Senin, 13 November 2023

Sarana Yang Ada Hubungannya Dengan Ngaben.

Bale Salu atau Bale Jenazah.

Kenapa harus ada Bale Salu? Dan apa fungsi dari Bale Salu? Menurut mitologi Hindu di Bali, Bale Salu berfungsi sebagai pemberi penghargaan kepada orang yang meninggal yakni sebagai tempat tidurnya Sawa atau mayat. Bale Salu juga berfungsi sebagai simbolis Garba atau kandungan karena Sawa ditempatkan pada Bale Salu disimbolkan memasuki kandungan atau alam Garba. Berdasarkan sarana yang digunakan fungsi Bale Salu secara nyata dapat dijelaskan memiliki fungsi tersendiri. Kau-Kau atau tempurung kelapa yang dipasang di bawah Sasaka berfungsi sebagai wadah Banyeh. Upih berfungsi sebagai abangan atau alat untuk mengalirkan Banyeh ke tempayan. Tempayan atau Cobek juga berfungsi sebagai wadah Banyeh. Pelengkungan berfungsi sebagai penutup Sawa. Makna spiritual yang tercermin pada Bale Salu menggambarkan harapan keluarga yang memiliki Sawa dengan perbuatan semasa hidupnya yang senantiasa menjunjung kebenaran. Upih bermakna bahwa semua ciptaan tuhan pada akhirnya kembali ke sumbernya.. Penggunaan kayu Dapdap bermakna kehidupan abadi yang artinya roh orang yang meninggal tidak ikut mati tetapi hidup abadi. Menjelang akan digunakan sebagai tempat Sawa, Bale Salu biasanya ditaruh di Sakenem selanjutnya dipersiapkan Banten Pemelaspas Bale Salu. Adapun Banten yang diperlukan untuk Melaspas Bale Salu adalah Bakang-Bakang, Beras Nyanyah, Pejati Asoroh, Suci, dan Segehan. Proses Melaspas Bale Salu biasanya dilaksanakan oleh Mangku Dalem dan tidak menutup kemungkinan diplaspas oleh Sulinggih yang akan Muput upacara tersebut. Tetepi jaman semakin modern, sekarang jarang menjumpai Bale Salu. Karena Bale Salu telah diganti dengan frezer atau mesin pendingin.

Kajang

Kajang adalah Angkeb atau penutup dalam upacara Ngaben yang memiliki makna simbolis dari lapisan yang membungkus sang Atman sebagai Tri Sarira. Kajang tersebut seperti layaknya kartu identitas dengan tujuan agar menghantar Atman atau roh manusia kepada leluhurnya. Kajang biasanya ditulis atau dilukis oleh Pinandita, Sang Sadhaka, atau Brahmana.
Kajang ada dua diantaranya Kajang Dari dan Kajang Kawitan yang masing masing terdapat aksara Ong didalamnya. Kajang Sari sifatnya umum misalnya toris atau bule masuk hindu lalu pada saat meninggal dibuatkan upacara Ngaben, dia tidak punya Soroh maka yang dipakai adalah Kajang Sari. Bukan Kajang Kawitan. Itulah hebatnya hindu yang sangst Fleksible dan Universal.
 
Ubes-Ubes.

Setiap ada pelaksanaan upacara Ngaben, seringkali saya lihat ada salah satu anggota keluarga mereka disuruh membawa Ubes-Ubes oleh Sulinggih yang akan Muput upacara tersebut. Apa itu Ubes-Ubes? Ubes-Ubes adalah tongkat yang berisikan mahkota Manuk Dewata atau burung Cendrawasih. Kenapa saat melaksanakan upacara Ngaben diwajibkan menggunakan sarana upakara seperti Manuk Dewata atau burung Cendrawasih? Karena menurut mitologi Hindu di Bali, Manuk Dewata merupakan simbol wahana yang mengantarkan roh menuju alam Swah Loka atau alam sorga agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Manuk Dewata dalam upacara Ngaben juga sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing. Apa sebenarnya tujuan umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Ngaben? Pada hakikatnya, upacara Ngaben digelar bertujuan untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahbhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang telah meninggal. Sehingga nantinya setelah dibuatkan upacara Ngaben, roh tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan. Upacara Ngaben juga merupakan proses pensucian roh saat meninggalkan badan kasar.

Tirta Pangentas.

Tirta Pangentas adalah air suci yang sangat penting dalam upacara Ngaben. Pasalnya Tirta Pangentas menduduki posisi yang sangat menentukan perjalanan roh ke alam baka. Itu pula sebabnya, dalam pembuatan Tirta Pangentas hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah berstatus Dwijati atau Mapulang Lingga" Seperti yang dipaparkan dalam buku yang berjudul fungsi Tirta Pangentas dalam upacara Ngaben yang disusun oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti yang diterbitkan oleh Pustaka Balipost.

Naga Banda

Apakah semua orang Hindu di Bali jika mayatnya dikremasi menggunakan Naga Banda? Menurut Prof.Dr.Tjokorda.Rai.Sudarta pengasuh rubrik konsultasi Tatwa di majalah Sarad menjelaskan bahwa yang berhak memakai Nagabanda saat melakukan upacara Ngaben adalah keturunan Dalem Waturenggong atau keturunan raja Gelgel Klungkung. Apa itu Nagabanda? Nagabanda adalah simbol kendaraan raja untuk mengikat jiwa untuk nanti diantar ke alam baka. Tradisi memanah Nagabanda adalah warisan dari Danghyang Astapaka salah satu pendeta Majapahit yang datang ke Bali saat masa keemasan raja Dalem Waturenggong yang bertahta di Gelgel pada abad ke 15 atau pasaca runtuhnya Majapahit.
                     
Sementara penulis buku agama Hindu, almarhum Igusti Ketut Kaler lebih merinci lagi bahwa mereka yang berhak selain keluarga raja Gelgel Klungkung, yang berhak menggunakan Nagabanda adalah keluarga yang mendapat anugrah khusus dari raja Gelgel Klungkung serta Pedanda Bhudda. Jika ditilik dari istilahnya, Nagabanda mengandung arti sebagai pengikat atau pembelengu.
              
Sedangkan dalam buku Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar? Kaler menyebutkan Nagabanda sebagai simbolis mendiang raja yang memiliki ikatan erat dengan masyarakat, mempunyai pertalian yang intim dengan masalah duniawi dan material. Sementara Inyoman Singgih Wikarman mengungkapkan Nagababda sebagai lambang keinginan. Makanya mengendalikan keinginan tersebut disimbolkan dengan ritus memanah Nagabanda yang dilakukan seorang Sulinggih.



Melukat.

Ritual Melukat adalah sebuah upacara pembersihan jiwa dan pikiran manusia secara spiritual. Sebenarnya Melukat berasal dari kata sulukat yang terdiri dari kata Su dan Lukat. Su sendiri artinya baik, sedangkan lukat artinya pensucian. Makna ritual yang sudah menjadi tradisi ini berguna untuk menghilangkan dan membersihkan pikiran kotor, kejenuhan, hingga pengaruh ilmu hitam yang mungkin dialami.  Jadi orang yang menjalani ritual Melukat bisa memiliki kehidupan yang nyaman, tentram, tenang, dan bahagia, serta damai. Tujuan inilah yang membuat banyak orang percaya jika Melukat bermanfaat untuk kesehatan mental orang yang melakukannya.

Sebagai umat Hindu di Bali atau di nusantara, Melukat sangat diwajibkan karena Melukat bagian dari Sradha Bhakti. Memohon keselamatan lahir dan bhatin, agar dijauhkan dari marabahaya, dijauhkan dari sifat iri serta Ngelinggihang Taksu Ring Angga Sarira. Umat Hindu sudah mulai sadar Mewinten Sari atau Saraswati sudah menjadi lumrah. Untuk memohon tuntunan serta memperdalam ajaran sastra dan tatwa agama. Juga secara spiritual mempermudah merafal Puja Mantra Astungkara. Kita sebagai umat Hindu selalu Eling kepada leluhur dan Bhatara Kawitan sebagai mediator untuk menyatukan sembah bakti kepada tuhan.
      
Mengenai Melukat, Sepanjang mereka meyakini bahwa ritual Melukat dapat memberi kebersihan lahir maupun bhatin, maka kita harus mendukung kegiatan mereka. Meskipun dalam Wana Parwa 12-131-108 dijelaskan bahwa bukan karena keturunan, upacara, dan kepintaran seseorang menjadi suci. Tapi dengan prilaku yang sucilah seseorang akan menjadi suci. Namun bagi saya ritual Melukat sah-sah saja. Karena dalam buku Upacara Melukat dijelaskan bahwa Melukat merupakan bagian dari pelaksanaan upacara Manusa Yadnya yang memiliki tujuan untuk membersihkan dan menyucikan pribadi secara lahir dan bhatin. Yang dibersihkan ialah hal negatif dan malapetaka yang diperoleh dari dosa-dosa baik berasal dari sisa perbuatan terdahulu maupun dari hidup saat ini.
       
Dalam pustaka suci Manawa Dharmasastra bab 5 sloka 109 dinyatakan bahwa tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan pengendalian diri, serta akal dibersihkan dengan kebijaksanaan. Apabila makna dan arti sloka tuntunan tersebut dihayati secara mendalam, maka Melukat menggunakan sarana air untuk pembersihan tubuh secara lahiriah. Sedangkan sarana untuk penyucian menggunakan tirta Penglukatan yang mana telah dimohonkan ke hadapan Hyang Widhi oleh pemimpin upacara melalui doa puja dan mantram dengan diikuti oleh orang yang akan Melukat.
               
Sementara dalam buku Meditasi pernafasan Giri Bhuana dijelaskan bahwa ada beberapa tempat atau sarana yang dapat digunakan media Melukat yaitu di pantai, air Kelebutan atau sumber mata air, di sungai, di Griya atau orang suci, dan Melukat dengan air Klungah. Pantai merupakan tempat yang diyakini sangat ampuh dalam melakukan terapi air atau Melukat. Karena pantai merupakan tempat bersatunya semua mata air seperti sungai, Klebutan, air hujan, dan lain-lain. air sungai atau Klebutan juga merupakan sarana daam penyembuhan atau Melukat. Bagi masyarakat yang tidak begitu dekat dengan dunia kebatinan, banyak tempat yang dapat dijumpai di Bali. Contohnya pura Tirta Empul yang berada di desa Tampak Siring Gianyar. Menurut Lontar Usana Bali, pura Tirta Empul dibangun pada tahun 884 Isaka atau sekitar 962 Masehi oleh raja Singa Warmadewa. Ada sekitar 33 pancoran yang terdapat didalamnya dan memiliki khasiat yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Masih banyak tempat lagi yang dapat dijumpai seperti di Besakih dekat pura Pengubengan juga terdapat mata air yang memiliki vibrasi yang sungguh luar biasa. 
       
Air Kelungah juga merupakan salah satu sarana dalam penyembuhan altrenatif karena dipercaya sebagai penawar racun dalam tubuh. Air Klungah Nyuh Gading juga digunakan sebagai sarana penglukatan. Melukat pada orang suci atau di Griya biasanya dilakukan dengan Dewasa Ayu atau hari baik dan sesuai Pawetonan atau hari kelahiran. Penglukatan yang dilakukan oleh guru suci biasanya dengan mentransfer tenaga dalam, mantra dan kekuatan alam disertai berbagai jenis air seperti air laut, sungai, Klebutan, maupun Bungkak Nyuh Gading. 
         
Ajaran Hindu itu sangat menarik. Apa sebenarnya yang menarik dari ajaran Hindu? Jawabannya adalah kebebasan berpikir. Mengapa Hindu memberikan kebebasan berpikir? Jawabannya adalah karena kecerdasan umat Hindu dari nol sampai tidak terhingga, maka standar kebenaran Hindu adalah bersifat bertingkat sesuai dengan tingkat kecerdasan umat masing-masing. Ketika pemahaman kita baru pada tingkatan yang rendah, maka kita akan menganggap hal itu benar. Tetapi apabila kita memahami yang lebih tinggi maka hal itu bukan lagi kebenaran bagi kita. Lakukan proses pencarian kebenaran dan terbukalah dengan ilmu pengetahuan. Biarlah kita menjadi layak untuk mengetahui kebenaran. Jadi dalam Hindu anda dapat berdebat mengenai subyek apapun dan kamu tidak harus menerima apapun sampai kamu sepenuhnya yakin akan kebenaran di balik itu. Sekali lagi, agama Hindu tidak memonopoli ide-ide. Karena ide-ide adalah hukum tak tertulis dari alam semesta. Mereka terbuka kepada semua orang yang mencari kebenaran tanpa kenal lelah.

Rabu, 08 November 2023

Kenapa Tuhan Tidak Pernah Menampakkan Kepribadiannya?

Sebenarnya sudah tidak terhitung lagi bahwa tuhan itu telah berkali kali menampakkan kepribadiannya pada kita. Bahkan setiap detik beliau selalu menampakkan kepribadiannya di sekitar kita. Apakah anda tidak percaya? Tapi sebelumnya Kalau ingin melihat Tuhan, semestinya jawab dulu pertanyaan berikut ini. pertanyaannya adalah sudah kita punya mata hati untuk meliat Tuhan? Dan sejauh mana mata hati kita mampu melihatnya? Contohnya ketika kita berada di suatu tempat misalnya di malam hari tanpa bulan dan langit. Atau di kamar misalnya yang ada  pencahayaannya yang cukup bahkan sangat terang, tentu semua nampak jelas terlihat. Ya, kan? Tetapi ketika sinar yang ada  tersebut tiba tiba padam, bagaimana?Tangan sendiri pun tidak akan  terlihat. Tetapi hanya dapat dirasakan dalam gelap seperti misalnya saya punya tangan dan lain sebagainya. Selebihnya tidak akan tampak apa apa. Tangan, teman, barang barang dan apapun  yang ada di sekitar kita tiba tiba gelap. Nah, mampukah mata hati kita saat ini untuk melihat kepribadiannya?

Tuhan yang Maha Esa adalah Sumber Segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Pemurah, Maha Adil, dan Maha Pencipta. Waktu, Perubahan, Hukum Alam dan Hukum Karma, semuanya di bawah KendaliNya.  Namun Bila Itu Menyangkut Kebiasaan, Sikap dan Karakter Setiap Insan, Semua Itu Kuasa dan Kewenangan dari Insan yang Bersangkutan. Dengan KemahakuasaanNya, Tuhan yang Maha Kuasa Hal Itu adalah Kecil.  Lalu Mengapa Beliau Tak Berkenan Turun Tangan ?  Karena Tuhan yang Maha Esa Telah Menbekali Manusia dengan  Kecerdasan Akal Budi (Wiweka), Bayu (Tenaga), Sabda (Suara) dan Idep (Pikiran). 

Dengan Hal Itu Manusia Mesti Berusaha Sendiri untuk Mengubah Kebiasaan Buruknya Menjadi Kebiasaan yang Lebih Baik. Mengubah Sikap dan Karakter Buruk, Tidak Sopan, Angkuh, Sombong, Arogan,  Plinplan, dan lain lain, agar Menjadi Lebih Baik, Santun, Rendah Hati, Welas Asih, dan Teguh pada Pendiriannya. Tuhan yang Maha Esa tidak seperti manusia. Sedangkan sifat manusia adalah tidak tetap pada Pendiriannya, Suka Menentang Suara Hatinya, Suka Melanggar Janji atau Sumpah, tidak Satya Wacana, Suka Menipu dan Berbohong, Suka Lalai Pada Tugas dan Tanggung  Jawabnya. Manusia Suka Mengubah Keputusannya Demi Kepentingan Pribadi, Keluarga, Golongan atau Kelompoknya. Meskipun Itu Merugikan Kepentingan Orang Banyak. 

Dalam bahasa Sanskerta, kata Iswara berarti Tuhan. Namun personalitas yang tertinggi disebut Parameswara atau Iswara tertinggi. Personalitas yang tertinggi atau Parameswara adalah personalitas yang berkesadaran tertinggi dan oleh karena energinya tidak berasal dari sumber lain manapun. Maka dia benar benar independen alias bebas berdikari.
Pengertian tentang Tuhan dan pengertian tentang Kebenaran Mutlak tidak berada pada level yang sama. Srimad Bhagavatam menargetkan Kebenaran Mutlak sebagai tujuan. Pengertian tentang Tuhan menunjukkan Pengendali, sedangkan pengertian tentang Kebenaran Mutlak menunjukkan Sumber Tertinggi Segala Energi. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai Aspek Personal Tuhan Yang sebagai Pengendali, sebab sosok Pengendali tidak mungkin tanpa-personal.
Pemerintahan modern tentu bersifat tanpa-personal sampai taraf tertentu, khususnya pemerintahan yang menganut paham demokrasi, namun pada puncaknya Kepala Pemerintahannya adalah satu Personal atau Sosok Pribadi, dan aspek tanpa-personal pemerintahan itu berada di bawah aspek personalnya. 

Jadi tidak disangkal lagi bahwa jika kita mengacu  pada pengendalian atas pihak lain maka kita harus mengakui keberadaan aspek personal. Oleh karena terdapat berbagai Pengendali untuk pos-pos Pengaturan yang berbeda-beda, maka ada banyak pengendali kecil. Menurut Bhagavad Gita, setiap Pengendali yang memiliki kekuatan khusus tertentu disebut vibhutimat-sattva, atau pengendali yang dikuasakan oleh Tuhan. Ada banyak vibhutimat-sattva, pengendali-pengendali atau para Dewa dengan berbagai kekuatan khusus, namun Kebenaran Mutlak adalah esa tiada duanya. Srimad-Bhagavatam menyebut Kebenaran Mutlak itu sebagai param satyam. Penyusun Srimad-Bhagavatam Srila Vyasadeva pertama-tama bersujud dengan segala hormat kepada param satyam atau Kebenaran Mutlak, dan oleh karena param satyam adalah Sumber Tertinggi Seluruh Energi, maka param satyam adalah Personalitas Yang Tertinggi.

Para Dewa atau Para pengendali tidak diragukan lagi merupakan personal-personal, namun "param satyam" ; sumber energi mereka, adalah Personalitas Yang Tertinggi. Di dalam kitab Suci Veda, Brahma diuraikan sebagai Dewa yang tertinggi atau pemimpin semua Dewa lainnya seperti Indra, Candra dan Varuna, tetapi Srimad-Bhagavatam menegaskan bahwa Brahma pun tidak independen sejauh menyangkut energi dan pengetahuannya. Brahma mendapat pengetahuan dalam bentuk Veda dari Personalitas Yang Tertinggi yang Bersemayam di hati setiap makhluk hidup. Personalitas Yang Tertinggi tersebut mengetahui segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Personalitas Yang Sempurna disapa dalam Srimad Bhagavatam sebagai Vasudeva, atau dia yang berada dimana-mana, berada dalam pengetahuan yang sepenuhnya dan dalam Kepemilikan Sepenuhnya atas energi-nya yang lengkap.