Rabu, 24 Mei 2023

Bagaimana Jika Di Bali Tidak Ada Merajan, Banjar, Dan Pura?

Secara keseluruhan jika kita amati pelaksanaan ajaran Hindu di Bali lebih banyak berorientasi pada persatuan dan kebersamaan atau Wasudewa Kutumbakam. Sistem Banjar dengan moto Sagilik Saguluk Paras Paros Sarpanaya secara konsep merupakan sebuah sistem untuk menjaga harmonisasi antar manusia. Dalam sistem ini semua anggota Banjar saling melakukan Sewanam atau pelayanan satu sama lain. Dan sistem kebersamaan ini terpusat di kahyangan tiga dimana semua masyarakat dalam satu desa atau Banjar saling bertemu dan Mesimakrama memusatkan cipta mereka pada yang satu yaitu Tri Murti atau Brahman sendiri. Kahyangan Tiga merupakan benteng persatuan antara umat Hindu dalam satu desa. Sedangkan Merajan merupakan benteng persatuan antara anggota keluarga. Hal ini mewakili peran manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Dengan adanya sistem ini semua anggota keluarga akan selalu merasa wajib untuk pulang dan bertemu serta bersimakrama dengan anggota keluarganya. Untuk mereka yang ada di rantau justru tradisi ini yang menjadikan alasan utama bagi mereka untuk pulang kampung. Bagaimana jika di Bali tidak ada Merajan? Mungkin semua orang Bali akan berlomba-lomba menjual warisan tanah Bali mengingat harga tanah di Bali sangat tinggi. Banyak suku-suku yang ada bila sudah merantau apalagi sudah sukses maka ia enggan pulang kampung karena prinsipnya dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung artinya hidup dan matinya ada di tempat baru.
         
Bagaimana jika di Bali tidak ada pura atau Banjar? Mungkin Bali sudah dipenuhi oleh pendatang dan orang Bali akan termarginalkan. Namun demikian keindahan ajaran Hindu Bali ini pun masih bisa ditembus dengan gampang jika orang Bali tetap melupakan satu hal bahwa sebagai sebuah individu-individu mereka juga harus mengisi diri ke dalam. Mengisi diri dengan pengetahuan sehingga bisa melaksanakan ajaran leluhur dengan tepat dan benar. Persatuan tetap tidak akan terbina jika di dalam tidak diisi dengan ajaran kasih sayang. Persatuan tidak akan bisa terjalin jika saling pengertian dan pemahaman terhadap makna dan tujuan dari leluhur diabaikan. Oleh sebab itu keindahan ajaran Hindu Bali hanya perlu sedikit polesan agar menjadi cemerlang. Tidak perlu diganti dengan ajaran lain karena Hindu Bali sudah sangat Vedic jika kita mau memahami keindahan ajaran yang terimplementasi dalam sebuah tradisi. 

Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tidak ada skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu. Dalam tubuh agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi bahkan pada agama lain tidak untuk diperkirakan. Karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja tuhan yang sama dengan nama yang berbeda. Entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan. Dalam kitab Reg Wda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut "Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti yang artinya hanya ada satu kebenaran tetapi para cendekiawan menyebutnya dengan banyak nama. Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu kebenaran yang sama sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak mempersoalkan agama. Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar umat beragama dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan. Memurut tokoh spiritual Hindu Swami Wiwekananda, Setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain namun juga merangkulnya dengan pikiran yang baik dan kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.
       
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain namun juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan kebenaran beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu. Sebuah sloka dalam Bhagawadgita 4-11 sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut "Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada ku, aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna. Dalam parlemen agama-agama dunia pada tahun 1893 di Chicago, Wiwekananda juga mengutip suatu sloka yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda dalam memuja tuhan sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.

Benarkah Upacara Keagamaan Hindu Di Bali Menyebabkan Kemiskinan? Bag.3

Hindu itu tidak pernah memaksakan umatnya harus begini atau begitu. Harus seperti Hindu di India atau harus seperti Hindu di Bali. Karena Jalan manapun yang kita tempuh, boleh-boleh saja asalkan keyakinan yang kita tempuh didasari dengan hati yang ikhlas. Hindu di Bali bukannya anti terhadap perubahan. Justru Hindu di Bali suka terhadap perubahan karena perubahan itu memiliki andil yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Contohnya tradisi di Bali ada yang harus direvisi dan ada yang harus dipertahankan. Jika direvisi mengarah ke hal-hal yang lebih baik, kenapa tidak? Bukankah kesadaran harus diseimbangkan dengan tradisi karena tradisi adalah bagian dari harmonisasi alam. 

Seperti halnya air laut dan rasa asin yang tak bisa dipisahkan. Tradisi Bali sudah banyak berkontribusi pada alam Bali dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Coba bayangkan, jika Bali tanpa tradisi, kita mau makan apa? Karena Bali tidak punya tambang emas dan kilang minyak. Tetapi kekuatan Bali hanya ada pada tradisi dan budayanya. Kita sudah seharusnya bersyukur pada alam dan tradisi karena telah memberikan penghidupan kepada kita. Jika tradisi tidak ada, mustahil wisatawan mau datang ke Bali. Dengan adanya tradisi dan ritual Bebantenan, ekonomi di Bali menjadi merata. Contohnya pedagang buah, pedagang janur, dan tukang Banten ikut kecipratan rejeki. 

Apakah dengan adanya tradisi dan ritual di Bali, yang menikmati keuntungan seratus persen adalah masyarakat lokal Bali? Jawabannya adalah hampir. Karena selama ini yang saya lihat fakta di lapangan, pedagang buah dan janur 75 persen adalah dari masyarakat lokal walaupun janur dan buahnya didatangkan dari luar Bali. 

Setiap upacara yang dilakukan oleh umat Hindu harus didasari oleh empat hal.
Yang pertama adalah Wruh Ring Weda yang artinya pandai dengan ajaran suci atau ketika umat Hindu melakukan suatu upacara harus sesuai dengan sastra suci Weda. Kedua adalah Bhakti Ring Dewa artinya memuja Tuhan yaitu pada saat umat Hindu melaksanakan suatu upacara harus didasari dengan rasa bhakti dan tulus dari dalam hati. Bukan melaksanakan suatu upacara karena rasa takut umat kepada Tuhan. Ketiga -- Tar Malupeng Pitra Puja, artinya bhakti dan memuja leluhur atas jasa-jasa beliau. Selain umat Hindu bhakti kepada Tuhan juga harus ingat selalu berbakti kepada leluhur. 

Pasalnya karena beliau, kita bisa lahir dan hidup kedunia ini. Yang terakhir atau yang keempat, Masih Ring Swagatrakabeh, artinya cinta kasih terhadap sesama, yaitu ketika melakukan suatu upacara haruslah didasari dengan cinta kasih, baik dengan sesama, tumbuhan, dan juga hewan. Sehingga di dalam ajaran agama Hindu kita mengenal Tumpek Uduh dan Tumpek Kandang. Upacara ini merupakan Implementasi dari rasa cinta kasih umat yang tidak hanya kepada sesama umat manusia. Namun juga terhadap tumbuhan dan hewan. Karena bila dalam hidup ini kita bisa melandasi hidup dengan Cinta Kasih, maka hidup kita akan harmonis dan damai.

Hindu walaupun dari segi penampilan kelihatan kolot karena sembahyang memakai Canang atau Bebantenan, bahkan para wanita memakai kain Kebaya setiap sembahyang ke pura, tapi pola pikir agama Hindu sangat modern. Ini diakui oleh tokoh-tokoh intelektual dunia yang beragama Kristen memuji agama Hindu seperti yang tertulis dalam buku yang berjudul penghargaan kepada Hindu terbitan Media Hindu. Mereka justru setelah banyak membaca filsafat atau Tatwa agama Hindu, justru mereka kembali menjadi orang tradisional. Dan saya juga semakin percaya dengan konsep-konsep agama versi Bali. Karena saya melihat bahwa Upakara-Upakara tersebut merupakan aplikasi dari Tatwa Hindu. 
        
Watak Hindu dimana saja selalu bisa menerima konsep keyakinan apa saja. Mungkin ini pengaruh dari ajaran Bhagawadgita yang berbunyi jalan manapun yang kau tempuh, aku akan menerimanya. Memang benar upacara terkadang seperti pemborosan uang bagi yang tidak tahu pada hakikat upacara. Tapi jika kita sebagai penekun ajaran spiritual, tentunya tidak boleh mengkritik kelompok lain dengan cara yang sangat ekstrim. Seharusnya kita bisa menjadi teladan untuk kelompok lain.
         

Selasa, 23 Mei 2023

Membentengi Diri Di Hari Pagerwesi.Bag.2

Setiap 310 hari sekali tepatnya Hari Budha Kliwon Sinta, umat Hindu memperingati hari Raya Pagerwesi. Masyarakat Bali pun menyambut perayaan ini dengan sangat meriah. Pada hari raya ini kita memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai SangHyang Pramesti Guru. Pada Hari Raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan diri kepada Brahman sebagai guru sejati. Kehidupan yang tidak terpagari akan mudah terperosok ke hal yang tidak baik. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar tidak mendapatkan gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut Magehang Awak. 

Seperti yang kita lihat di masyarakat belakangan ini, banyak sekali wanita wanita yang begitu mudahnya terperangkap oleh sifat sifat raksasa sehingga menyebabkan mudahnya mereka untuk menjual tubuhnya kepada orang lain demi memperoleh materi. Selain itu, Gampangnya jiwa marah yamg menyebabkan konflik ada dimana-mana dan sebagainya. Jadi sudah semestinya umat manusia memuja SangHyang Pramesti Guru untuk melebur segala yang buruk dan memagari diri dari hal-hal negatif.

Setelah memuja sumber dari ilmu pengetahuan "Sanghyang Aji Saraswati"
Lanjut ke Buda Klion Sinta, memuja Sang Maha Guru Semesta yakni Sanghyang Pramesti Guru. Disebut pula Bhatara Guru, Sanghyang Manikmaya, Sanghyang Otipati, Sanghyang Catur Bujha, Sanghyang Nilakanta, Sanghyang Trinetra, Sanghyang Jagatnata, Sanghyang Giripati. Semua julukan itu mengarah kepada sebutan populer yakni Sanghyang Siwa berwahanakan Lembu Putih. Penguasa ketiga dunia, Arcapada, Madyapada, dan Mayapada atau Bhur,Bhuah,Swah. Kepada Sanghyang Adhi Guru memohon kekuatan, peneguhan, pengukuhan keyakinan, pikiran dan jiwa raga menuju Pagerwesi. Berbenteng ilmu pengetahuan, berpagar keyakinan, menuju kebijaksanaan, dalam kemuliaan Sanghyang Pramesti Guru.


Senin, 22 Mei 2023

Benarkah Weda Hanya Boleh Diketahui Orang Orang Suci? Bag.3

Weda lain yang harus dipelajari adalah Bhagawdgita. Satu-satunya jalan untuk mengenal dan memahami Bhagwadgita hanyalah dengan membaca secara berulang-ulang. Masukkan dan simpan setiap slokanya dalam pikiran supaya sloka itu menjadi goresan yang tidak dapat terhapus dalam ingatan. Penyusun kitab Bhagawadgita Vasant.G.Rele mengumpamakan Bhagawadgita itu seperti cermin yang sedemikian terangnya sehingga setiap orang dari golongan apa saja dapat berkaca. Makna Bhagawadgita adalah nyanyian tuhan atau lebih tegasnya disebut pujian Bhagawan atau Khrisna yang dianggap menjadi penjelmaan tuhan. Dr.Kw.Boisevain dalam karangannya menyatakan bahwa kitab Bhagawadgita sejajar dengan bagian-bagian Upanisad. Kitab Bhagawadgita dikenal di kalangan bangsa Eropa pada mulanya atas usaha Warren Hastings, gubernur jenderal Inggris di India yang menganjurkan para pegawainya meyakinkan bahasa dan alam pikiran bangsa Hindu. Semenjak itu, orang-orang berilmu bangsa Eropa dan Amerika membuat komentar dan tafsiran terhadap Bhagawadgita. Menurut perkiraan Rama Prasad, kitab Bhgawadgita mulai ada pada kira-kira tahun 3137. Bhagawadgita terdiri dari 700 Sloka sehingga berjumlah 1400 baris Sloka. Juga terdapat 18 percakapan antara Arjuna dengan Khrisna.
     
Manfaat membaca kitab Bhagawadgita adalah bisa mencerdaskan setiap insan yang membacanya, membangun karakter menuju revolusi mental di era global. Bhagawadgita mampu memberi solusi di setiap jaman seperti bisa membuat hidup tenang, damai, sejahtera dan sentosa. Karena kitab Bhagawadgita begitu universal dan ajarannya sangat dalam, penuh makna spiritual, filosofi, moralitas, maka ajaran yang terkandung dalam Bhagawadgita patut diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bhagawadgita penuh dengan mutiara rohani sebagai tuntunan dan landasan baik dalam berpikir, berkata, dan berlaksana. Membaca Bhagawadgita setiap hari bisa membuat hati tersucikan dari rekasi karma, pikiran, kata-kata dan laksana disucikan oleh pancaran cahaya suci Bhagawadgita. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Wisnu Purana 3-6 ' Dosa-dosa betapapun berat dan menjijikkan, tidak akan pernah menodai dia yang senantiasa memusatkan pikiran kepada Bhagawadgita. Bagaikan daun bunga Padma tidak basah oleh air sekalipun ia tumbuh di tengah kolam. Dimanapun kitab suci Bhagawadgita dipelajari, segala tempat perziarahan suci seperti Prayag akan ada disana. Semua dewa, rsi, yogi, naga surgawi, para Gopa-Gopi, Narada, Udawa, dan segenap rekan mereka pastilah akan datang untuk berdiam di tempat itu.
           
Orang yang suka membaca Bhagawadgita sama dengan sembahyang menyembah dan memuja tuhan seperti yang tertuang dalam Bg 18.70 " Dia yang selalu membaca percakapan suci ini, aku anggap dia menyembahku dalam wujud Jnana Yadnya. Walaupun hanya mendengar alunan suci ini, ia juga akan terbebaskan, mencapai dunia kebahagiaan dan akan mencapai kebajikan dalam berprilaku atau berkarma. Bg 18.71 dengan membaca Bhagawadgita, keraguan dalam berbuat menjadi hilang, kekacauan pikiran menjadi musnah, ingatan akan tanggungjawab menjadi pulih. Seperti yang dinyatakan oleh Arjuna dalam Bg 18.73 "Kekacauan pikiranku telah musnah, ingatanku telah pulih kembali karena rahmatmu aku berdiri tegak, keraguanku telah lenyap dan aku akan bertindak sesuai dengan perintahmu. Bg 4.33 " Persembahan suci yadnya melalui pengetahuan suci adalah lebih baik daripada persembahan suci lainnya. Karena Jnana Yadnya akan menyelamatkan jiwa seseorang dan bersifat pasti. Secara bersama-sama menumbuhkan dan mewarisi tradisi membaca kitab suci yang akan menyelamatkan generasi muda Hindu dalam pergaulan Kaliyuga ini. 

Benarkah Weda Hanya Boleh Diketahui Orang Orang Suci? Bag.2

Awalnya Veda adalah satu. Tetapi Srīla Wyasadewa membagi Weda asli menjadi empat, yaitu Sāma, Yajur, Ṛeg dan Atharwa. Dan kemudian dijelaskan lagi dalam cabang yang berbeda seperti  Purāṇa  dan  Mahābhārata. Bahasa Veda dan materi pelajarannya sangat sulit bagi orang biasa. Veda dipahami oleh para brāhmaṇa yang sangat cerdas dan sadar akan sang diri. Tetapi zaman Kali sekarang ini penuh dengan orang-orang bodoh. Srīla Vyāsadeva membagi  Veda  menjadi berbagai cabang dan sub-cabang untuk kepentingan kelas yang kurang cerdas.Dalam kitab bhagavata purana 1.3.21 disebutkan "Setelah itu, dalam inkarnasi ketujuh belas Tuhan Yang Maha Esa, Śrī Vyāsadeva muncul di rahim Satyavatī melalui  Parāśara Muni, dan ia membagi satu Veda  menjadi beberapa cabang dan sub-cabang, melihat bahwa orang-orang pada umumnya kurang cerdas."Selanjutnya dalam bhagavata purana 1.4.20 "Empat pembagian sumber pengetahuan Weda dibuat secara terpisah. Tetapi fakta sejarah (itihāsa) dan cerita otentik yang disebutkan dalam Purāṇa disebut Veda kelima atau pañcamo veda

Kenapa Weda tidak mencakup menjadi satu buku seperti kitab agama-agama lain? Kenapa Weda itu banyak sekali jenisnya? Menurut catatan sejarah agama Hindu, Maharsi Manu telah membagi jenis isi Weda ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu tuhan. Sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Smerti. Kenapa sebagian besar masyarakat Hindu di Bali jarang membaca Weda? Apakah mereka meragukan isi dari ajaran Weda? Dalam kitab Manwa Dharmasastra 11-10 dijelaskan bahwa sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smerti adalah  Dharmasastra. Keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. Sementara dalam Manwa Dharmasastra 2-6 dijelaskan bahwa seluruh Weda merupakan sumber utama daripada agama Hindu, kemudian barulah Smerti di samping Sila. Sedangkan dalam Sarasamuscaya 37 dijelaskan bahwa ketahuilah olehmu, Sruti itu adalah Weda dan Smerti itu sesungguhnya adalah Dharmasastra. Keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurna dalam Dharma itu.

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh tuhan melalui para maharsi. Sruti juga sering disebut dengan Catur Weda atau Catur Weda Samhita. Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Sedangkan Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yakni Wedangga atau Sadangga dan kelompok Upaweda. Apakah boleh kita menyebarkan buku-buku yang berisi tentang ajaran Weda? Jawabannya adalah boleh sekali. Justru itu yang diharapkan oleh para maharsi yang menerima sabda suci dari tuhan seperti yang tertulis dalam sloka Yayur Weda 26-2 yang berbunyi "Hendaknya disampaikan sabda suci ini ke seluruh umat manusia, cendekiawan, rohaniawan, raja, masyarakat, pedagang, petani, buruh, orang-orangku, dan orang asing" Jadi saya menyimpulkan jika mau belajar Weda harus ada guru pembimbing untuk menjelaskan kalimat kalimat yang sulit yang terdapat dalam sloka Weda. Makanya Bhagawan Walmiki dalam karya agungnya Ramayana menyatakan bahwa karya sastra yang bersumber pada sejarah itu dimaksudkan untuk mempermudah seseorang untuk memahami kitab suci Weda. Demikian pula maharsi Wyasa dalam Vayu Purana menyatakan hendaknya Weda dijelaskan melalui sejarah atau Itihasa dan Purana atau sejarah mitologi kuno. Weda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa dia akan memukulnya. Apakah kitab suci Weda perlu dipahami umat manusia? Menurut saya, Weda mutlak harus dipahami, dipelajari dan dijadikan pedoman hidup sebab Weda adalah wahyu tuhan yang merupakan sumber dari ajaran dan hukum manusia.

Sabtu, 20 Mei 2023

Sosok Dewi Durga Dalam Purana.Bag.3

Dalam mitologi Hindu,  Bhatari Durga disimbolkan dalam wujud Rangda.  Makhluk berwajah seram yang memiliki taring yang sangat tajam,  lidah menjulur,  dan berambut panjang. Beliau tinggal di kuburan karena diusir dari kahyangan oleh Dewa Siwa,  suaminya,  karena Durga berselingkuh. Beliau memiliki banyak nama.  Ketika beliau sebagai penguasa tempat pembakaran mayat,  beliau disebut Sanghyang Berawi. Ketika beliau sebagai penguasa kuburan,  beliau disebut Bhatari Ulun Setra. Ketika hari Galungan,  umat Hindu menyembahnya sebagai Dewi Candika.  Makanya setiap hari Raya Galungan umat Hindu di Bali memasang Sampian Candigaan di setiap Pelinggih yang ada di areal rumahnya. Karena Candigaan berasal dari kata Candika, sedangkan Candika adalah nama lain dari Dewi Durga. 

Selain itu, setiap Kajeng Kliwon, umat Hindu di Bali mempersembahkan sesajen berupa Segehan Manca Warna, Segehan Kepel, dan Canang Burat Wangi di halaman rumah beserta di Natah Kemulan yang ditujukan kepada Dewi Durga. Para penekun Supranatural menyembah beliau  sebagai Dewi Kalimaya. Sementara dalam Skanda Purana, beliau dijuluki Dewi Durga Mahisa Mardini. Karena beliau berhasil mengalahkan raksasa bertubuh kerbau yang bernama Mahisa Mardini. Kemenangannya diperingati sebagai hari Wijaya Dasami.

Bhatari Durga sebenarnya adalah penolong kaum teraniaya.  Dalam cerita Ramayana yang berjudul Katundung Anggada,  dikisahkan Anggada diusir oleh  Sugriwa karena difitnah oleh Jembawan.  Akhirnya Anggada bertemu dengan Bhatari Durga di kuburan. Dan beliau memberikan kesaktian. Raja Jaya Kasunu juga pernah bertemu dengan Bhatari Durga di kuburan. Saat itu,  rakyat banyak yang meninggal karena terserang wabah penyakit gara gara hari Galungan dihapus. Makanya Bhatari Durga berpesan pada Jaya Kasunu agar kembali merayakan hari Galungan. Semenjak Galungan digelar kembali, wabah penyakit tiba tiba sirna dari muka bumi. Dan dunia menjadi sejahtera.  Selain itu, Dewi Durga juga memberikan Mantra Mrtyunjaya pada Raja Sriaji Jaya Kasunu untuk menghilangkan wabah penyakit yang melanda saat itu.

Bhatari Durga juga sering menyembuhkan manusia yang terkena ilmu hitam seperti Desti, Teluh, Dan Terangjana seperti kisah berikut ini. Ida Putu Saskara bercerita di grup Fb Dasa Aksara Dan Kanda Empat dalam bentuk postingan. Begini ceritanya " Kenapa saya menggunggah penguasa kuburan di Bali?  Ini sedikit pengalaman saya. Saya memiliki ibu yang menderita sakit kaki karena asam urat.  Ibu bilang kakinya seperti digigit hewan.  pas itu jam 11 malam. Saya juga tidak tahu tiba tiba terbesit dalam pikiran saya untuk pergi ke kuburan. Sesampai di Setra atau kuburan, saya melakukan ritual dengan peralatan sederhana tepatnya di pemuun atau tempat pembakaran mayat. sehabis melakukan ritual, saya melihat di pojok Setra sekilas nampak sosok yang menyeramkan berambut panjang dengan warna kemerahan seperti yang saya posting di beranda fb saya. Sehabis itu saya pulang.  Sampai di rumah saya mengurut kaki ibu dengan obat yang saya mohon di kuburan. dan setelah itu, ibu saya tidak lagi merasakan sakit seperti sebelumnya. Tidak lama sekitar 15 menit, ibu saya terlelap tidurnya. dari situ saya bertanya siapakah sebenarnya penampakan itu dan dari beberapa sumber ternyata dia adalah Dewi kalimaya penguasa Setra atau penguasa kuburan.


Apakah Hindu Penyembah Berhala?

Hindu di Bali tidak ada umat yang menyembah patung. Entah patung yang berdiri di altar pemujaan maupun patung yang disebut dalam Puja Mantra. Tapi di Bali ada wujud Barong dan Rangda. Sementara Barong dan Rangda bukanlah berhala. Disini ada rahasia yang kalau dijelaskan akan sangat panjang. Wujud Rangda hanyalah sebuah tehnik untuk menghancurkan ego manusia untuk mencapai esensi atau Ratu Ayu. Jadi, itu bukan berhala. Bila berhala adalah suatu benda yang disakralkan kemudian dipuja atau disembah sebagai barang suci, kalau itu berbentuk buku maka disebut buku suci. Kalau itu berbentuk pohon, maka disebut pohon suci. Kalau itu berbentuk patung, maka disebut patung suci. Lalu, apa masalahnya dari keyakinan tersebut?  Masalahnya adalah apabila pikiran kita melekat dengan rupa atau wujud, disitu akan terjadi kemandegan dari kesadaran. 

Seharusnya kesadaran bertransformasi dari wujud ke tanpa wujud, dari Sekala ke Niskala, dari Saguna ke Nirguna, sesungguhnya cukup Puja Mantra saja. Berjapa atau mengulang namanya saja, tidak perlu bervisualisasi tentang wujud. Sebab memang yang namanya dimensi rohani, ya tidak berwujud. Rohani dan Niskala itu melampaui wujud. Maka dari itu tuhan disebut Nirupam dan Nirgunam. Tetapi disini saya tidak menyalahkan siapapun juga. Karena saya tidak mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena Hindu yang saya pahami mengakomodasi berbagai tingkat kesadaran. Dari yang menggunakan simbol yang begitu nyata sampai yang menggunakan simbol yang sangat minimalis seperti di Bali sebagai aksara. Bahkan sampai yang tidak menggunakan simbol sama sekali. 

Jadi, Hindu itu mengakomodasi berbagai cara pendekatan sesuai tingkat kesadaran masing-masing. Tetapi cara-cara pendekatan kepada tuhan di Bali itu sudah diupgrade oleh pembaharu Hindu yaitu Id Sanghyang Nirarta. Beliau mengajarkan prinsip-prinsip Upanisad, tradisi, yoga, dan lain-lain. Dulunya betul di Bali menggunakan sarana patung yang disebut Murti Puja. Sebelum kedatangan beliau, itu jelas disebutkan dalam sejarah perkembangan Hindu Di Bali. Pada dasarnya Hindu adalah agama yang sangat universal dan fleksibel. Hindu akan menyatu dengan tradisi dan budaya dimana penganutnya berada. Dalam Hindu tidak ada keharusan untuk memuja tuhan menggunakan bahasa Sanskerta atau bahasa Bali ataupun bahasa Kawi. Karena tuhan itu maha tahu dalam segala bahasa karena beliau lah yang menciptakan berbagai bahasa. 

Dalam hal menyatukan diri dengan tuhan, bahasa bukanlah hal utama untuk dapat terfokus mencapai tuhan. Melainkan hati, jiwa, dan pikiran yang suci merupakan landasan utama untuk dapat terfokus mencapai tuhan ketika memujanya. Hindu juga adalah agama yang penuh dengan seni. Seni disini dapat diartikan sebagai hasil ciptaan atau buah dari pikiran dan perasaan manusia yang diungkapkan dalam wujud ataupun bentuk. Seni juga dapat memberikan kebahagiaan hati dan hidup. Maka dari itu melalui karya seni seperti Pelinggih, umat Hindu mencurahkan keyakinan dan perasaanya ke hadapan Ida Sangyang Widhi Wasa. Melalui karya seni, umat Hindu lebih berkonsentrasi memuja kebesaran tuhan yang tanpa batas dan lebih berkonsentrasi memuja tuhan yang tak berwujud. Tidak terpikirkan dan tidak terbayangkan oleh pikiran manusia yang terbatas inim. 

Jika diambil contoh dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita menjalin hubungan jarak jauh dengan pasangan. Tentu kita tidak akam mampu untuk melihatnya secara langsung sehingga kita akan meluapkan dan mengungkapkan rasa cinta kita misalnya melalui fotonya. Lantas apakah itu artinya kita mencintai sebuah foto? Tentu saja tidak. Itu karena keterbatasan kita untuk dapat melihatnya secara langsung sehingga foto menjadi media atau perantara kita untuk dapat merasa lebih dekat dengannya. Sama halnya dengan orang yang melakukan upacara bendera. Terlepas apapun suku agama dan kedudukannya setiap orang melakukan penghormatan kepada bendera dan diiringi dengan lagu kebangsaan. Pertanyaanya, kenapa mereka semua menghormati sebuah kain yang secara material harganya tidak lebih daripada pakaian yang sedang kita pakai. Mereka hormat kepada bendera adalah sebagai wujud penghormatan kita pada bangsa dan negara yang abstrak. Sama sekali bukan karena memberhalakan kain yang dibentuk sedemikian rupa menjadi bendera tersebut. 

Nah, sama halnya dalam spiritual. Tuhan adalah sosok yang abstrak. Tidak semua orang memiliki kualifikasi untuk melihat tuhan. Bahkan mungkin hampir semua orang tidak dapat melihat tuhan secara langsung. Kita hanya dapat merasakan keberadaan beliau melalui kebesaran ciptaanya. Oleh karena Panca Indra kita adalah Panca Indra material hanya bisa menangkap objek-objek material maka kita perlu penghubung antara yang material ini dengan beliau. Tuhan yang spiritual melalui perantara suatu objek yang dapat dijadikan objek konsentrasi. 

Hindu di Bali katanya dewa yang disembah adalah Siwa, Tapi kenapa Hindu di Bali tidak pernah menyembah Lingga sebagai simbol dari dewa Siwa? Yang ada hanyalah orang-orang bersimpuh di Padmasana setiap sembahyang. Tuhan itu sendiri yang transenden, yang tidak terbatas, maka umat Hindu di Bali tidak menggunakan media patung yang mana patung berpotensi membatasi ketidakterbatasan Siwa itu sendiri. Dengan adanya patung itu sesungguhnya pikiran dan kesadaran kita lah yang terbatas. Pikiran dan kesadaran kita terbatas oleh karena pikiran tertambat pada wujud patung itu. Pikiran melekat pada wujud mengakibatkan pikiran menjadi terbatas. Siwa di Bali bukanlah dewa tetapi Brahman itu sendiri. Saya rasa tidak ada patung Brahman di dunia ini.
         
Orang-orang yang kurang cerdas sering menertawakan dan mencela umat Hindu yang memuja tuhan melalui Pelinggih atau Pratima dan menganggapnya sebagai tahayul bahkan tak jarang diberikan label Musryik dan menyembah berhala. Padahal kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada satu agama atau keyakinan apapun yang ada di dunia ini yang tidak memuja tuhan melalui simbol seperti menggunakan arah atau kiblat, suara, cahaya, bangunan, gambar, bendera, atau panji-panji. Umat Hindu yang melakukan pemujaan melalui berbagai simbol atau Niyasa termasuk melalui Pratima memiliki keyakinan bahwa tuhan yang maha ada juga bersemayam dalam simbol di hadapannya. Bagi umat Hindu, Pratima bukanlah sekedar objek atau sarana tambahan tetapi merupakn bagian dari mekanisme batin dalam bhakti dan keyakinan. 

Tentu saja semua puja yang dilakukan dengan gagasan bahwa Pratima tersebut hanyalah kayu atau logam yang tidak bernyawa. Benar-benar konyol dan amat membuang waktu. Tetapi bila hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa Pratima itu hidup penuh kesadaran dan kekuatan bahwa tuhan yang maha segalanya berada di mana-mana atau Wyapi Wyapaka. Meresapi segala yang ada atau Iswara Sarwa Bhutanam. Dan mengejewantah dalam tiap keberadaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak atau Wiswa Wirat Swarupa. Dan dengan keyakinan bahwa tuhan merupakan kenyataan batin bagi semuanya berada di dalamnya maka pemujaan Pratima benar-benar bermanfaat dan membangunkan kesadaran tuhan.
             
Seorang Wamana selama bertahun-tahun tidak pergi ke tempat ibadat manapun dan ia menertawakan orang-orang yang menganggap Pratima  sebagai simbol ketuhanan. Ketika putrinya meninggal pada suatu hari ia memegang potonya sambil menangisi kehilangan tersebut. Tiba-tiba saja ia tersadarkan bahwa bila poto itu dapat menyebabkan kesedihan padanya dan membawa airmata kerinduan maka Pratima itu juga dapat menimbulkan kegembiraan dan membawa airmata bhakti pada mereka yang mengerti keindahan dan kemuliaan tuhan. Simbol-simbol itu adalah alat untuk mengingatkan bahwa tuhan hadir dimanapun dan dalam segala sesuatu. Hindu yang ajarannya sangat logis dan paling masuk akal tentu memiliki banyak pijakan atau dasar sastra tentang pemujaan Pratima tersebut menjadi sahih. 

Penjelasan tentang Arcanam atau tata cara pemujaan simbol sangat jelas disebutkan dalan Srimad Bhagawatam seperti yang dinyatakan Udhawa kepada Sri Khrisna bahwa semua orang bijak atau rsi-rsi mulia berulangkali menyatakan bahwa penyembahan semacam itu membawa manfaat terbesar yang mungkin ada dalam kehidupan manusia. Jika kita melihat umat Hindu membawa sesajen ke pura penuh dengan buah buahan dan makanan lezat, tentu orang akan berpikir apakah Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak enak. Demikian pula jika pura dihias dan diukir demikian indah, mungkin orang berpikir, Tuhan umat Hindu suka dengan seni, dan suka pula dengan tari tarian.
Secara filosofis kita bisa mengatakan bahwa Tuhan maha besar. Beliau mengadakan semua makanan dan beliau menciptakan semua keindahan. 

Beliau tidak akan kelaparan jika kita tidak mempersembahkan sajen.
Apakah artinya persembahan kita yang sekecil ini dimata Tuhan, sedangkan beliau memiliki alam semesta ini semua, Tuhan tidak memerlukan semua ini, hanya manusialah yang menganggap ini perlu, semua sesajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa Bhakti atau cintanya kepada Tuhan.
Dalam hati orang bercinta ingin dia memberikan segala apa yg dia miliki, bahkan jiwanya pun sedia dikorbankan demi untuk yang dicinta. Dan semua persembahan akan membuat diri ini bahagia.
Demikianlah sajen dan kesenian yang disuguhkan pada waktu upacara agama umat Hindu , secara spiritual akan memberikan kebahagiaan kepada orang yang melaksanakan karena dengan semua alat ini, mereka bisa mencurahkan rasa Bhakti atau cinta kasihnya. Tuhan tidak minta dipuja, tetapi manusialah yang ingin mencurahkan rasa Bhaktinya.

Sosok Dewi Durga Dalam Purana. Bag.2.

Dalam sebuah lontar Purwagama Sasana disebutkan bahwa dewi Durga memiliki lima pancaran sakti yang disebut Panca Durga yaitu Kala Durga, Durga Suksmi, Sri Durga, Sri Dewi Durga, dan Sriaji Durga. Semua itu merupakan kekuatan yang maha luar biasa dapat memberikan ketenteraman dan juga dapat menimbulkan bencana. Inilah yang menguasai ke 5 arah mata angin. Karena itu pada saat ritual Pengerehan atau Transformasi, kekuatan inilah yang dimohonkan untuk hadir dan bersedia untuk berstana dalam sebuah Tapakan Ida Bhatara berupa Rangda.

Sementara Dalam Lontar Anda Buana diceritakan tentang keberadaan Dewi Uma yang berubah menjadi dewi Durga akibat mendapatkan kutukan dari Dewa Siwa. Kutukan tersebut menyebabkan Dewi Uma yang bergelar Dewi Durga tinggal menetap di dunia dan akan kembali ke Siwaloka setelah disucikan. Kisah itu berawal saat Betara Siwa pura-pura sakit dan menyuruh Dewi Uma mencari susu sapi putih sebagai obat penawar sakitnya. 
       
Demi cinta pada suaminya, Dewi Uma menyanggupi tugas tersebut walau tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dewi Uma berkeliling dunia memeriksa dari sudut ke sudut bumi untuk menemukan susu sapi putih. Namun hampir membuat Dewi Uma putus asa. Dewa Siwa pun tahu keadaan Dewi Uma dan usahanya. Kemudian Dewa Siwa turun ke dunia menjadi gembala sapi dan Nandini menjadi sapi putih yang sedang menyusui. 
      
Singkat cerita, Dewi Uma menemukan gembala di tengah hutan yang memiliki sapi putih sedang menyusui. Akhirnya Dewi Uma merubah wujud menjadi manusia yang berwajah cantik. Dengan sopan Dewi Uma mohon "wahai Sang Gembala, saya datang menemui Anda bermaksud meminta susu sapi putih yang akan saya gunakan sebagai obat untuk suami saya " Sang Gembala tidak mengizinkan dan menolak permintaan Dewi Uma "wahai sang gembala, Apakah saya harus menukar dengan perak, emas, Mirah susu sapi putih milik anda?" 
        
Sang Gembala lalu menjawab "wahai sang Dewi, saya adalah penggembala yang hidup sendiri di hutan. Saya tidak perlu emas ataupun perak. Saya tidak perlu emas ataupun perak. Semua tidak bernilai dimata saya. Justru yang sangat bernilai bagi saya adalah Sang Dewi. Maukah Sang Dewi tidur hari ini bersama saya sebagai penukar susu sapi saya? Singkat cerita, Dewi Uma mau melayani gembala demi mendapat susu sapi putih walau Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si penggembala. 
               
Singkat cerita, setelah mendapatkan susu,  Dewi Uma segera kembali ke Kahyangan untuk menyerahkannya kepada dewa Siwa. Lalu Dewa Siwa memanggil Ganesha untuk membaca tenung Aji Saraswati. Ganesha lalu mengatakan perbuatan yang dilakukan ibunya terkait asal-usul susu tersebut. Dewi Uma dalam keadaan marah lalu membakar tenung Aji Saraswati dan seketika lenyap menjadi abu. Ini sebabnya tenung hanya bisa dipercaya 50% dan Sisanya adalah misteri. Melihat ulah Dewi Uma yang telah berani membakar tenung aji Saraswati, Dewa Siwa kemudian mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjadi dewi Durga. 
        
Turun ke dunia sebagai penguasa kuburan dan menebar penyakit setelah dikutuk untuk turun ke dunia. Dewi Durga berstana sebagai penguasa kuburan yang diikuti oleh 108 buta dan Bhuti. Tugas dari Dewi Durga dan 108 pengikutnya adalah menebar penyakit, menciptakan kekeringan, dan bencana alam. Yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia yang lupa untuk berbakti kepada Tuhan. Penyakit yang diciptakan Dewi Durga bertujuan untuk menyadarkan manusia agar selalu ingat kepada Tuhan. Sebagai cara untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan oleh kekuatan Dewi Durga dilakukan dengan mempersembahkan bhuta Yadnya.

Kamis, 18 Mei 2023

Sosok Dewi Saraswati Dalam Weda. Bag.3

(Ketika Cicak Berbunyi Saat Bincang Bincang)

Saat obrolan yang agak serius, tiba-tiba ditimpali suara cicak… cek.. cek.. cek.. cek…, secara spontan yang bicara menimpali dengan ucapan Hyaaang suciiii… atau Hyaaaang saraswatiii… sambil mencakupkan tangan ke arah datangnya suara cicak tadi. Diyakini bahwa apa yang diucapkan tadi benar adanya dan disaksikan oleh Hyang Maha Suci dan Maha Tahu, Dewi Saraswati. Cecek” atau cicak dalam mitologi manusia Bali dan Nusantara diyakini sebagai perwujudan “Skala” atau nyata dari Sanghyang Aji Saraswati. Cecek diyakini sebagai “unen-unen” pengiring sekaligus sebagai perwujudan dari Hyang Sarawati secara “sekala” nyata di dunia. Ia merupakan simbol dari kemurnian pikiran, lambang dari kecerdasan budi, gambaran dari ketajaman intuisi, bentuk dari kesucian rasa, dan rupa dari kepekaan naluri. 

Simbol cicak ditempatkan pada “jaja saraswati” bersama dengan bentuk “niasa sastra” lainnya menjadi “Sanghyang Ongkara”.  Manusia Bali yang lahir dari Budi Pekerti Nusantara, menempatkan cecek sebagai “Simbol Ilmu Pengetahun” itu sendiri, sedangkan Sang Aji Saraswati / Dewi Saraswati adalah “Sumber Ilmu Pengetahun” itu sendiri. Hooykaas dalam buku “AGAMA TIRTHA, five studies in Hindu Balinese Religion” membahas dalam 1 halaman lebih terkait cecak dalam Saraswati”. Kurang lebih demikian. 

Selasa, 16 Mei 2023

Mengulas Kerauhan Berdasarkan Lontar.

Menurut Lontar Agastya Prana,
Kerauhan disebutkan ada 3 jenis diantaranya Kerauhan  Dewa, Kerauhan Atma dan Kerauhan Kala. Dan kita sudah pasti tahu kerauhan siapa diantara ketiga tersebut? Dan bisa dibedakan menurut ciri ciri  dari yang telah ditampilkan pada orang yang kerangsukan. Kita sebaiknya bijak menghadapi orang Kerawuhan, Kami membuat istilah Boperbodak Singkatan dari boleh percaya boleh tidak. Kenapa demikian? Pertanyaannya adalah, Adakah doktor yang kerawuhan? Adakah Drs, Ir, SE, Prof, dan gelar yang lainnya kerawuhan? Kalau toh ada, prosentasenya sangat sedikit. Maksud saya beranalogi sedemikian rupa karena terkait dengan cara dan kemampuan berpikir berbeda.

Siapa yang berpikir pragmatis dan siapa berpikir dogmatis? Artinya cara mengelola pikiran saja sudah berbeda , kemudian dari segi kejiwaan juga berbeda.
Kami contohkan  bakar dupa yang ada di Pasepan. Lalu dekatkan kepada para sarjana. Kami yakin tidak ada tanda tanda atau reaksi gerakan yang aneh. Tapi jika didekatkan kepada orang yang pikirannya lemah, biasanya ada gerakan gerakan  aneh dan kemudian dijejali pertanyaan pertanyaan yang mengarah pada info dari rekan rekan yang seperti di luar nalar. Yang jelas alat tes ada berupa lontar yang isinya :cari  batok kelapa kemudian dibakar dan suruh mengambil api yang sedang membara. Kesimpulannya: jika percaya silakan dinikmati. jika tidak percaya silakan jauhi jangan ditonton. Hikmahnya terkadang membuat anak anak ingin ke pura agar dapat nonton orang Kerawuhan. Kalau bisa jangan diuji. Daripada kita disuruh begitu toh juga tidak mau

Kepintaran ada di mata kita. Melihat kebodohan ada di otak kita. Makanya ada orang menyebut maya, nyata, manusia nyata, maya sulit di kenal. makanya kalau ada orang yang kesurupan pasti sebagian besar di areal pura yang disakralkan dan diimbangi oleh Sesuunan Napak Pertiwi. Karena erat kaitannya orang akan cepat Kerahuan. Kita sebagai orang Bali sudah dari dulu mewarisi hal hal seperti itu. Dan kita tingal melestarikannya saja.

Sabtu, 13 Mei 2023

Hubungan Seks Menurut Sastra.

Jalan Tantra memang sering diidentikan dengan praktek-praktek yang bersentuhan dengan seksualitas atau sanggama. Terlebih banyak catatan dari penulis Barat, bahwa Tantra hanya berkutat pada laku erotik mistik dalam lingkaran seksualitas yang selama ini dianggap tabu. Meskipun apa yang ditulis penulis Barat tidak sepenuhnya benar, tetapi ada beberapa hal yang menarik untuk ditelisik untuk memahami makna sanggama sesungguhnya sebagai laku mistik yang lebih sering menyebutnya sanggama atau seks yang menyembuhkan.
.
Memahami bahwa seks adalah Tantra dan Tantra adalah seks mesti hati-hati, sebab pemahaman yang keliru bisa menyebabkan distorsi pemaknaan akan Tantra sebagai jalan mistik yang rahasia. Seks atau sanggama yang dimaksud dalam Tantra tentunya berbeda, dan bukan hanya sekadar pelepasan nafsu badaniah, tetapi operasi indriawi yang memerlukan kesadaran total akan sanggama sebagai jalan meditatif yang melampui persenggamaan tubuh. Disinilah memerlukan kehati-hatian, dan orang Bali bilang "serimpit" dalam melakukan praktek sanggama Tantra.
.
Akan tetapi, jika dilakukan dengan tepat dan sebagaimana sanggama yang meditatif dan melampui rasa badaniah, maka ia akan menyembuhkan dan terapi psikis, fisik, dan jiwa yang sangat cepat untuk mengembalikan sistem imunitas tubuh dan meremajakan sel-sel tubuh sehingga memperlambat proses penuaan. Hal yang sederhana bagaimana sanggama Tantra dapat menyembuhkan melalui teknik sentuhan lembut, meraba pada daerah sensitif, menyentuh melalui mulut dan lidah.
.
Tubuh dengan sistemnya yang ringid memiliki beberapa ruang yang rahasia. Terutama pada bagian-bagian tertentu yang jarang kita ketahui bahkan jarang kita sentuh. Bagian tersebut sering disebut areal sensitif, seperti daerah vagina, payudara, bibir, dan telinga. Tetapi, dalam Sanggama Tantra ada beberapa daerah yang sangat sensitif dan bukan hanya sekadar sensitif tetapi daerah rahasia pada tubuh, dan jika disentuh akan dapat membangkitkan gairah, sehingga aliran prana melalui tiga nadi dapat mengalir seimbang. 
.
Memberikan sentuhan pada daerah tersebut dengan tubuh, tangan, bibir, lidah dan yang lainnyapun bukanlah sembarangan atau grasa-grusu yang sembrono. Tentunya ada teknik khusus untuk memberikan ritme sehingga benar-benar membawa pada dimensi eksotik, erotisme mistik yang mengagumkan, hingga sampai pada persetubuhan dengan menyentuhkan vagina dan venis sebagai prinsip penunggalan sakral yang paripurna dimana Kamabang dan Kamapetak dipertemukan dalam bilik sangat rahasia. Kamabang sebagai ovum dan Kamapetak sebagai sperma mewakili kekuatan dari onjas atau daya saktifat dan kesadaran yang akan dipertemukan dalam Windurahasya Muka, yakni bilik rahasia yang hanya diketahui saat melakukan sanggama. Keliru jika sanggama dalam Tantra dipahami sebagaimana seks pada umumnya yang hanya melibatkan nafsu birahi rendah yang justru akan mengalirkan energi Onjas ke bawah.

Rabu, 10 Mei 2023

Wyapi Wyapaka Nirwikara.

Tuhan hanya gagasan metafisik yang diciptakan untuk suatu keadaan. Ini mengingatkan kita pada filsafat Positivisme yang digagas oleh filosof Prancis, Auguste Comte (1798-1857), yang menyatakan perkembangan keberadaan manusia berproses dari fase mitos-spiritual yang berawal dari tahap fetiyisme (pemujaan terhadap benda-benda), kemudian berkembang ke tahap monoteisme. Perkembangan akal budi manusia belakangan sudah bisa menyingkirkan asumsi-asumsi teologis yang membatasi otonomi dan otoritas manusia atas nama Tuhan. Tentang ajaran keesaan Tuhan, ada dua mazhab yang dominan dalam agama Hindu, yaitu Mazhab Dwaita (Dvita) dan mazhab Adwaita (Adwita). Yang pertama mengakui adanya dualitas Tuhan (the duality of God), yakni mengakui adanya personal God (Brahma Nirguna). Mereka mengakui dan memuja Tuhan dengan berbagai nama, seperti Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain. Sedangkan yang kedua menolak dualitas ketuhanan (the duality of God) dengan menegaskan bahwa hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.
          
Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Mazhab ini mirip dengan monoisme atau panteisme karena meyakini alam semesta tidak sekedar berasal dari Brahman, namun pada “hakikatnya” sama dengan Brahma. itulah segala sesuatu dalam alam-semesta mengalami kelahiran, kehidupan, dan kematiannya. Bagi ketiga perananNya itulah ketiga aksara suci (AUM) diucapkan. Maka dari keagunganNya itu pula memancar sinar kemuliaan (dewa) dan daya kekuatan (bhatara), yang melindungi seluruh alam semesta. 

Karena itulah Tuhan senantiasa ada di mana-mana. Namun demikian keragamanNya tidaklah meniadakan keesaaanNya. Bahkan dalam keesaanNya Ia tidak terpengaruh dan tidak berubah oleh karena suatu apapun (wyapi-wyapaka nirwikara). Ia tidak berbentuk (nirupam), tidak bertangan dan tidak berkaki (nirkaram-nirpadam), dan tidak pula berpanca indera (nirindriyam). Ia mengetahui segala sesuatu, mengenal semua makhluk, tidak menjadi tua, dan tidak pernah berkurang maupun bertambah. Akan tetapi Tuhan dapat mengambil rupa perwujudanNya (avatara), khususnya bilamana dharma dan kehidupan terancam oleh keangkara-murkaan yang membawa kejahatan dan kenistaan. 

Terdapat pula pada tembang Merdhu Komala yang menyebutkan sifat Tuhan diatas, dimana berbunyi: Wyapi wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita, icchanta ng hana tan hana ganalalit lawan halahayu, utpatti sthitit linaning dadhi kitata karananika, sang sangkan paraning sarat sakala niskalatmaka kita. Artinya: Engkau berada di mana-mana intisari dari kebenaran mutlak dan gaib, karunia-Mu menciptakan, dan melebur segala yang ada besar maupun kecil dan baik buruknya. Lahir hidup matinya segala mahluk Engkaulah sumbernya. Engkau merupakan sumber serta tujuan isi dunia nyata dan gaib wujudMu. Dalam Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut. 

Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di sorga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya. Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah "telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata"

Namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Di dalam Bhuana Kosa disebutkan sebagai berikut: "Bhatara Ciwa sira wyapaka sira suksma tan keneng angen-angen kadiang ganing akasa tan kagrahita dening manah muang indriya". Artinya: Tuhan (Ciwa), Dia ada di mana-mana, Dia gaib, sukar dibayangkan, bagaikan angkasa (ether), dia tak dapat ditangkap oleh akal maupun panca indriya. Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini.

  

Tujuan Penciptaan Yang Misteri Bag.5

Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama (seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan sebagainya. Satu wujud yang memiliki banyak nama mengingatkan kita pada konsep al-Asma  al-Husna dalam agama Islam. Namun jika dikaji lebih mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan, metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia lainnya.
            
Dalam keyakinan penganut agama Hindu, manusia tidak mungkin melukis sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, karena Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas. Apapun yang terlintas di dalam pikiran tentang Tuhan pasti itu bukan Tuhan. Konsep Keesaan Tuhan lebih bersifat apophatic daripada cataphatic. Inilah yang dimaksud konsep neti, neti (bukan, bukan) di dalam Tradisi Hindu India. Untuk memahami Keesaan Tuhan dalam agama Hindu, tak ada jalan lain kecuali terus mendalami ajaran agama dan memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Mereka disarankan untuk mendalami sejumlah buku-buku agama Hindu, seperti kitab Veda, dengan bagian-bagiannya seperti kitab Vedanta (Upanisad), yang keduanya menjadi sumber paling otoritatif dalam mendalami kedalaman ajaran agama Hindu.
                
Bagi orang yang taraf kognitif dan tingkat spiritualitasnya masih rendah atau pemula, mereka masih membutuhkan media dalam melakukan pemujaan. Mereka membutuhkan simbol untuk menghadirkan dirinya berupa arca (patung), relief, gambar, atau bentuk-bentuk fisik lainnya. Dalam melaksanakan upacara ritual keagamaan, mereka masih membutuhkan sarana upacaranya dalam bentuk persembahan dan sakrifasi, seperti buah-buahan, makanan, binatang, dan lain lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai ke tingkat lebih tinggi, tidak perlu lagi memerlukan media apapun karena sudah biasa menghayati hakikat Tuhan (Brahma Nirguna) dan selanjutnya meleburkan dirinya menjadi diri-Nya. Ia sudah mencapai apa yang disebut dengan moksa, sebuah pembebasan diri dari berbagai kemelekatan materi dan duniawi. Mirip apa yang dialami praktisi sufi jika sudah mencapai tingkat fana dan baka

Tujuan Penciptaan Yang Misteri Bag.4

Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala. Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.

Dalam ajaran Hindu, dikatakan bahwa Tuhan itu Neti, Neti, Neti (bukan ini, bukan ini, bukan ini) dengan kata lain sesungguhnya Tuhan tidak dapat didefinisikan sehingga dikatakan Tuhan itu “bukan ini, bukan itu”. Karena dalam Brahmasutra dinyatakan bahwa Tuhan itu “Tad avyaktam, aha hi” (sesungguhnya Tuhan tidak terkatakan). Oleh karena Tuhan tidak dapat didefinisikan maka Tuhan dibatas-batasi. Tuhan diberi nama, Tuhan dilukiskan, Tuhan diuraikan kedalam kata-kata, dan lain sebagainya, berdasarkan petunjuk-Nya dan dari orang-orang arif bijaksana yang dituangkan kedalam kitab suci, Brahman atau Tuhan hanyalah satu, esa, tidak ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaanNya, para resi dan orang-orang yang bijak menyebutnya dengan beragam nama. Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali diketahui wujud-Nya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal God) artinya tuhan tidak berpribadi dan Transenden.

Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama (seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan sebagainya. Satu wujud yang memiliki banyak nama mengingatkan kita pada konsep al-Asma  al-Husna dalam agama Islam. Namun jika dikaji lebih mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan, metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia lainnya.
Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama (seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan sebagainya. Satu wujud yang memiliki banyak nama mengingatkan kita pada konsep al-Asma  al-Husna dalam agama Islam. Namun jika dikaji lebih mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan, metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia lainnya.
            

            

Tujuan Penciptaan Yang Misteri Bag. 3.

Mengapa tuhan menciptakan mahluk dan alam semesta? Ada banyak sastra dan kitab suci yang menjelaskan tentang tuhan menciptakan seluruh mahluk dan alam semesta. Saya akan mengutip beberapa sloka yang menjelaskan prihal tersebut. Dalam Taitrya Upanisad 6-1 dijelaskan bahwa tuhan berkeinginan, aku bermanifestasi menjadi banyak, menciptakan semua yang ada, kehidupan dan bukan kehidupan yang ada di dunia ini. Berarti alam semesta ini telah diciptakannya dan beliau masuk ke dalam seluruh ciptaannya. Setelah memasukinya, beliau diasumsikan berbentuk dan juga tidak berbentuk. Brahman memasuki mayanya bernama Atman. Brahman di dalam Upanisad disebut Mayin atau penguasa Maya. Di dalam Candogya Upanisad 3-14-4 dan Brhad Arayaka Upanisad 4-4-5 dijelaskan bahwa Atman adalah Brahman. Jadihanya beda nama saat berperan di panggung pertunjukannya. Makanya tuhan disebut meresap dan masuk di setiap ciptaannya. Lihat juga Sloka Bhagawadgita 10-20 dan Stetaswatara Upanisad 4-16.
                    
Tentu kita bertanya-tanya, untuk apa tuhan menciptakan seluruh mahluk dan alam semesta? Para Filsuf dunia berusaha menjawab hal ini tetapi Maharsi yang telah mengalami Anubawa atau telah menyatu dengan tuhan membukakan tabirnya melalui petunjuk kitab suci Weda. Secara umum, kita tahu bahwa tuhan dalam penciptaanya adalah karena Lila atau permainannya. Benarkah? Hanya sebatas demikian saja? Tidak ada salahnya saya akan mengutip kalimat dari guru besar Nabe sucinya Sankaracarya yang mengupas manduknya Upanisad agar memahami atau setidaknya mengetahui tidak sebatas Lila saja. TYetapi masih dapat diketahui keterangan lainnya. Gaupada menyebutkan berbagai jawaban penciptaan yang berbeda-beda berdasarkan kitab suci. Beberapa diantaranya menganggap penciptaan sebagai perwujudan dari kekuatan tuhan yang maha hebat. Sementara pendapat lain menganggapnya mempunyai sifat yang ini sama dengan mimpi dan ilusi. Yang lain menelusuri ini sebagai kehendak tuhan. Ada juga yang menganggapnya sebagai hiburan tuhan sehingga penyebab penciptaan atau sekedar kesenangan tuhan. Tetapi kepada Gaupada sendiri berpandangan penciptaan sebagai ungkapan dari sifat yang maha kuasa sebab apa saja mungkin baginya dan kemaunnya selalu terpenuhi. Alam ini adalah penjelmaan dari sifat tuhan. Untuk pertanyaan oknum sempurna tiada tetap abadi saja dan terpusat pada dirinya saja tetapi mengalami permainan dengan menciptakan dunia ini? Jawabannya adalah behwa mewujudkan adalah sifat hakiki dari tuhan, kita tidak perlu mencari penyebab motif atau tujuan. Sebab semuanya ini ada dalam sifatnya, berada sendiri dari luar dan bebas. Seperti tujuan pokok dari tarian Siwa Nataraja.
          
Hanya di Hindu saja yang memiliki konsep menyembah tuhan secara spesifik dan terperinci. Misalnya berdoa untuk apa? Dan kepada siapa? Contoh jika kita ingin memohon Taksu dan ilmu pengetahuan maka doanya pada dewi Saraswati. Jika ingin memohon hujan maka doanya pada Indra dan lain sebagainya. Seperti pada dokter spesialis sangat ilmiah dan spesifikasi. Dan hal itu tidak ada dalam agama lain. Maka sudah seharusnya kita bangga menjadi Hindu. Selain itu, kitab sucinya paling lengkap. Apapun yang dicari dalam Hindu, jawabannya selalu ada. {Made Budilana dalam majalah Raditya, Februari 2020}

Tujuan Penciptaan Yang Misteri Bag 2.

Wujud tuhan itu sebenarnya seperti apa yang anda pikirkan. Wujud tuhan bisa juga seperti matahari yang disebut Sanghyang Surya, Raditya, Baskara, dan Diwakara. Kalau seperti angin disebut Sanghyang Bayu, seperti air disebut Sanghyang Wisnu, Waruna dan Jaladara. Kalau seperti api disebut Brahma, Agni dan Nala. Wujud tuhan seperti Barong disebut Ratu Sakti, seperti Rangda disebut Ratu Mas. Wujud tuhan yang tidak terpikirkan disebut Acintya. Proses menstanakan kekuatan tuhan di semua wujud disebut Pasupati. Hakekat tuhan adalah Sangkan Paraning Dumadi makanya beliau juga disebut Sanghyang Sangkan Paran. Dalam salah satu sloka Hindu ada yang berbunyi Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadnti yang artinya tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutnya dengan banyak nama.Apakah menyembah tuhan memakai simbol seperti poster, patung, dan lain-lain, bertentangan dengan Weda? Sepanjang itu membuat anda damai, maka hal itu tidak bertentangan dengan Weda meskipun dalam Weda dijelaskan bahwa tuhan itu bersifat Acintya.
        
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu pada prinsipnya memuja keesaan tuhan yang maha sempurna, tuhan yang tidak dapat dipikirkan yang kemudian disebut sebagai Nirguna Brahman. Dalam konteks ini tuhan tidak memiliki pribadi dan tidak dapat dibayangkan. Oleh karena maha sempurnanya, maka sesungguhnya amat sulit mewujudkan tuhan yang dipuja dalam pikiran manusia. Oleh karenanya, para Maharsi atau orang suci kemudian memberikan banyak nama sesuai dengan sifatnya. Dalam konteks ini semula tuhan maha sempurna kemudian bermanifestasi dan memiliki pribadi beliau disebut Siwa, disebut pula dewa Iswara, Brahma, Wisnu, dan juga Rudra. Dalam keyakinan Hindu sesungguhnya jumlah dewa yang dipuja sebanyak 33 dewa yang terdiri dari 12 Aditi, 11 Rudra, 8 Wasu, 1 Indra dan 1 Prajapati.
             
Ajaran Hindu membebaskan umatnmya untuk memuja manifestasi tuhan. Kalau Hindu Sampradaya sudah pasti memuja Wisnu. Sedangkan Hindu tradisi Bali sebagian besar menganut paham Siwa Sidanta. Kecuali di desa Baliaga salah satu desa yang ada di kabupaten Karangasem ada sebagian umatnya memuja tuhan yang bermanifestasi sebagai dewa Indra. Karena dewa Indra dilambangkan sebagai dewa perang, maka umat disana melakukan prosesi ritualnya dengan cara berperang seperti misalnya prosesi Megeret Pandan dan Gebug Ende. Lalu bagaimana dengan pemujaan terhadap dewa api atau dewa Agni? Mengenai pemujaan terhadap dewa api, Hindu Sampradaya mewujudkannya dalam bentuk ritual Agnihotra. Mungkin dalam ritual Hindu tradisi Bali ada sistem pemujaan terhadap dewa api. Hanya saja konsepnya berbeda.

Sosok Dewi Saraswati Dalam Weda. Bag.4

Apakah mitos atau fakta, dalam perayaan Hari Raya Saraswati, kita tidak boleh membaca dan menulis?  Menurut keterangan Lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra atau Sambang Samadhi. 
                
Tidak membaca dan menulis selama 24 jam merupakan simbolik ajaran Dharma tingkat tinggi untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci Dharma. Bukan untuk merayakan turunnya Weda bagi manusia. Membaca habis semuanya kemudian terjebak ke dalam Dogma dimana pengetahuan yang bertumpuk itu menjadi Dogma yang begitu kaku dan dangkal. Kemudian menggunakan pengetahuan itu untuk mengkritisi orang lain maka sia-sialah semua itu. 

Kemabukan atau kesombongan karena pengetahuan dan kepandaian yang dimiliki menandakan bahwa diri kita belum mampu memaknai pengetahuan yang ada, membedakan antara pengetahuan keduniawian dan rohani. Seperti pengetahuan matematika, ekonomi, sosial politik, budaya dan lain lain. adalah pengetahuan untuk kehidupan di dunia ini, sedangkan pengetahuan rohani adalah pengetahuan untuk persiapan diri di alam akhirat.

Keangkuhan, ketakaburan dan bentuk-bentuk lain karena kepandaian adalah pertanda runtuhnya kemuliaan diri sendiri. Bagi orang yang sadar, kepandaian yang dimiliki belum seberapa besar dibandingkan dengan sifatnya pengetahuan yang tak terbatas. Tingginya kepandaian yang diraih seharusnya mampu menekan ego, dan menjadi bijaksana. Ditinjau dari atribut/simbolnya Dewi Saraswati (dewi ilmu pengetahuan) antara lain terhadap simbol angsa di kaki-Nya, yaitu selama memiliki pengetahuan agar mampu menekan ego dan menjadi sosok yang bijaksana. Dengan sifat angsa itu sendiri yang dapat membedakan makanannya walaupun berada di lumpur, bercampur dengan kerikil dan lumpur.
"Sat Citta Ananda Brahman (sesungguhnya) Tuhan" adalah Kebenaran dan Pengetahuan tak terbatas.

Dan pada puncaknya anda melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan. Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang paling dalam. Kesadaran seperti itu memberikan diri anda sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh. Itulah sesungguhnya pesan mendalam untuk jiwa kita di hari Saraswati. Tidak lagi pengetahuan berdasarkan sastra secara biasa. Tetapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada dalam diri kita sejak awal.

            

Sosok Dewi Saraswati Dalam Weda (Bag.2)

Banyak sekali Purana-Purana Hindu yang mengisahkan tentang dewi Saraswati. Sebut saja Brahmanda Purana Dan Matsya Purana. Dalam Brahmanda purana mengisahkan tentang dewa Brahma pada saat penciptaan jagad raya. Dalam meditasi dewa Brahma tiba-tiba muncul seorang anak perempuan dari wajahnya, Brahma kemudian memberi nama Saraswati dan memerintahkanya agar tinggal di ujung lidah setiap orang, dan akan menari secara khusus pada ujung lidah orang orang pintar, dan juga saraswati akan muncul di Bumi sebagai sungai.
       
Dewi Saraswati muncul dalam beberapa wujud baik yang bisa dilihat manusia maupun tidak. Pertama beliau muncul sebagai seorang dewi ekspansi dari Gayatri dan Niladewi. Bersumber dari Cit Sakti di dunia rohani. Kedua beliau muncul sebagai aksara atau huruf. Karena itu setiap aksara sesungguhnya memiliki Bija atau sumber energi. Dengan kombinasi berbagai aksara, seseorang bisa mendapatkan energi. Ketiga beliau muncul sebagai sungai bernama sungai Saraswati. Tatkala jaman Kaliyuga tiba, dewi Saraswati dalam wujud sungai menghilang ke bawah tanah karena pengaruh kegelapan jaman Kaliyuga. Tatkala Kalki Awatara muncul di akhir jaman Kaliyuga, sungai itu akan kembali mengalir di permukaan bumi.
            
Sementara dalam Matsya Purana dinyatakan saraswati disebut juga savitri dan gayatri. Namun semua itu adalah satu yaitu Saraswati. Sedangkan dalam Brahma Waiwarta Purana dinyatakan Saraswati memiliki simbol dan atribut seperti Memiliki tubuh dan busana putih yang berkilauan yang merupakan simbol dari Tri Guna yaitu Satwam, Rajas dan Tamas. Guna Satwam dari Saraswati merupakan pengetahuan murni yg paling mulia dan paling tinggi. Memiliki caturbhuja atau 4 tangan yg memegang vina atau alat musik, pustaka atau Lontar, Aksamala atau Tasbih dan kumbhaja atau bunga teratai
          
Sedangkan dalam Hindu Times dijelaskan bahwa Saraswati dikenal dalam berbagai wujud. Pertama beliau datang dalam wujud arca atau Murti. Kedua, Saraswati datang dalam wujud kata-kata. Karena itu beliau dikenal dengan nama Wagiswari atau penguasa kata-kata. Karena itulah, Weda tidak boleh diartikan sembarangan. Weda harus dipelajari di bawah bimbingan garis perguruan suci yang dapat dipercaya sehingga tidak menimbulkan kebingungan. Kebingungan itu terjadi karena dewi Saraswati menyelubungi makna Weda agar tidak bisa disentuh oleh manusia yang memiliki keinginan atau motif-motif lain selain mencapai keinsafan diri. Dalam wujud yang ketiga, beliau hadir dalam wujud sungai suci dekat Punjab. Sungai itu bernama Saraswati. Pada jaman Weda, sungai Saraswati menjadi pertapaan dan belajar Weda. Rsi Wyasa menulis Weda di tepi sungai itu. Pada awal Kaliyuga, sungai Saraswati lenyap dari permukaan bumi dan akan kembali pada jaman Satya Yuga berikutnya.