidak akan pernah berhasil. Karena lantai kotor tidak mungkin bisa dibersihkan dengan air kotor. Kita tetap membutuhkan air bersih untuk membersihkannya.

Sementara Thomas Alva Edison pernah mengatakan bahwa prinsip tanpa kekerasan membawa kita kepada etika tertinggi, yang merupakan tujuan seluruh evolusi. Sampai kita berhenti melukai sesama makhluk hidup, kita masih tetap biadab. Apakah kita dapat menggunakan kekerasan untuk menjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia? Jelas tidak. Untuk membangun hubungan harmonis dengan sesama manusia, kita mesti menggunakan landasan Ahimsa atau tanpa kekerasan. Setidaknya kita bisa berupaya untuk mencari solusi tanpa menggunakan kekerasan.

Kesaktian Dapur Tradisional.


Dulu jika ada orang bertanya dewa yang berstana di dapur, jawabannya sudah pasti dewa Brahma atau dewa Agni. Karena rumah orang Bali jaman dulu masih tradisional. Ruang dapurnya sudah pasti terdapat tungku tradisional yang bahan bakarnya adalah kayu bakar. Nah, tungku tradisional itulah diyakini oleh masyrakat Bali jaman dulu sebagai stana dari dewa Brahma atau dewa Agni. Dapur kalau bahasa balinya adalah Paon, Jalikan, atau lebih halusnya disebut Pewaregan atau Perantenan. Dapur jaman dulu yang ada tungku tradisionalnya dianggap sakral oleh masayarakat Bali jaman dulu. Makanya jika ada bayi menangis tengah malam karena diganggu mahluk halus, orang tua pasti membawa bayinya ke ruang dapur lalu mencolek Mangsi yang melekat pada tungku tradisional kemudian dicolekkan ke kening bayi tersebut. Maka saat itu juga mahluk halus berhenti mengganggu bayi tersebut sehingga bayi tersebut berhenti menangis dan tidur dengan nyenyak. Selain tungku tradisional, bahan dasar atap dapur terbuat dari ilalang. Menurut mitologi Hindu di Bali, ilalang dipercaya sebagai penghilang kotoran secara metafisika. Kepercayaan ini ada hubungannya dengan cerita tentang ilalang yang kecipratan Tirta akibat dari Garuda yang saling rebutan Tirta. Makanya ilalang adalah satu satunya tumbuhan yang dianggap suci.
           Selain itu, jika orang jaman dulu datang sehabis bepergian dan setelah kembali ke rumah, tempat yang paling awal dicari pasti ruang dapur. Kenapa demikian? Alasannya agar tidak Ketutugan atau tidak diikuti oleh mahluk halus. Artinya mahluk halus yang mengikuti dalam perjalanan berhasil dilenyapkan di ruang dapur. Itulah kepercayaan masyarakat Bali jaman dulu yang masih diwarisi sampai sekarang.
          Dapur jaman dulu dipercaya bisa menghilangkan Leteh atau kotoran. Contohnya jika orang berkunjung ke rumah orang yang sedang berduka atau memiliki kematian, maka orang yang berkunjung kesana dianggap Cuntaka. Maka untuk menghilangkan Cuntaka tersebut, setelah pulang ke rumah, orang tersebut mengambil air lalu dilemparkan ke atap dapur dan tetesan airnya itulah yang dipakai untuk membersihkan diri. Dan sampai sekarang ada sebagian orang yang masih mewarisi kebiasaan tersebut. Itulah kesaktian dari dapur tradisional.
              Makanya untuk menjaga kesucian dapur, orang Bali biasanya tidak mau mengganti kerusakan-kerusakan ruang dapur dengan barang-barang bekas. Contohnya pintu dapur tidak boleh diganti dengan pintu bekas kamar mandi. Atau atap dapur tidak boleh diganti dengan atap bekas dari tempat lain. Itulah cara-cara orang Bali menjaga kesucian dapurnya. Makanya orang Bali jaman dulu sebagian besar melakukan ritual Agnihotra di ruang dapur.
     Orang Bali biasanya tetap membiarkan tungku tradisionalnya sebagai simbol dewa Brahma walaupun bentuk rumahnya sudah modern. Contoh lain adalah warga Pande walaupun tidak berprofesi sebagai tukang besi, namun mereka tetap membuat Stana dewa api sebagai simbol dari dewa Perapen atau dewa perapian.
        Namun di kota-kota besar seperti Denpasar dan sekitarnya sudah jarang kita melihat rumah masyarakat Bali yang memiliki ruang dapur berisi tungku tradisional. Karena jaman sudah berubah, sudah modern dan sudah semakin canggih. Bentuk-bentuk rumah sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada istilah Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh maupun Bale Delod. Rumah jaman sekarang bentuknya sudah modern. Orang-orang di jaman sekarang memasak sudah memakai peralatan elektronik. Masihkah dewa Brahma berstana di ruang dapur? Masihkah ruang dapur modern memiliki kesaktian seperti ruang dapur jaman dulu?

{Tulisan ini pernah dimuat di majalah Raditya edisi Januari 2020}

Sabtu, 15 April 2023

Patung Bayi Sakah.

Bagi sebagian besar masyarakat Bali, tentunya tidak asing lagi dengan keberadaan sebuah patung berbentuk bayi ukuran raksasa di simpang tiga Jalan Raya Sakah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali ini. Sedari 20-an tahun yang lalu, tak satupun ada yang diperbolehkan mengungkap bagaimana sejarah didirikannya patung yang dikenal sangat angker ini. Patung yang sebagai simbolis Sang Hyang Siwa Budha itu ternyata disebut Sang Hyang Brahma Lelare. Ide untuk membangun patung itu berawal dari niat mantan Bupati Gianyar Cokorda Darana pada tahun 1989.

Kala itu, Cokorda Darana mengajak sejumlah praktisi sejarah dan prajuru desa Batuan untuk melaksanakan sangkep (rapat). Tujuan rapat itu adalah untuk membahas kehendak Bupati Darana untuk membuat patung di seluruh simpang tiga dan simpang empat yang ada di Kabupaten Gianyar. Rapat pertama ternyata tidak menghasilkan keputusan. Kebanyakan dari peserta rapat kala itu mengajukan ide untuk membangun patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta. kalau patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta, tidak akan menjadi kebanggaan masyarakat Bali khususnya di Gianyar.

Sebab kalau di daerah lain dibangun patung pejuang dan wayang, maka patung yang akan dibuat itu tidak akan menjadi kebanggaan lagi bagi masyarakat Bali khususnya Gianyar. Akhirnya, setelah dilaksanakan rapat kedua, diputuskanlah untuk membangun patung Sang Hyang Brahma Lelare itu. Brahma Lelare adalah patung yang berwujud bayi. Wujud bayi dipilih karena sesuai filosofi bahwa bayi adalah simbol kelahiran manusia di dunia. Lantas, mengapa patung itu dibangun di Jalan Raya Sakah? Tepatnya di Banjar Belah Tanah? Mungkin itulah yang menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat Bali. simbol Siwa Budha itu dibangun di sana karena tanah yang terdapat di simpang tiga Jalan Raya Sakah itu, secara niskala disebut Blah –Tanah-Sake-Ah, artinya di tengah belahan tanah, terdapat sebuah sake (adegan) dan ah (tidak ada batas antara atas dan bawah)




Tumpek Kandang.

Tumpek Kandang itu seharusnya dimaknai sebagai Upacara untuk Manusia supaya manusia bisa menghilangkan sifat sifat binatang yang ada pada dirinya. Apakah sifat binatang itu selalu jelek?  Saya rasa tidak. Karena banyak dari sifat sifat binatang yang bisa di teladani manusia. Bagaimana binatang itu bisa setia, Bagaimana binatang itu bisa memilah makanan yang baik dan buruk, Bagaimana binatang itu bekerja sama , Bagaimana binatang itu bekerja keras, Bagaimana binatang itu tidak menyakiti keluarganya? Dan lain lain. 

Sedangkan sifat manusia masih saja ada yang suka berantem dengan  sesama atau saudaranya sendiri. Tidak mau bekerjasama, Tidak setia, Tidak bisa memilah makanan yang mana baik dan mana yang tidak baik  untuk kesehatan, Pemalas,terkadang tidak tahu malu  dan lain lain. Lama kelamaan bisa saja perilaku kita tidak bisa lebih baik dari binatang, seolah olah binatang lebih berfungsi otaknya daripada kita. Maka, Jadikanlah momen Tumpek Kandang tersebut untuk mengingatkan kita supaya bisa manjadi manusia yang lebih baik dan bisa menjadi lebih sempurna dengan mencontoh sifat baik dari hewan dan meninggalkan sifat kurang baiknya.

Manusia itu adalah makhluk paling utama daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya. Demikianlah Sanghyang Rare Angon Menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama badan Beliau. Makanya hari Tumpek Kandang merupakan salah satu hari wujud rasa kasih sayang serta ungkapan rasa terimakasih manusia pada binatang atau hewan. Baik hewan peliharaan maupun hewan ternak. Makanya dalam Yajur Weda Sloka 15-48 dijelaskan bahwa kita dianjurkan agar selalu menyayangi semua mahluk hidup. Agar semua mahluk hidup dan binatang - binatang, semuanya berbahagia. 

Dalam sastra juga dijelaskan bahwa binatang itu dianggap sangat berjasa karena sudah membantu kehidupan manusia seperti misalnya sapi sangat membantu manusia dalam melakukan pekerjaan seperti membajak sawah. Kandang dalam filosopi mengandung makna mengekang pikiran yang begitu liar. Karena pikiran manusia diibaratkan seperti hewan dan harus dikendalikan sehingga mampu membatasi dan mengekang keinginan yang bersifat seperti binatang. Misalnya sifat binatang itu, hidupnya tanpa tata krama, liar, malas dan lain lain.

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Kalau dilihat dari Urip Saniscara Kliwon Uye, berjumlah 7 dan itu dianggap sebagai hari yang berwatak rajas, yang disejajarkan dengan watak Sato (binatang) Untuk itu pada hari Tumpek kandang kita perlu menyucikan diri, untuk nyomia atau menetralisir kekuatan binatang dalam diri kita, karena daging dari hewan yang kita makan akan bersemayam pada tubuh manusia dan akan membawa pengaruh pada tabiat, sifat dan karakter manusia. Saniscara Uye merupakan Tumpek Kandang untuk mengupacarai semua jenis binatang besar, ternak maupun binatang lainya. Pada Tumpek kandang umat menghaturkan persembahan pada Sanghyang Rare Angon sebagai manifestasi dari Dewa Siwa yang berfungsi sebagai penguasa dan penjaga semua binatang. Dengan tujuan untuk diberikan keselamatan pada semua hewan peliharaan dan ternak agar bisa bermanfaat dan hasilnya melimpah dan sesuai dengan harapan dari pemiliknya. Dengan menghaturkan persembahan itu maka manusia juga berharap agar tidak menjadi Tulah Hidup, karena hanya menikmati saja tanpa persembahan.

Tumpek Kandang adalah sebagai sebuah upacara atau tindakan nyata tentang Awareness All God Creation Being. Sebab manusia juga merupakan makhluk yang sangat tergantung dari populasi hewan, terutama ternak. Kita sangat sadar, bahwa dengan keberadaan hewan-hewan, kehidupan manusia sangat ditopang dalam hal kesejahteraan dan tenaga-tenaga hewan kuat seperti kuda, sapi, kambing, banteng juga sangat bermanfaat bagi pertanian manusia. Maka tidak salah jika sekarang manusia ingin mengucapkan rasa syukurnya dengan melakukan tindakan nyata memberikan Prascitta pada mereka, agar mereka juga mendapatkan peningkatan kadar kesadaran dalam sisi Rohani.

Lalu -- apa gunanya memberikan peningkatan Rohani pada binatang ?
Hindu tidak melihat makhluk dengan kapasitas berbeda dalam dimensi Jivatattva. Semua makhluk memiliki badan inti yang sama yakni Atma. Ketika kita masuk dalam pengertian ini, maka tubuh jasmani kita hanyalah sebuah pakaian yg menyelimuti jiwa, maka kita pun tidak berbeda dengan makhluk lain, namun karena sisa hasil Karma kita yang sedikit baik, maka kita diberikan badan manusia dan dengan badan inilah kita berusaha meningkatkan kesadaran, bukan hanya dalam kesadaran fisik, namun juga keseimbangan spiritual.

Apakah Adat Dan Tradisi Bisa Berubah?

Apakah adat dan tradisi bisa berubah? bisa saja asalkan ke arah yang lebih baik..
misalnya  saat acara nyiraman layon semula bikin leluhur, tiap sudut leluhur ditarik dengan tali kemudian diikatkan pada kolong rumah yang terdekat dirubah dengan cara kaki Asagan dikasi tiang bambu Sibak setinggi kira" 2,5 meter. kemudian sudut leluhur diikat pada tiang" Asagan tersebut.

Yang kedua adalah bikin Asagan semula tingginya kurang dari 1 meter dibuat kira" setinggi 130 cm atau setinggi dada orang dewasa agar nyiraman lebih enak tidak membungkuk.

Yang ketiga adalah Pemalungan/tempat bakar jenasah di setra yang semula dibuat setinggi 50 cm atau dibawah 1 meter sekarang dibuat 1 meter agar jenasah kelihatan lebih berwibawa.

Keempat adalah lokasi pemuwunan/tempat bakar jenasah di setra yang semula tanah datar biasa.. dilokalisir dengan Bataran setinggi kira" 30 cm dan dibuat seluas muat utk 3-5 pemalungan agar berciri itu tempat pemuwunan.

Kajeng Kliwon.

Dalam lontar Sundarigama , dijelaskan bahwa pada Hari Kajeng Kliwon, untuk upakaranya sama seperti pada hari Pancawara Kliwon, hanya tambahannya yaitu *segehan lima warna. Terkait *Pancawara Kliwon*, dalam Lontar Sundarigama disebutkan: bahwa Pancawara Kliwon   merupakan payogan atau hari beryoganya Bhatara Siwa.
Pada saat itu sepatutnya melakukan penyucian dengan mempersembahkan wangi-wangian bertempat di merajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, patut juga mempersembahkan segehan kepel sebanyak dua kepel menjadi satu tanding, 

Di halaman merajan, persembahan ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari. Di pintu keluar masuk, persembahan ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari. Dan untuk di halaman rumah, persembahan ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Maksud persembahan berupa labaan setiap Kliwon ini untuk menjaga agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna. Pada samping kori sebelah atasnya dipersembahkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi. Yang disuguhkan di bawah untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dengan tujuan agar berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah atau tidak ngarubeda.

Jika tidak melakukan hal itu, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan black magic, segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.

Dalam jenisnya ada 3 KAJENG KLIWON  yaitu Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan dan Kajeng kliwon Pemelastali Kajeng Kliwon Uwudan merupakan hari baik untuk menghidupkan ilmu pengiwa.
Dan untuk Kajeng Kliwon Enyitan merupakan hari baik untuk membuat sasikepan (jimat) dan membangkitkan kekuatan ilmu penengen  *Kajeng Kliwon Uwudan* ini adalah Kajeng Kliwon yang diperingati setelah *Purnama*, sedangkan *Kajeng Kliwon Enyitan* dilaksanakan setelah *Tilem*. Selain itu adapula *Kajeng Kliwon Pamelastali* atau Kajeng Kliwon yang dilaksanakan saat hari Minggu wuku Watugunung.

Kamis, 13 April 2023

Jenis Jenis Tetabuhan Atau Gambelan Dalam Upacara Ngaben.

Ada beberapa tetabuhan yang biasa dimainkan  dalam upacara ngaben yaitu: balaganjur, gender wayang, angklung, gambang, selonding, gong kebyar,  dan gong gede.

.
1. Balaganjur
Balaganjur adalah seperangkat gamelan  yang terdiri atas instrumen-instrumen perkusi berlaras pelog.
.
Barungan (ansambel) yang sangat  dinamis dan bersemangat ini tergolong ke dalam  barungan madya (Dibia, 2012).
.
Gamelan balaganjur yang digunakan dalam 
prosesi upacara ngaben yang penulis amati 
adalah balaganjur peponggangan dan balaganjur babonangan.
.
2. Gender Wayang
Gender wayang merupakan instrumen dengan sepuluh bilah berlaras slendro lima nada dimainkan oleh seorang penabuh dengan menggunakan sepasang panggul gender.
.
Biasanya gender wayang dimainkan minimal oleh dua orang yang masing-masing memainkan satu tungguh gender. Satu orang penabuh memainkan pukulan polos, penabuh lainnya membawakan pukulan sangsih.
.
Gending yang dimainkan pada prosesi ngaben adalah angkat-angkatan. Dalam pertunjukan wayang kulit, gending ini dipakai untuk mengiringi adegan berjalan dari tokoh wayang, misalnya selesai adegan paruman, tokoh wayang pergi ke hutan, ke gunung, ke medan perang atau tempat lainnya.
.
Selain angkat-angkatan, beberapa gending yang sering dimainkan dalam prosesi pemberangkatan jenazah adalah Katak Ngongkek, Gadebeg, Glagah Puwun, gending tetangisan seperti Mesem atau Bendu Semara (Wawancara dengan Ida Bagus Putu Catem).
.
3. Angklung
Angklung adalah ansambel (bebarungan) gamelan Bali berlaras slendro empat nada, yang terdiri dari kelompok instrumen idiophone, membranophone, dan aerophone. .
.
Kelompok instrumen idiophone dalam ansambel angklung antara lain: satu tungguh reyong yang terdiri atas delapan pencon, sepasang jegogan, masing-masing memakai empat bilah, tiga pasang gangsa pamade, tiga pasang gangsa kantil, sebuah instrumen kempur (berfungsi sebagai gong), sebuah tawa-tawa, sebuah klenang, dan satu pangkon cengceng ricik. Instrumen lainnya yaitu sepasang kendang angklung lanang-wadon (membranophone), dan beberapa buah instrumen aerophone berupa suling cenik (suling berukuran kecil).
.
Ketika upacara ngaben, angklung bisa memainkan gending-gending pategak untuk menambah kekhidmatan upacara atau memainkan gending gilak untuk mengiringi prosesi pemberangkatan jenazah dari rumah duka menuju ke kuburan.
.
Dalam prosesi pemberangkatan jenazah yg melibatkan ansambel angklung, biasanya posisi ansambel berada di belakang pamereman bersama-sama dengan kelompok.
.
Sumber:  I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben, jurnal Resital Vol. 15 No. 2, Desember 2014.


Siwaratri Bukan Hari Menebus Dosa.

Ada asumsi salah kaprah dalam memaknai Siwaratri. Sering dikatakan melebur atau menghapus dosa dengan begadang semalam suntuk. Dalam lontar Siwaratri Kalpa ada cerita Lubdaka. Kalau dibaca secara utuh ceritanya disana tidak ada penebusan dosa. Setelah kematian lubdaka terombang ambing di Suniantara akibat perbuatan pengembaraan di hutan, kemudian dijemput oleh bala Yama diadili dan disiksa akibat Himsa Karma. Kemudian dijemput oleh bala Siwa diajak ke Siwaloka ini akibat perbuatan baiknya yaitu sayang anak dan istri, dan melakukan jagra saat gelap paling gelap (Siwaratri). Jadi semua karmanya (baik dan buruk) pahalanya menimpa. Pesannya, siapa yang mampu Jagra atau Eling dalam gelapnya kebodohan (Awidya) dia akan memperoleh lentera pencerahan menuju nirwana Suka Tanpa Wali Duka (pembebasan). 
       
Asal-usul Siwaratri tidak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis Mpu Tanakung. Dikisahkan, seorang pemburu binatang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang tak bersalah. Suatu malam ia terpaksa bermalam di hutan sambil berdiam diri di atas pohon agar tidak tidur dan terjatuh. Tanpa dia sadari, malam itu adalah hari Siwaratri. Sambil bermalam, ia menyesali semua perbuatannya yaitu membunuh binatang yang tak bersalah. Dan berjanji dalam hati untuk tidak melakukannya lagi. Setelah meninggal, arwah sang pemburu binatang dimasukkan ke neraka. Pada waktu itu, muncullah Dewa Siwa yang membebaskan sang pemburu binatang. Pasukan Cikrabala yang bertugas membawa pemburu ke neraka mempertanyakan hal tersebut.
              
Dewa Siwa menjelaskan sang pemburu telah menebus dosa-dosanya dengan begadang semalaman dan menyesali perbuatannya sehingga berhak mendapatkan pengampunan. Kisah itu pun menggambarkan Hari Siwaratri, yakni malam peleburan dosa. Momentum untuk refleksi diri agar senantiasa terjaga dari mimpi-mimpi terjadi setiap tahun, yakni dalam perayaan Siwaratri. Mengambil cerita Lubdaka, banyak orang percaya bahwa perayaan tersebut adalah sebagai malam peleburan dosa. Dikisahkan bahwa Lubdaka sendiri adalah seorang pemburu yang kesehariannya senantiasa membunuh. Tetapi, oleh karena kebetulan pada malam hari, yakni satu hari sebelum Tilem Kapitu, Lubdaka tidak tidur semalam suntuk di hutan.  

Sementara dalam rubrik Mutiara Weda di harian Nusa Bali yang ditulis oleh Igede Suantana tertanggal 17 Januari 2018 mengisahkan bahwa Malam itu adalah malam hari dimana Dewa Siwa sedang melaksanakan Samadhi. Diyakini bahwa siapapun yang ikut tidak tidur di malam itu akan mendapat rahmat Siva dan semua dosa akan dihapuskannya. Hal ini terbukti ketika Lubdaka meninggal, Atmannya langsung dijemput oleh pasukan Ganapala untuk dibawa ke Siwaloka.
              
Tetapi jaman telah berubah. Masyarakat sekarang agar tidak tertidur, justru mereka melakukan berbagai aktivitas seperti menyelenggarakan hiburan, main ceki, minum-minum, ngobrol di bale banjar, dan lain sebagainya. Banyak orang yang berkeyakinan bahwa dosa akan bisa dihapus dengan jalan tidak tidur semalam suntuk dengan cara seperti itu. Namun, ada juga yang berkeyakinan bahwa malam itu lebih tepatnya sebagai malam renungan dosa, yakni mengingat kembali dosa apa yang telah diperbuat dan berjanji akan memperbaikinya di kemudian hari. Ada juga yang percaya bahwa malam itu adalah momentum untuk refleksi diri agar senantiasa menjadi lebih baik di kehidupan yang akan datang.
       
Dari sekian pemahaman, yang paling menarik adalah mengenai penebusan dosa. Banyak yang mempertanyakannya apakah semudah itu? Kalau semudah itu, nantinya orang akan dengan mudah berbuat dosa, sebab gampang ditebus dengan hanya begadang semalam suntuk di malam Siwaratri. Banyak orang yang merasakannya walaupun tidak sedikit yang masih menyukainya. Jika dikembalikan ke teks-teks yang ada, pertanyaan mengenai apakah dosa bisa ditebus atau tidak sepertinya mudah saja di jawab. Jawabannya adalah memang bisa dengan mudah ditebus dan digaransi benar 100 persen asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
                 
Apa ketentuannya? Ketentuannya adalah sebagaimana dinyatakan oleh teks di atas. Jika dia mampu melihat kebenaran, yakni ketika ia mampu melihat segala sesuatu yang ada sesungguhnya tidak berbeda dengan dirinya dan dia yang menyadari bahwa dirinya bukan pikiran, maka perayaan Siwaratri akan menjadi ajang sebagai penebusan dosa. Mengapa demikian? Pertama, orang yang telah mampu melihat kebenaran adalah dia yang telah mampu memutus rantai ikatan samsara, sehingga jejak vasana masa lalu tidak lagi mengikutinya. Dengan cara ini, dosa akan dengan sendirinya terhapuskan. Kedua, orang ini di dalam melakukan tindakannya akan senantiasa berpatokan pada kebenaran itu sendiri, sehingga apapun yang dilakukannya dosa tidak akan mampu menghampirinya. Orang ini jika melaksanakan brata Siwaratri akan dengan mudah membuat dirinya tidak pernah dilekati oleh dosa.  
         
Ketiga, orang ini adalah orang yang sadar (jagra) setiap saat. Jadi tidak perlu menunggu momentum Siwaratri untuk me-jagra. Jika setiap saat melakukan jagra, artinya setiap saat dia melakukan penebusan dosa, sehingga dosanya setiap saat terhapus. Saat kapanpun, dia akan terlepas dari dosa. Jadi, dengan ketiga alasan ini, perayaan malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa benar adanya. Tetapi orang biasa yang senantiasa bergelimang dengan perbuatan dosa kemudian melaksanakan brata malam Siwaratri dan berharap dosa-dosa terhapus, sepertinya keinginannya tersebut sangat sulit, dan bahkan bisa menambah dosa. Keinginan menebus dosa justru menjadi perbuatan berdosa, sehingga deretan dosanya bertambah panjang. Maka dari itu, agar malam Siwaratri menjadi malam penebusan dosa, maka kriteria sebagaimana disebutkan oleh teks di atas harus menjadi pertimbangan utama. Jika belum mencapai kondisi itu, berpikir untuk menebus dosa adalah angan-angan penuh dosa. Mengapa penuh dosa? Karena tidak tahu malu. Malu kepada siapa ? Kepada diri sendiri. Tidak mampu mengukur diri dan memahami diri sendiri adalah sebuah dosa. 

Teknik penebusan dosa diajarkan dalam kitab suci Hindu. Salah satu jalan untuk menebus dosa bukanlah lewat ritual apapun, melainkan dengan jalan kerja keras dalam hidup ini. Kerja keras itu bisa dengan mengerahkan pemikiran untuk pengabdian, dengan memeras tenaga untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik, maupun gabungan potensi keduanya, fisik dan mental. Sebagaimana Bhagawadgita menyebutkan :
Dia yang bekerja mempersembahkan kerjanya kepada Brahman tanpa motif keinginan apa-apa, tidak terjamah oleh dosa papa bagaikan air meluncur di dalam teratai. Dan bagaimana dosa diampuni ?
Bhagawadgita sekali lagi menyebut kata "bekerja"

Bukan mantra, upacara, maupun meditasi yang dapat menghapus dosa. Tetapi hanya kerja. Mereka yang telah bekerja melakukan kewajiban masing-masing dengan benar dan melepaskan mental dari pamrih hasil kerja itu diijinkan datang kepadaNYa untuk pengampunan dosa. Mereka pekerja inilah sesungguhnya seorang Karma Yogi yang diberi jaminan oleh Tuhan untuk datang kehadapanNYa untuk mendapat perlindungan dan mendapat remisi atas segala dosa. Karena itu, giatlah bekerja supaya tidak jatuh dalam dosa yang diakibatkan oleh timbunan sifat malas.




Mitologi Rumah Tusuk Sate Atau Tumbak Jalan.

Sebagian besar masyarakat Bali masih mempercayai asta Kosala kosali ketika mau mendirikan rumah atau saat membeli pekarangan rumah yang akan mempengaruhi faktor keberuntungannya. Termasuk apakah letak pekarangan rumah katumbak jalan atau istilah umumnya tusuk sate? Apakah pekarangan rumah tersebut termasuk Karang panas atau tidak? Seperti contoh karang negen,Karang sandang Lawang,karang ngulonin Banjar dan lain-lain. Dalam Lontar tutur Begawan wisrawa Karma, bhamakerti, dan Asta bumi dijelaskan bahwa pekarangan rumah yang terletak dibagian hulu Banjar atau Pura memang termasuk pekarangan yang dianggap kurang baik untuk ditempati. Penghuninya sering terkena musibah, sakit-sakitan, sering terjadi perselisihan yang menimbulkan terjadinya pertengkaran antar sesama penghuni. Namun kondisi tersebut bisa dinetralisir dengan jalan memundurkan tembok penyengker rumah. Antara tembok Banjar atau Pura dengan tembok rumah dibuatkan Gang kecil atau lorong gantung.  sementara di luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih berbentuk Padma capah dan di luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih berbentuk Padma capah dan di tanah pekarangan dibuatkan upacara Pamahayu pekarangan. 
               
Selain karang ngulonin Banjar atau pura, masih banyak posisi pekarangan yang dianggap berakibat buruk bagi penghuninya. Yang cukup dikenal orang yakni Karang katumbak jalan atau gang. Orang juga sering menyebut dengan istilah tusuk sate. Posisi tanah katumbak jalan atau gang ini, dalam keyakinan orang Bali tidak baik dihuni karena bisa menyebabkan bahaya, kesusahan, dan sakit-sakitan. Hal ini juga berlaku untuk rumah yang posisinya tertusuk sungai. Ada juga posisi pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan Karang negen. Menurut ide bagus Putra manik Aryana dalam buku indik karang panes, yang dimaksud karangan Negen yakni dua pekarangan rumah milik satu orang yang letaknya berhadap hadapan  dipisahkan jalan. Mirip dengan Karang Negen, ada juga Karang sandang Lawang yakni pekarangan rumah orang yang bersaudara yang posisinya berhadap hadapan.  Hanya dibatasi jalan atau gang. Penghuni Kedua jenis Karang Itu dipercaya akan mengalami kesusahan, sakit-sakitan, dan sering terlibat pertengkaran. Apabila memang terpaksa menempati atau menghuni Karang panes dapat merawatnya dengan membangun Pelinggih serta menggelar upacara Pecaruan. Menurut Lontar bhamakerti, pekarangan dengan posisi ketumbak bisa dibuat dengan mendirikan pelinggih berbentuk Padma alit, stana Sanghyang durgamaya.  sementara penghuni rumah melakukan aci pada hari-hari suci di Padma alit tersebut. 

Sejarah Subak.

Dalam kajian sejarah, diperkirakan sistem subak telah dikenal oleh masyarakat Bali sejak abad ke-11. Pendapat ini berdasarkan temuan prasasti Raja Purana Klungkung tahun 994 Saka atau 1072 masehi yang menyebutkan kata kasuwakan yang diduga merupakan asal kata dari Suwak yang kemudian berkembang menjadi Subak yang artinya saluran air. Subak adalah organisasi tradisional petani Bali yang dikepalai oleh seorang pekaseh dalam hal tata kelola dan sistem distribusi irigasi untuk pertanian dan perkebunan yang sebagaimana disebutkan museum Subak sanggulan Tabanan sebagai tempat peragaan kegiatan Subak di Bali. 
                  
Sementara dalam prasasti Trunyan tahun 891 terdapat kata Serdanu yang berarti kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal bentuk cara mengelola irigasi pada akhir abad kesembilan. Dari sinilah lalu diduga masa tersebut sebagai awal kemunculan subak. Meski kata tersebut belum dikenal. Kesimpulan tersebut diperkuat prasasti Bebetin tahun 896 yang ditemukan di Buleleng dan prasasti batuan tahun 1022. Dua prasasti tersebut menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pengarung. Pekerja ini biasa dipakai dalam Subak masa modern. Kata Subak dinilai sebagai bentuk modern dari kata Suak. Suwak ditemukan dalam prasasti Pandak Bandung tahun 10 71 dan Klungkung tahun 1072. Menurut Setiawan, suwak  diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah Klungkung. Pengairan yang baik disebut kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air atau bangunan keagamaan setempat.
                  
Fungsi Subak adalah mengatur pembagian air dengan sistem Temuku yaitu temukuaya atau pembagian air di hulu, Temuku gede atau ukuran bagian air untuk wilayah persubakan, Temuku penasan atau ukuran bagian air yang langsung ke petak sawah yang jumlah petani sawah 10 bagian, Temuku Penyacah atau ukuran bagian air untuk perorangan.  Selain itu, fungsi Subak adalah memelihara bangunan pengairan disertai dengan pengamanan sehingga dapat dihindari kehilangan air pada saluran air dan mengatur tata guna tanah dengan sistem sengkedan sehingga lahan tanah yang tadinya bergunung-gunung menjadi hamparan sawah yang berundak-undak. 
        
Yang termasuk pura Subak adalah Pura Ulun Carik, Bedugul Pura Ulun suwi, Pura Ulun Danu dan pura Masceti. Hanya orang jenius yang bisa memahami kejeniusan leluhur kita di Bali. Sistem subak serta pura Subak dan pura Beji, bukan hanya sesuatu yang bersifat religius. Tapi juga suatu sistem ekologi canggih untuk menjaga keharmonisan alam. Kelihatannya acak dan tidak beraturan tapi sesungguhnya menjaga keharmonisan alam dengan cara teratur sempurna.

Senin, 10 April 2023

Hari Yang Tidak Baik Untuk Upacara Pawiwahan.

Di Bali ada istilah hari-hari yang tidak baik untuk melangsungkan upacara Pawiwahan atau perkawinan diantaranya ada istilah Rangda Tiga yaitu pada saat Wuku Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Perangbakat. Ada juga istilah Was Penganten seperti Redite Kliwon, Sukra Pon Tolu, Redite Wage, Saniscara Kliwon Dungulan, Redite Umanis, Saniscara Paing Menail, Redite Pon, dan Saniscara Wage Wuku Dukut. Pada saat Nguncal Balung juga merupakan hari yang tidak baik untuk melangsungkan upacara Pawiwahan yaitu mulai Buda Pon Sungsang sampai Buda Kliwon Pahang. Hindari juga Panglong dan Ingkel Wong. 
               
Lalu bagaimana jika ada wanita hamil dan sang pacar sudah bersedia mengawininya tetapi pada saat itu ada hari yang tidak baik untuk melangsungkan upacara Pawiwahan? Sementara jika menunggu hari baik sangat lama, dan takutnya nanti sang bayi keburu lahir dan dicap sebagai anak Bebinjat. Apakah ada solusinya? Karena adat di Bali itu sebenarnya tidak kaku, maka dibuatkanlah jalan keluar oleh orang-orang yang ahli di bidang Wariga dan Padewasan. Dengan jalan yaitu boleh melangsungkan Pawiwahan di hari yang tidak baik itu asalkan dibuatkan Caru yang bernama Pamarisuda Mala Dewasa. Tradisi Bali bukan hanya fleksibel dalam menangani masalah tersebut. Juga fleksibel dalam menghadapi permasalahan-permasalahan lainnya seperti yang dialami oleh salah seorang warga baru-baru ini seperti masalah telur yang menjadi sarana dalam Banten Daksina.
             
Telur yang dipakai untuk mengisi Banten Daksina seharusnya telur itik. Tapi yang menjadi permasalahan adalah ketika berkeliling mencari telur itik tidak dapat-dapat karena stok telur itik habis, sementara Daksina akan dipakai pada saat itu juga, karena tradisi Bali tidak kaku, akhirnya telur itik bisa diganti dengan telur ayam. Kalau bisa, seharusnya telur itik. Kenapa harus menggunakan telur itik? Karena itik adalah binatang yang dianggap suci dan simbol Satwika karena mampu memilih makanan dalam lumpur yang kotor. Selain masalah hari tidak baik dalam melangsungkan upacara Pawiwahan dan masalah telur dalam Daksina, berikut ini juga ada pertanyaan dari warga tentang menghaturkan Sesayut Tipat di Sanggah Merajan.    apakah dihaturkan pada saat Sasih Kapitu atau Sasih Kawulu? Sekali lagi saya katakan karena tradisi Bali tidak kaku, maka jawabannya adalah boleh dihaturkan pada Sasih Kapitu maupun Sasih Kawulu. Karena makna menghaturkan Sesayut Tipat adalah sebagai ungkapan rasa terimakasih pada tuhan dan merupakan proses pensucian alam. Jadi kapanpun kita mau mengungkapkan rasa terimakasih atau kapanpun kita mau mensucikan alam, boleh-boleh saja.
                 
Dan yang perlu kita ketahui tentang daya pikir masyarakat Hindu di Bali adalah sebagian besar masyarakat lebih cepat mengerti Sloka-Sloka yang tertera pada lontar yang sudah diterjemahkan dalam bentuk buku daripada mencerna sloka-sloka Weda mereka sangat sulit memahaminya dan mepelajarinya. Makanya dalam Hindu diberikan kebebasan untuk memilih. Mau mempelajari Weda, silahkan. Mau mempelajari buku terjemahan dari lontar juga  silahkan. Karena lontar juga sumbernya dari Weda. Dan mengenai mantra dalam Weda sebagian besar menggunakan mantra Om. Sedangkan dalam lontar kebanyakan memakai mantra Ong. Jadi mana yang paling baik? Menurut saya semuanya baik. Karena Om adalah simbol tuhan yang bermanifestasi sebagai Tri Murti. Sedangkan Ong adalah simbol tuhan yang bermanifestasi sebagai Akasa dan Pratiwi.



Gay Dan Homoseksual Menurut Persfektif Hindu.

Apakah ada lontar yang membenarkan mencintai sesama jenis? Saya rasa tidak ada. Justru kitab suci Hindu sangat melarang hubungan sesama jenis. Dalam kitab Manawa Dhara Sastra 8-369 dijelaskan bahwa yang suka sesama jenis itu tidak dibenarkan dan tidak akan mendapatkan Puja Weda. Sementara dalam kitab Manawa Dharmasastra 9-96 dijelaskan bahwa diciptakanlah perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai bapak. Lalu kenapa dalam Purana diceritakan Dewa Siwa berhubungan badan dengan Wisnu hingga melahirkan seorang putra yang bernama Dewa Ayapa? Oh, kalau soal itu, saya rasa hanya sebuah mitologi. Karena dalam cerita tersebut ada seorang raksasa yang hanya bisa dibunuh oleh putra yang lahir dari hubungan Siwa dengan Wisnu. Maka dari itu Siwa berubah menjadi Hara, Sementara Wisnu menjadi Hari.
           Tapi menurut sejarawan Rana Safvi mengatakan cinta dirayakan di India dalam berbagai bentuk. Baik India di masa kuno atau di abad pertengahan, perubahan orientasi seksual terjadi di masyarakat. Kuil Khajuraho dan Kronik Mughal memperlihatkan Homoseksualitas. Contoh yang paling jelas terkait hal ini dapat dilihat di kota Khajuraho di Madya Pradesh. Kuil tersebut didirikan antara tahun 950 dan 1050 oleh dinasti Chandela. Ukiran-ukiran erotis dalam kuil tersebut dengan jelas menggambarkan Homoseksualitas. Pahatan yang sama juga dapat ditemui di kuil matahari yang dibuat pada abad ke 13 di Konark di sebelah timur Orisa dan gua biara Buddha di Ajanta dan Elora di sebelah barat Maharastra. Ahli mitologi Devdut Patnaik sudah sangat sering menjelaskan tentang keterbukaan Hindu pada Homoseksualitas. Gambar-gambar di kuil, kitab suci, dan buku-buku agama memperlihatkan bahwa aktifitas Homoseksualitas dalam bentuk teretntu eksis di India kuno.
       Meski bukan bagian arus utama, keberadaannya diakui meskipun tidak disetujui. Dalam Mahabharata ada kisah Arjuna menjadi Brihanala. Juga Srikandi, wanita berprilaku pria. Dalam Kamasutra pria yang menyukai pria disebut Auparistaka yaitu yang menggantikan fungsi vagina dengan mulut untuk mendapatkan kesenangan seksual. Kalau bisa, sebaiknya hindari mencintai sesama jenis karena bertentangan dengan norma hukum di Indonesia termasuk dalam Lontar. Menurut logika saya, tidak ada yang membolehkan karena sampai sekarang belum pernah dengar cerita dari penglingsir kita.

Minggu, 09 April 2023

Orang Bali Kalah Bersaing Dengan Pendatang.

Pendatang yang ada di Bali sangat pintar Memanfaatkan peluang dan mengais rezeki di Bali. Contohnya, ibu-ibu dari Banyuwangi ketika mengetahui masyarakat Bali suka mengaturkan sesajen seperti canang sari setiap hari, ibu-ibu dari Banyuwangi tersebut belajar membuat canang sari dan menjualnya di pasar-pasar yang ada di Bali. Dan mereka sukses menjadi pedagang canang di Bali. Saya sebagai orang Bali justru salut sama pendatang yang pintar memanfaatkan peluang. Saya sebagai orang Bali malah heran dengan perilaku saudara sendiri. Rupanya orang Bali telah kalah bersaing di tanahnya sendiri. Orang Bali tidak akan maju Selama memiliki sifat dengki dengan sesama orang Bali. Ketika saudara kita atau orang Bali memiliki warung yang sangat laris atau di banjiri pembeli, mereka akan dituduh oleh saudaranya sendiri dengan mengatakan memelihara tuyul, bisa Ngeleak, nyetik dan lain sebagainya, agar orang-orang tidak ada yang berbelanja di sana. Dan tragisnya lagi, ketika saudara kita punya uang, mereka akan berbelanja di pasar modern agar mendapatkan harga promo atau diskon. Tetapi ketika tidak punya uang, mereka rela ngebon di warung saudaranya biarpun dengan harga mahal. Makanya ada istilah orang Bali seperti Arit yang tajam ke dalam, dan tumpul ke belakang. Artinya orang Bali akan bersikap keras Jika dengan sesama orang Bali.

Bukan hanya itu saja. Kondisi Bali saat ini sudah mulai kurang baik dan memprihatinkan. Bukan hanya ibu ibu dari Banyuwangi saja yang pintar memanfaatkan peluang di Bali. Bahkan bule bule yang tinggal di Bali juga pintar mengais rejeki di Bali.
Dari banyaknya bule hampir semuanya bersikap sembarangan. Mereka ke Bali ternyata melakukan bisnis dan bersaing dengan orang lokal sendiri.
Kendaraan bahkan driver driver luar Bali juga sudah membanjiri Bali dan bersaing dengan transport lokal. Dan ironisnya, turis jarang yang mau menyewa transport milik orang Bali. Mereka malah lebih senang menyewa transport milik pengusaha dari warga negara asing. Hal itu harus kita tanggapi bersama.
Bagaimana agar turis datang ke Bali benar benar berwisata?
Bagaimana agar transport transport lokal tidak bersaing lagi dengan transport non lokal?
Bali provinsi yang sangat istimewa seharusnya bisa mencarikan solusi untuk masalah tersebut.

Mengenai turis yang tidak mau menyewa jasa transport milik orang Bali, Solusinya adalah kita juga berhenti mengkonsumsi produk produk luar negeri. Berhenti juga mengkonsumsi bahan bahan makanan dari luar negeri seperti misalnya toge dan sawi. Toge dan sawi dari luar memang lebih gendut. Tapi kegendutan itu disebabkan oleh pupuk sintetis yang sama sekali tidak sehat. Selain berhenti mengkonsumsi buah dan sayur dari luar negeri, juga Berhentilah mencemari udara Bali dengan menunda pembelian motor. Jumlah motor di Pulau Bali sudah membuludak. Bayangkan pencemaran yang terjadi karenanya. Kembalilah berbelanja ke pasar-pasar tradisional. Pasar-pasar mewah milik perusahaan asing itu merupakan penghinaan terhadap semangat dan jiwa orang-orang Bali. Apakah kita tidak mampu berjualan di pasar? Apakah kita tidak mampu menjalankan usaha ritel? Mata air milik Pulau Bali dikemas oleh perusahaan asing dan dijual kembali kepada kita. Frekuensi radio kita dijual kepada perusahaan asing. Setiap pesan singkat yang Anda kirim dan setiap panggilan telepon yang anda buat, telah memperkaya mereka. Bank dan Perhubungan juga telah dikuasai mereka.