Jika berdiskusi tentang konsep Ahimsa di grup FB yang bernuansa Hindu, pasti akan menimbulkan kontroversi antar anggota grup. Pasalnya tradisi-tradisi Hindu di Bali sering dituding tidak sesuai dengan Weda. Alasannya, karena tradisi Hindu di Bali banyak sekali ada tradisi ritual yang menggunakan hewan korban sebagai persembahan. Karena sebagian besar umat Hindu di Bali masih menggunakan literatur literatur kuno seperti lontar Werti Sesana, Lontar Tapeni Yadnya, Sundarigama, Yama Tatwa, Kusumadewa, dan lain sebagainya. Lontar tersebut adalah beberapa literatur kuno yang memperbolehkan umatnya mempersembahkan darah dan daging binatang. Mungkin itulah sebabnya jika membahas masalah Ahimsa di Medsos akan berujung perdebatan yang sengit.
Pada dasarnya, setiap ritual yang memakai persembahan darah dan daging binatang adalah hasil imajinasi pikiran, persepsi pikiran, atau kesepakatan masyarakat. Yadnya di Bali merupakan Pawisik atau wahyu langsung dari tuhan. Makanya sebagian besar upacara Bhuta Yadnya pasti memakai babi guling. Tentang persembahan babi guling sangat erat kaitannya dengan paham Siwa Sidhanta dengan konsep Tantrayana. Babi guling diyakini sebagai simbol persembahan kepada dewi Durga yang akan memberikan anugrah kesaktian dan kharismatik. Babi guling dimaknai sebagai simbol memohon berkah, bermakna pembawa kemakmuran dan sebagai salah satu wujud syukur paling benar.
Memang belakangan ini ajaran Ahimsa sering disalahgunakan untuk menghakimi ritual yang dilakukan masyarakat Bali yaitu Caru. Konflik terjadi ketika ada oknum tertentu menganggap Caru dan ritual persembahan daging itu merupakan perbuatan yang sangat kejam. Sementara penganut Tantra di Bali menganggapnya tidak melanggar ajaran Ahimsa. Itu sebabnya diskusi di Sosmed jarang yang membahas tentang Ahimsa padahal konfliknya hanya pada persembahan daging saja. Tradisi Bebantenan di Bali yang berisi pembunuhan binatang seperti ritual Caru misalnya selalu menjadi kontroversi di kalangan umat Hindu.
Kenapa selalu menjadi kontroversi? Pasalnya Hindu terbagi menjadi dua kelompok yaitu pewaris jaman Weda dan pewaris jaman Brahmana. Kalau pewaris jaman Weda berprinsip tidak boleh menyakiti mahluk hidup dengan alasan apapun. Makanya kelompok tersebut tidak memiliki tradisi ritual yang mempersembahkan darah dan daging binatang. Sementara pewaris jaman Brahmana memiliki tradisi ritual Caru dan ritual yang berisi pembunuhan binatang. Itulah sebabnya kenapa ritual Caru selalu menjadi kontroversi. Di satu pihak ada yang melarang, sedangkan di pihak lain ada yang memperbolehkan. Bagi kelompok yang masih menjalankan tradisi ritual Caru meyakini bahwa dengan mengorbankan binatang sebagai Caru berarti telah melakukan Penyupatan terhadap binatang.
Apa itu Penyupatan? Penyupatan artinya mantra pada saat menyembelih binatang yang bertujuan untuk meningkatkan roh binatang agar dalam kehidupan berikutnya menjadi lebih sempurna. Atau roh binatang yang dijadikan korban Caru menjelma menjadi orang suci di kelahiran berikutnya. Ritual Caru merupakan kewajiban dan sebagai korban suci yang tulus ikhlas bagi umat hindu bernuansa Bali. Tuhan tahu roh binatang mana yang mati di pejagalan atau mati sebagai Caru atau juga mati karena penyakit dan usia tua. Beliau tahu siklus perputaran Atman. Jadi kita tidak perlu ragu. Karena beliau adil terhadap sebuah pengorbanan. Manusia hanya bisa mengucapkan mantra Penyupatan.
Perlu kita ketahui seandainya ritual Caru dihapus, toh manusia tidak terlepas dari pembunuhan seperti membunuh mahluk kecil seperti serangga hanya dalam hitungan detik. Jika anda sadar akan hal itu maka seharusnya anda diam dan jangan beranjak dari tempatmu semula selamanya agar tidak melakukan Himsa. Apakah anda bisa?
Menghina Caru merupakan salah satu contoh tindakan yang merendahkan keyakinan pihak lain sebagai bagian dari yadnya yang sudah barang tentu ada landasan filosofi dan etikanya. Panca yadnya yang dilaksanakan di Bali mungkin sudah ribuan tahun. Itu semua dilakukan sesuai dengan tatanan keagamaan dan diyakini umat Hindu di Bali. Jika ada pihak yang memberikan penilaian negatif tentang hal itu akan menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Karena ada pembenaran di atas pembenaran yang akan mereka suarakan.
Para tetua di Bali jaman dulu membuat konsep Yadnya Sesa mungkin bertujuan untuk Panyupatan dari aktifitas menyakiti tanpa sengaja seperti menginjak semut dan mikroorganisme lainnya. Memang hal itu tidak bisa dicerna dengan akal sehat tapi itulah yang dinamakan Niskala. Bukan hanya di Bali saja ada ritual yang berisi pembunuhan binatang sebagai persembahan. Bahkan di India juga ada ritual yang berisi pembantaian binatang yang dinamakan ritual Gadimai. Kendatipun dalam Weda mengajarkan tentang konsep Ahimsa, tetapi ketika ada umatnya melakukan ritual yang sering dianggap bertentangan dengan Weda, mereka tetap diakui sebagai Hindu. Karena watak ajaran Hindu adalah bersedia merangkul budaya dan kearifan lokal. Tanpa pernah mencibirnya, menentangnya, bahkan memusuhinya. Karena dalam sejarah Hindu belum pernah mencatat seorang tokoh Hindu yang melakukan peperangan dalam menyebarkan agamanya. Itulah kehebatan ajaran Hindu. Dan yang membuat saya semakin bangga memeluk Hindu karena keuniversalannya dan kefleksibelannya.
Dalam mempelajari Hindu, kita tidak bisa hanya melihat apa dan bagaimana
Hindu itu sekarang. Tapi harus bijak melihat sejarah Hindu secara
kronologis dan komprehensif. Misalnya Hindu itu kita umpamakan ibarat
gunung dan kita ibarat pendaki gunung. Maka pengalaman pendaki dari arah
barat pasti berbeda dengan cerita pengalaman dari arah timur. Ini bukan
berarti bahwa Hindu itu berbeda. Melainkan karena kita tidak melihat
Hindu secara keseluruhan atau komprehensif. Padahal yang benar itu
adalah kenyataan yang dialami dari semua arah.
Sangat bodoh jika kita
ngotot mengatakan bahwa gunung yang benar itu adalah hanya pengalaman
nyata yang dialami atau dilalui hanya oleh orang yang mendaki dari arah
barat saja atau timur saja. Begitu juga kita harus tahu ciri khas watak
Hindu itu yang tidak pernah memusuhi pengaruh dari luar. Hindu selalu
menyambut dan beradaptasi serta memanfaatkan bentuk-bentuk pengaruh luar
dan dielaborasikan dengan tatwa Hindu. Akibat watak Hindu inilah
membuat Hindu tidak pernah menganggap pengaruh luar sebagai musuh. Tapi
pengaruh luar disempurnakan menjadi bagian dari Hindu.
Lihat saja dalam acara ogoh-ogoh, dimana Bhutakala disempurnakan menjadi
dewa apalagi hanya pengaruh luar. Contoh lainnya adalah ritual Tabuh
Rah yang berasal dari pengaruh sekte Bhairawa atau Tantra. Jadi Hindu
tidak menganggapnya sebagai musuh. Watak asli orang Hindu adalah tidak
pernah melakukan Konfrontasi alias tidak boleh menentang keras tradisi
dan ritual-ritual Hindu. Karena jiwa yang ingin memerangi ritual-ritual
Hindu itulah yang sebenarnya bertentangan dengan konsep Ahimsa itu sendiri. Ahimsa bukan
saja diartikan tidak membunuh tapi bermakna luas. Bisa berarti tidak
keras, tidak kasar, dan tidak egois.
Dalam sejarah proses Weda, mengenai upacara tidak lahir
atau muncul sekali atau bersamaan. Tapi ada tahafan-tahafannya seperti
jaman Samhita, jaman Brahmana, Jaman Aranyaka, dan jaman Upanisad. Nah,
di jaman Brahmana itulah mulai masuk bentuk-bentuk ritual atau upacara. Tapi karena watak
Hindu yang tidak biasa menentang dengan kasar atau Konfrontasi sehingga
tradisi menyimpang itu terus berlanjut. Dan nyatanya apa saja yang
bersifat tradisi memang susah dihilangkan seketika. Jadi, mendalami
suatu agama tidak bisa berpikir hitam putih seperti kacamata kuda yang
hanya lurus pandangannya ke depan. Tapi juga harus mendalami ilmu lain
seperti sejarah, Antropologi, Psikologi, politik, karakter agama atas
dasar asal agamanya, dan lain-lain. Sehingga kita tidak akan mudah heran
dengan berbagai fenomena yang ada dalam suatu agama.