Minggu, 27 September 2020

Kenapa Umat Hindu Di Bali Memuja Leluhur? Bag.1

Kenapa umat Hindu di Bali memuja leluhur? Kenapa harus memiliki
Pelinggih Kemulan? Dan kenapa tidak langsung memuja tuhan? Pertanyaan tersebut sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak
mengerti dengan tradisi Hindu di Bali. Jika kita belajar Hindu secara
kronologis dan komprehensif, maka kita akan tahu jawabannya. Di dalam
Reg Weda dijelaskan bhakti kepada leluhur menguatkan bhakti kepada
tuhan. Artinya seseorang tidak akan bisa mencapai tuhan tanpa restu
orang tua atau leluhur. Menurut saya memuja leluhur sama dengan memuja
tuhan beserta Ista Dewatanya. Bukan hanya Hindu di Bali saja yang
memiliki konsep memuja leluhur. Di India juga ada konsep memuja
leluhur seperti dalam cerita Ramayana. Prabu Dasarata diceritakan
sangat bhakti terhadap leluhurnya. 

Kita di Bali juga meyakini leluhur
dari para leluhur bila ditarik ke atas adalah tuhan itu sendiri
sehingga Sanggah Kemulan juga adalah simbol Tri Murti dan Tri Purusa.
Suatu bentuk implementasi Weda yang sangat luar biasa yang sudah
dikonsepkan oleh Mpu Kuturan bukan hanya sebatas kata-kata tetapi
diwujudkan ajaran Weda itu di Bali. Bila ada sekte tertentu mengatakan
agama Hindu di Bali tidak sesuai Weda, saya rasa mereka perlu belajar
dan mendalami agama Hindu yang ada di Bali. Sanggah Kemulan yang
dikenal dengan Rong Telu adalah stana dari Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Sedangkan di bawahnya terdapat ruang kosong tempat pemujaan para
leluhur yang telah dibuatkan upacara Ngaben. Hal ini dimaksud agar
umat Hindu di Bali tidak lupa bhakti pada tuhan dan para leluhurnya.

Lalu sejauh manakah kita melaksanakannya? Yang terpenting bhakti kita
pada leluhur adalah saat mereka masih hidup agar jangan disia-siakan.
Mohon dijadikan mereka raja di rumah sendiri. Dalam Lontar Loka Pala terdapat beberapa kutipan yang
menyebutkan tentang Pelinggih Kemulan yang berbunyi seperti berikut "
Seperti manusia yang sudah lupa dengan saya, sayalah yang menyebabkan
mereka ada. Saya tidak lain adalah Sanghyang Guru Reka yang mengadakan
seluruh isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang
Kawitan yang berwujud Sanghyang Umakala. Dan sayalah juga yang dipuja
sebagai Tri Murti. Ingatlah semuanya menjadi satu dalam Rong Tiga. Dan
sayalah yang mencipta, memelihara, dan melebur. 

Makna kutipan tersebut kira-kira seperti ini. Bila Sanggah Kemulan dikaitkan
dengan Tri Purusa maka yang berstana adalah Sanghyang Tri Purusa yaitu
Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Bila dikaitkan dengan Tri Murti maka
yang berstana adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bila dikaitkan dengan
leluhur, di kanan untuk leluhur laki, di kiri untuk leluhur perempuan
dan di tengah adalah Bhatara Guru. Terlepas leluhur kita telah
mencapai sorga atau bahkan telah berreinkarnasi, maka Sanggah Kemulan
itu adalah simbol dari penghormatan kepada leluhur. Sedangkan Bhatara
Guru dalam Mantra Guru Stawa adalah Tri Murti dan Guru Tri Loka. 



                                    

Minggu, 20 September 2020

Kenapa Wanita Haid Dilarang Ke Pura?

 

Dalam tulisan yang dimuat di harian Nusabali tertanggal 13 Sepetember 2020 dijelaskan bahwa perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang dalam fase Cuntaka atau Sebel. Di beberapa tempat di Bali menghaluskan arti menstruasi dengan istilah kotor kain. Dalam tradisi Hindu di Bali secara sederhana Sebel dianggap sebagai kotor secara Niskala. Maka dari itu, wanita yang sedeng Sebel tidak dianjurkan ke pura bahkan ada yang dilarang melakukan aktifitas yang berkaitan dengan yadnya. Yadnya dimaksud dimulai dari yadnya Ayah-Ayahan Karya setingkat Ngenteg Linggih, mempersiapkan atau Nanding Banten hingga membuat Banten Saiban sehari-hari. Di beberapa tempat di Bali, Kekeran atau batasan waktu pemberlakuan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi biasanya antara 3-7 hari.
             Sebagai tanda berakhirnya Cuntaka ditandai dengan Melukat atau keramas. Selain Cuntaka karena menstruasi, ada juga Cuntaka karena melahirkan. Pada jaman dahulu, Cuntaka karena melahirkan selain dilarang Mebanten juga tidak boleh masuk ke dapur. Alasannya karena dapur dipandang sebagai tempat suci. Dimana api diyakini sebagai dewa Brahma. Batas waktu tidak boleh ke dapur selama 42 hari. Kenapa wanita usai melahirkan dilarang masuk ke dapur? Karena makna Sebel bukan hanya merujuk kondisi lahiriah. Tetapi juga keadaan bhatin dan kejiwaan seseorang. Misalnya perempuan usai melahirkan secara fisik tentu masih lemah. Oleh sebab itu, mengapa pada jaman dahulu perempuan yang sedang menstruasi atau usai melahirkan dilarang ke dapur? Karena masih lemah untuk mengambil pekerjaan di dapur yang tidak ringan tentunya.
         Kenapa wanita saat menstruasi dilarang Nanding Banten? Karena Banten tidak saja berarti material persembahan rasa sujud bhakti kepada tuhan. Namun sebagaimana lumrah dipahami untuk Hindu Bali, Banten sebagai simbol dewa dan dewi. Dan Nanding Banten itu sama dengan menstanakan dewa. Karena itu dengan logika sederhana tentu kurang pas jika sesuatu yang dipandang suci dibuat oleh mereka yang sedang Sebel.