Jumat, 15 November 2013

Sosok Dewi Durga Dalam Purana. Bag.1

Dalam bahasa Sanskerta, Durga berarti terpencil atau tidak bisa dimasuki. Sementara dalam bahasa Dewanagari, Durga berarti dewi kemenangan. Beliau memiliki beberapa senjata diantaranya Cakram, petir, teratai, ular, pedang, Gada, terompet kerang, dan Trisula. Sementara kendaraannya adalah Dawon atau macan atau juga singa. beliau memiliki banyak tangan dan memegang banyak tangan dengan posisi Mudra. Dewi Durga memiliki banyak nama diantaranya Dewi Uma, Dewi Parwati, Dewi Kali, Dewi Candika dan lain-lain. Dewi Durga adalah istri dari Dewa Siwa dan memiliki putra yang bernama Bhatara Kala.

Kebanyakan umat Hindu mengira bahwa Dewi Durga adalah dewi yang menakutkan dan menyeramkan, padahal tidak seperti itu. Bahkan di Bali, Dewi Durga dilambangkan dalam wujud Rangda. Mungkin anda tidak tahu bahwa Dewi Durga adalah dewi yang bertugas untuk membasmi kejahatan dan menolong orang-orang yang teraniaya. Jika anda beranggapan bahwa Dewi Durga dipuja oleh orang-orang jahat dan penganut ilmu hitam, mulai sekarang anda harus menghapus anggapan keliru itu. Sebenarnya Dewi Durga itu dipuja oleh orang yang terancam jiwanya. Mereka memohon anugerah berupa kesaktian dari Dewi Durga untuk membasmi orang-orang jahat. 

Dewi Durga juga dipuja oleh orang-orang yang menekuni dunia supra natural seperti misalnya Jero Dasaran, Balian, dan sebagainya. Tujuannya untuk menolong orang-orang yang terancam jiwanya seperti terserang penyakit Desti, Teluh, dan Terangjana. Dewi Durga bukan hanya dewa pelebur, pemusnah, dan pembasmi. Beliau juga bersedia menyembuhkan orang-orang yang memiliki penyakit yang sudah sekarat. Makanya di Bali ada istilah Nunas di Dalem atau Nebusin, dan lain-lain. Tujuannya untuk menentukan apakah beliau berkenan untuk menyembuhkan nyawanya.
        
Di Bali ada istilah Nebusin yaitu menebus roh yang dijadikan agunan oleh orang-orang yang menekuni ilmu hitam. Bila orang Bali mengalami suatu penyakit dan sukar sembuhnya maka disarankan untuk mengadakan upacara Nebusin di pura Dalem. Tujuannya untuk menukar roh seseorang yang rencananya dikorbankan untuk ilmu hitam kemudian diganti dengan korban ayam hitam atau sesajen lain yang dipersembahkan kepada dewi Durga.
        
Barangsiapa memuja beliau, maka mereka dipastikan akan dijauhkan dari segala mara bahaya. Di Indonesia ada konsep yang salah mengenai Dewi Durga. Beliau dianggap sebagai ratunya para setan Dedemit. Padahal beliau ini menguasai mereka. Dan jika tanpa beliau, maka semua unsur iblis ini akan merajalela tidak terkendali. Di India dan di seluruh dunia beliau adalah dewi yang paling dipuja demi mendapatkan perlindungan dari serangan ilmu hitam.
                    
Apakah anda tahu? diantara semua dewa, mana yang paling dipuja oleh umat Hindu pada saat hari Galungan? Tentu saja Dewi Durga. Makanya di Bali pada saat hari Galungan pasti memasang Sampian Candigaan. Karena Candigaan berasal dari kata Candika, sementara Candika adalah nama lain dari Dewi Durga. Jika di India ada perayaan khusus untuk memuja Dewi Durga, perayaan itu bernama Durga Puja, Kalipuja, dan Wijaya Dasami.
             
Sementara di Bali tidak ada perayaan khusus yang memuja Dewi Durga. Karena Stana Dewi Durga hanya ada di pura Dalem.
Sedangkan Piodalan di pura Dalem selalu berbeda antara desa satu dengan desa lainnya. Dewi Durga sebagian besar dipuja oleh penganut aliran Tantrayana. Ciri khas persembahan untuk Dewi Durga adalah daging babi. Makanya pada saat hari Penampahan Galungan, masyarakat Bali membuat Upakara di halaman rumah berupa Pabiakalan didasari Apejatian, Tebasan Galungan, Penyeneng, dan Canang Genten yang dipersembahkan kepada Dewi Durga. Pada saat Penampahan juga memasang Penjor dengan Sanggah Cucuk sebagai tempat Upakara yadnya kepada Durga dalam wujud beliau sebagai Dewi Uma.

Di Bali, umat Hindu secara umum memang tidak banyak yang mengerti Mantra Mrtyunjaya yang dianugerahkan Dewi Durgha untuk Raja Sri Aji Jaya Kasunu yang juga sebagai pelindung jagat Bali. Namun, hasrat untuk mengusir mara bahaya, wabah penyakit dan sejenisnya itu terwujud dalam bentuk praktik tradisi merayakan Galungan yang disertai dengan pemasangan Penjor di depan rumah penduduk, sehari sebelumnya yaitu pada Selasa Wage Dungulan, diamanatkan untuk melaksanakan upacara Abeyakala disertai dengan bersenang-senang makan dan minum dengan terlebih dahulu mempersembahkan sesajen di pura masing-masing. Itu semua titah Bhatari Durgha, dan rakyat Bali hingga kini patuh untuk melaksanakannya, karena dengan memasang Penjor mereka yakin telah melakukan usaha untuk memenangkan dirinya terhadap berbagai halangan.