Dulu jika ada orang bertanya dewa yang berstana di dapur, jawabannya sudah pasti dewa Brahma atau dewa Agni. Karena rumah orang Bali jaman dulu masih tradisional. Ruang dapurnya sudah pasti terdapat tungku tradisional yang bahan bakarnya adalah kayu bakar. Nah, tungku tradisional itulah diyakini oleh masyrakat Bali jaman dulu sebagai stana dari dewa Brahma atau dewa Agni. Dapur kalau bahasa balinya adalah Paon, Jalikan, atau lebih halusnya disebut Pewaregan atau Perantenan. Dapur jaman dulu yang ada tungku tradisionalnya dianggap sakral oleh masayarakat Bali jaman dulu. Makanya jika ada bayi menangis tengah malam karena diganggu mahluk halus, orang tua pasti membawa bayinya ke ruang dapur lalu mencolek Mangsi yang melekat pada tungku tradisional kemudian dicolekkan ke kening bayi tersebut. Maka saat itu juga mahluk halus berhenti mengganggu bayi tersebut sehingga bayi tersebut berhenti menangis dan tidur dengan nyenyak. Selain tungku tradisional, bahan dasar atap dapur terbuat dari ilalang. Menurut mitologi Hindu di Bali, ilalang dipercaya sebagai penghilang kotoran secara metafisika. Kepercayaan ini ada hubungannya dengan cerita tentang ilalang yang kecipratan Tirta akibat dari Garuda yang saling rebutan Tirta. Makanya ilalang adalah satu satunya tumbuhan yang dianggap suci.
Selain itu, jika orang jaman dulu datang sehabis bepergian dan setelah kembali ke rumah, tempat yang paling awal dicari pasti ruang dapur. Kenapa demikian? Alasannya agar tidak Ketutugan atau tidak diikuti oleh mahluk halus. Artinya mahluk halus yang mengikuti dalam perjalanan berhasil dilenyapkan di ruang dapur. Itulah kepercayaan masyarakat Bali jaman dulu yang masih diwarisi sampai sekarang.
Dapur jaman dulu dipercaya bisa menghilangkan Leteh atau kotoran. Contohnya jika orang berkunjung ke rumah orang yang sedang berduka atau memiliki kematian, maka orang yang berkunjung kesana dianggap Cuntaka. Maka untuk menghilangkan Cuntaka tersebut, setelah pulang ke rumah, orang tersebut mengambil air lalu dilemparkan ke atap dapur dan tetesan airnya itulah yang dipakai untuk membersihkan diri. Dan sampai sekarang ada sebagian orang yang masih mewarisi kebiasaan tersebut. Itulah kesaktian dari dapur tradisional.
Makanya untuk menjaga kesucian dapur, orang Bali biasanya tidak mau mengganti kerusakan-kerusakan ruang dapur dengan barang-barang bekas. Contohnya pintu dapur tidak boleh diganti dengan pintu bekas kamar mandi. Atau atap dapur tidak boleh diganti dengan atap bekas dari tempat lain. Itulah cara-cara orang Bali menjaga kesucian dapurnya. Makanya orang Bali jaman dulu sebagian besar melakukan ritual Agnihotra di ruang dapur.
Orang Bali biasanya tetap membiarkan tungku tradisionalnya sebagai simbol dewa Brahma walaupun bentuk rumahnya sudah modern. Contoh lain adalah warga Pande walaupun tidak berprofesi sebagai tukang besi, namun mereka tetap membuat Stana dewa api sebagai simbol dari dewa Perapen atau dewa perapian.
Namun di kota-kota besar seperti Denpasar dan sekitarnya sudah jarang kita melihat rumah masyarakat Bali yang memiliki ruang dapur berisi tungku tradisional. Karena jaman sudah berubah, sudah modern dan sudah semakin canggih. Bentuk-bentuk rumah sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada istilah Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh maupun Bale Delod. Rumah jaman sekarang bentuknya sudah modern. Orang-orang di jaman sekarang memasak sudah memakai peralatan elektronik. Masihkah dewa Brahma berstana di ruang dapur? Masihkah ruang dapur modern memiliki kesaktian seperti ruang dapur jaman dulu?
{Tulisan ini pernah dimuat di majalah Raditya edisi Januari 2020}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar