Senin, 15 April 2024

Siapa Nabi Agama Hindu?

Hindu tidak punya Nabi, tapi Hindu punya banyak Maharsi. Maharsi, Bukan Nabi. Para Rsi itu disebut Wipra, yaitu orang yang arif bijaksana. Orang yang ahli dan pandai. Hindu tidak mengenal Nabi, apalagi Nabi Terakhir, Tidak! Rsi adalah seorang spiritualis, yang berbeda jauh dengan Nabi. Hindu memang tidak memiliki tokoh sentral seperti Nabi dan itulah yang membedakan dengan keyakinan lainnya. Kenapa demikian? Begini :

Kebijakan alam semesta tidak akan dapat terserap hanya oleh satu orang dalam kurun waktu yang terbatas (dalam batas umur manusia), karena selalu akan ada hal yang baru muncul karena belum di ungkapkan. Itu sebenarnya sudah immanen dalam semesta, baru akan muncul pada periode berikutnya.

Maha Rsi akan muncul pada berbagai periode. Dengan kebijaksanaan yang agung itulah mereka (The Great Sage) menemukan esensi kebijaksanaan semesta deep-contemplation, anubhawa, sehingga kitab-kitab suci Sanatana Dharma bebas dari kalimat-kalimat kekerasan.

Sifat lain dari the great sage yaitu tidak mau di kultuskan karena kultus adalah pemeliharaan terhadap ego yang sudah tidak ada pada mereka. Kultus melahirkan fanatisme sempit. Artinya, Hindu mengenal banyak Maha Rsi yang menerima kebijakan Weda dalam banyak periode sebagai akibat anubhawa dimana egonya sudah terkikis.

Jumat, 12 April 2024

Benarkah Upacara Keagamaan Hindu Di Bali Adalah Suatu Pemborosan?

Di group Fb Paguyuban Hindu sering sekali saya lihat ada pengguna akun yang suka menuding bahwa ritual di Bali sebuah pemborosan dan ritual buang-buang duit. Pasalnya setiap enam bulan sekali umat Hindu di Bali harus mengeluarkan biaya banyak untuk keperluan yadnya dan acara Piodalan di pura. Belum ditambah dengan acara Ngenteg Linggih yang memakan biaya begitu banyak. Kenapa harus alamnya yang diberikan sesajen? Kenapa Bhutakala-nya yang harus disomia? Dan kenapa bukan manusianya yang harus diperbaiki agar sifatnya menjadi lebih berkualitas dalam bidang spiritual? Kenapa agama memberikan kita beban hutang berupa Tri Rna? Apakah hutang itu harus dibayar dengan ritual? Dan apakah hutang itu harus dibayar dengan biaya sampai jutaan rupiah?

Menanggapi tudingan tersebut, saya akan menjawab sebagai berikut. Pada intinya pelaksanaan umat Hidu di Bali mengambil konsep Bhakti Marga Yoga. Biarpun kita sering melakukan yadnya atau Ngodalin di pura setiap enam bulan sekali tetapi yang namanya Bhakti Marga adalah ketulusan dan keikhlasan bisa mencapai tujuan. Jadi sebagai tokoh agama, kita harus berpikir secara komprehensif yaitu bisa menilai masalah dari berbagai perspektif. Kita tidak bisa menilai masalah dengan menggunakan kacamata kuda yang lurus ke depan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena agama Hindu bukanlah ilmu pasti. Hanya masalahnya, kita merasa kasihan kepada umat yang berat secara ekonomi terlepas dari apakah mereka merasakan atau tidak?
                
Sebagai tokoh agama seharusnya kita tahu apa arti dari slogan Wasudewa Kutumbakam. Slogan itu maknanya bahwa kita semua adalah bersaudara. Di mata tuhan, semua mahluk punya hak yang sama. Termasuk hak memilih jalan untuk mendekatkan diri dengan tuhannya. Alangkah bijaknya, bagi orang yang merasa berilmu, merasa suci dan merasa pintar, sudah seharusnya memberikan wejangan yang bisa menyejukkan umat, bukan malah membuat propaganda. Pasalnya dalam menjalani kehidupan beragama sudah seharusnya sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan. Biarpun kita menyukai ritual, jika kita sudah mampu dan ikhlas, hal itu tidak menjadi masalah. Asalkan dengan catatan, ritual diimbangi dengan bersedekah atau suka menyisihkan uang untuk membantu orang-orang miskin. 

Yang perlu diingat adalah agama Hindu itu sifatnya fleksibel dan universal. Tuhan sengaja menciptakan manusia dengan agamanya yang berbeda-beda. Tapi jika kita bisa saling menghargai dan bisa introspeksi diri maka perbedaan itu akan menjadi sebuah seni. Terkadang keegoisan sering menimbulkan pertengkaran karena semuanya merasa paling benar dan paling tahu tentang tuhan. Maka dari itu, Hindu sering mengajarkan umatnya untuk menghilangkan musuh-musuh dan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Dalam Hindu ada konsep Trikaya Parisudha yaitu berpikir yang baik dan benar, berbuat yang baik dan benar serta berkata yang baik dan benar. Hindu juga memiliki konsep yang disebut Panca Satya salah satunya adalah Satya Wacana yaitu tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak sopan


Rabu, 10 April 2024

Mahabharata adalah sejarah.

Kenapa banyak orang yang mengatakan bahwa Mahabharata itu adalah dongeng? Menurut saya, mungkin karena kejadian-kejadian dalam cerita itu sangat ajaib. Misalnya ada wanita yang terlahir dari api seperti Drupadi. Ada juga yang terlahir dari telinga seperti Raja Anga. Ada juga yang memiliki anak tanpa melakukan hubungan seks. Melainkan lahir dari mantra yang diucapkan oleh dewi Kunti. Jadi para Pandawa itu semuanya terlahir dari mantra. Mungkin itulah sebabnya Mahabharata dibilang dongeng.

Jadi menurut saya, Mahabharata itu adalah sejarah. Mahabharata adalah peristiwa yang pernah terjadi lima ribu tahun yang lalu. Rsi Wyasa bukanlah pengarang Mahabharata. Melainkan beliau adalah penyusun peristiwa yang pernah terjadi pada saat itu. Kalau ada yang membantah pendapat saya, oke, saya tunggu bantahan anda.

Kenapa saya mengatakan bahwa Mahabharata itu adalah sejarah? Karena bukti tempat perang bangsa Bharata atau Kuruksetra masih ada sampai sekang. Dan tulang tengkorak yang ada di Kuruksetra adalah orang orang korban perang.

Memotong Hewan Untuk Yadnya Dibenarkan Menurut Lontar.

Jika berdiskusi tentang konsep Ahimsa di grup FB yang bernuansa Hindu, pasti akan menimbulkan kontroversi antar anggota grup. Pasalnya tradisi-tradisi Hindu di Bali sering dituding tidak sesuai dengan Weda. Alasannya, karena tradisi Hindu di Bali banyak sekali ada tradisi ritual yang menggunakan hewan korban sebagai persembahan. Karena sebagian besar umat Hindu di Bali masih menggunakan literatur literatur kuno seperti lontar Werti Sesana,  Lontar Tapeni Yadnya, Sundarigama, Yama Tatwa, Kusumadewa, dan lain sebagainya. Lontar tersebut adalah beberapa literatur kuno yang memperbolehkan umatnya mempersembahkan darah dan daging binatang. Mungkin itulah sebabnya jika membahas masalah Ahimsa di Medsos akan berujung perdebatan yang sengit. 
            
Pada dasarnya, setiap ritual yang memakai persembahan darah dan daging binatang adalah hasil imajinasi pikiran, persepsi pikiran, atau kesepakatan masyarakat. Yadnya di Bali merupakan Pawisik atau wahyu langsung dari tuhan. Makanya sebagian besar upacara Bhuta Yadnya pasti memakai babi guling. Tentang persembahan babi guling sangat erat kaitannya dengan paham Siwa Sidhanta dengan konsep Tantrayana. Babi guling diyakini sebagai simbol persembahan kepada dewi Durga yang akan memberikan anugrah kesaktian dan kharismatik. Babi guling dimaknai sebagai simbol memohon berkah, bermakna pembawa kemakmuran dan sebagai salah satu wujud syukur paling benar.
             
Memang belakangan ini ajaran Ahimsa sering disalahgunakan untuk menghakimi ritual yang dilakukan masyarakat Bali yaitu Caru. Konflik terjadi ketika ada oknum tertentu menganggap Caru dan ritual persembahan daging itu merupakan perbuatan yang sangat kejam. Sementara penganut Tantra di Bali menganggapnya tidak melanggar ajaran Ahimsa. Itu sebabnya diskusi di Sosmed jarang yang membahas tentang Ahimsa padahal konfliknya hanya pada persembahan daging saja. Tradisi Bebantenan di Bali yang berisi pembunuhan binatang seperti ritual Caru misalnya selalu menjadi kontroversi di kalangan umat Hindu. 

Kenapa selalu menjadi kontroversi? Pasalnya Hindu terbagi menjadi dua kelompok yaitu pewaris jaman Weda dan pewaris jaman Brahmana. Kalau pewaris jaman Weda berprinsip tidak boleh menyakiti mahluk hidup dengan alasan apapun. Makanya kelompok tersebut tidak memiliki tradisi ritual yang mempersembahkan darah dan daging binatang. Sementara pewaris jaman Brahmana memiliki tradisi ritual Caru dan ritual yang berisi pembunuhan binatang. Itulah sebabnya kenapa ritual Caru selalu menjadi kontroversi. Di satu pihak ada yang melarang, sedangkan di pihak lain ada yang memperbolehkan. Bagi kelompok yang masih menjalankan tradisi ritual Caru meyakini bahwa dengan mengorbankan binatang sebagai Caru berarti telah melakukan Penyupatan terhadap binatang.
     
Apa itu Penyupatan? Penyupatan artinya mantra pada saat menyembelih binatang yang bertujuan untuk meningkatkan roh binatang agar dalam kehidupan berikutnya menjadi lebih sempurna. Atau roh binatang yang dijadikan korban Caru menjelma menjadi orang suci di kelahiran berikutnya. Ritual Caru merupakan kewajiban dan sebagai korban suci yang tulus ikhlas bagi umat hindu bernuansa Bali. Tuhan tahu roh binatang mana yang mati di pejagalan atau mati sebagai Caru atau juga mati karena penyakit dan usia tua. Beliau tahu siklus perputaran Atman. Jadi kita tidak perlu ragu. Karena beliau adil terhadap sebuah pengorbanan. Manusia hanya bisa mengucapkan mantra Penyupatan.
         
Perlu kita ketahui seandainya ritual Caru dihapus, toh manusia tidak terlepas dari pembunuhan seperti membunuh mahluk kecil seperti serangga hanya dalam hitungan detik. Jika anda sadar akan hal itu maka seharusnya anda diam dan jangan beranjak dari tempatmu semula selamanya agar tidak melakukan Himsa. Apakah anda bisa? 
     
Menghina Caru merupakan salah satu contoh tindakan yang merendahkan keyakinan pihak lain sebagai bagian dari yadnya yang sudah barang tentu ada landasan filosofi dan etikanya. Panca yadnya yang dilaksanakan di Bali mungkin sudah ribuan tahun. Itu semua dilakukan sesuai dengan tatanan keagamaan dan diyakini umat Hindu di Bali. Jika ada pihak yang memberikan penilaian negatif tentang hal itu akan menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Karena ada pembenaran di atas pembenaran yang akan mereka suarakan.
            
Para tetua di Bali jaman dulu membuat konsep Yadnya Sesa mungkin bertujuan untuk Panyupatan dari aktifitas menyakiti tanpa sengaja seperti menginjak semut dan mikroorganisme lainnya. Memang hal itu tidak bisa dicerna dengan akal sehat tapi itulah yang dinamakan Niskala. Bukan hanya di Bali saja ada ritual yang berisi pembunuhan binatang sebagai persembahan. Bahkan di India juga ada ritual yang berisi pembantaian binatang yang dinamakan ritual Gadimai. Kendatipun dalam Weda mengajarkan tentang konsep Ahimsa, tetapi ketika ada umatnya melakukan ritual yang sering dianggap bertentangan dengan Weda, mereka tetap diakui sebagai Hindu. Karena watak ajaran Hindu adalah bersedia merangkul budaya dan kearifan lokal. Tanpa pernah mencibirnya, menentangnya, bahkan memusuhinya. Karena dalam sejarah Hindu belum pernah mencatat seorang tokoh Hindu yang melakukan peperangan dalam menyebarkan agamanya. Itulah kehebatan ajaran Hindu. Dan yang membuat saya semakin bangga memeluk Hindu karena keuniversalannya dan kefleksibelannya. 
                          
Dalam mempelajari Hindu, kita tidak bisa hanya melihat apa dan bagaimana Hindu itu sekarang. Tapi harus bijak melihat sejarah Hindu secara kronologis dan komprehensif. Misalnya Hindu itu kita umpamakan ibarat gunung dan kita ibarat pendaki gunung. Maka pengalaman pendaki dari arah barat pasti berbeda dengan cerita pengalaman dari arah timur. Ini bukan berarti bahwa Hindu itu berbeda. Melainkan karena kita tidak melihat Hindu secara keseluruhan atau komprehensif. Padahal yang benar itu adalah kenyataan yang dialami dari semua arah.        
               
Sangat bodoh jika kita ngotot mengatakan bahwa gunung yang benar itu adalah hanya pengalaman nyata yang dialami atau dilalui hanya oleh orang yang mendaki dari arah barat saja atau timur saja. Begitu juga kita harus tahu ciri khas watak Hindu itu yang tidak pernah  memusuhi pengaruh dari luar. Hindu selalu menyambut dan beradaptasi serta memanfaatkan bentuk-bentuk pengaruh luar dan dielaborasikan dengan tatwa Hindu. Akibat watak Hindu inilah membuat Hindu tidak pernah menganggap pengaruh luar sebagai musuh. Tapi pengaruh luar disempurnakan menjadi bagian dari Hindu.
             
Lihat saja dalam acara ogoh-ogoh, dimana Bhutakala disempurnakan menjadi dewa apalagi hanya pengaruh luar. Contoh lainnya adalah ritual Tabuh Rah yang berasal dari pengaruh sekte Bhairawa atau Tantra. Jadi Hindu tidak menganggapnya sebagai musuh. Watak asli orang Hindu adalah tidak pernah melakukan Konfrontasi alias tidak boleh menentang keras tradisi dan ritual-ritual Hindu. Karena jiwa yang ingin memerangi ritual-ritual Hindu itulah yang sebenarnya bertentangan dengan konsep Ahimsa itu sendiri. Ahimsa bukan saja diartikan tidak membunuh tapi bermakna luas. Bisa berarti tidak keras, tidak kasar, dan tidak egois.
              
Dalam sejarah proses Weda, mengenai upacara tidak lahir atau muncul sekali atau bersamaan. Tapi ada tahafan-tahafannya seperti jaman Samhita, jaman Brahmana, Jaman Aranyaka, dan jaman Upanisad. Nah, di jaman Brahmana itulah mulai masuk bentuk-bentuk ritual atau upacara. Tapi karena watak Hindu yang tidak biasa menentang dengan kasar atau Konfrontasi sehingga tradisi menyimpang itu terus berlanjut. Dan nyatanya apa saja yang bersifat tradisi memang susah dihilangkan seketika. Jadi, mendalami suatu agama tidak bisa berpikir hitam putih seperti kacamata kuda yang hanya lurus pandangannya ke depan. Tapi juga harus mendalami ilmu lain seperti sejarah, Antropologi, Psikologi, politik, karakter agama atas dasar asal agamanya, dan lain-lain. Sehingga kita tidak akan mudah heran dengan berbagai fenomena yang ada dalam suatu agama.

                         
    

Senin, 08 April 2024

Masalah Cuntaka Atau Sebel.

Maaf, ya? Saya mau bertanya tentang masalah Cuntaka atau Sebel karena kematian. Sejak kapan seseorang sudah memasuki masa Cuntaka itu dan sampai kapan ? mohon pencerahannya. Terimakasih.

Di Bali masing masing desa memiliki tradisi yang berbeda- beda. Jadi jawaban yang anda dapatkan pasti tidak sama. Tergantung kepada siapa anda bertanya. Mulai kapan seseorang dinyatakan Sebel ketika ada salah satu keluarga Purusa ada yang meninggal?  Ada yang punya tradisi pada saat itu juga keluarga satu Purusa atau keluarga satu Kemulan dinyatakan Sebel. Ada juga yang memiliki tradisi sebelum jenazah diletakkan di Bale Dangin atau di Bale Semangen, atau sebelum Nunas Tirta ke Kemulan, maka keluarga tersebut belum memasuki masa Cuntaka atau Sebel. Begitu juga dengan batas waktu Sebel. Sebel Ada batas waktunya. Ada yang mengambil sebel 7 hari setelah masa penguburan. Ada juga yang mengambil sebel 11 hari. Tetapi beda lagi dengan jenazah yang dikremasi atau diaben. Ada yang sudah hilang masa Cuntakanya ketika abu jenazah dihanyutkan ke laut atau Sulinggih menghaturkan Pebersihan di Kemulan. Ada juga Ngaturang Bersihan secara adat sendiri keesokan harinya atau lagi tiga harinya. Setelah melaksanakan ritual Ngaturang Pabersihan maka sebel dinyatakan sudah hilang. Dan sudah diperbolehkan sembahyang atau memasuki tempat suci seperti pura dan lain sebagainya. 

Istilah Sebel bukan hanya karena kematian saja. Karena ada juga istilah Gamya Gamana atau kasus hubungan badan antara anak dengan ibu kandungnya sendiri atau ayah kandung dengan putrinya, atau kakek dengan cucunya. Atau ada juga kasus hubungan seks antara manusia dengan hewan seperti sapi dan lain sebagainya. Di desa tersebut dinyatakan Sebel apabila salah satu keluarga pelaku melapor ke adat. Tapi jika kasusnya ditangani oleh pihak kepolisian, maka yang Sebel adalah keluarga Lilitan-nya saja.
             
Ada juga istilah leteh yang artinya tercemar. Misalnya ada tempat mesum dan tempat kumpul kebo. Ada juga rumah yang pernah menjadi tempat tragedi pembunuhan atau perkelahian sampai meneteskan darah. Atau juga seorang wanita yang mengalami keguguran. Maka sudah seharusnya tempat tersebut dibuatkan upacara Caru Pabersihan.

Ada juga Cuntaka karena wanita yang sedang menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan memasuki tempat suci seperti pura, Kemulan, dan lain sebagainya, selama menstruasi belum hilang. Dalam sastra dijelaskan bahwa wanita yang habis menstruasi Wajib dibuatkan upacara pembersihan. 

Ada juga Cuntaka untuk ibu yang habis melahirkan. Yang terkena cuntaka adalah ibu yang habis melahirkan tersebut, sang bayi dan sang suami.
Batas waktu Cuntaka adalah sampai lepas tali pusar sang bayi. 

Ada juga Cuntaka karena perkawinan. yang terkena cuntaka adalah kedua mempelai. Berakhirnya cuntaka apabila sudah mendapat upacara penyucian atau mendapat Tirta Pabeakaonan.

Ada juga Cuntaka karena Kehamilan diluar nikah.
Cuntaka ini baru selesai setelah diadakannya upacara Beakaon.
Ada juga Cuntaka akibat hubungan seks diluar perkawinan atau pernikahan.
Yang terkena cuntaka adalah mereka berdua dan kamar yang dijadikan tempat untuk melakukan seks. Batas waktunya adalah sampai upakara Beakaon.

Bagi umat Hindu yang mengalami Cuntaka wajib untuk melakukan upacara pembersihan atau penyucian seperti Prayascita, Durmanggala, Beakala atau Beakaon  Pedudusan, Caru dan lain sebagainya.

Tradisi sebel ini sudah terjadi secara turun temurun. Sehingga banyak yang mengatakan kalau pada saat Sebel atau Cuntaka tidak boleh sembahyang atau ke tempat suci. Hal tersebut adalah benar karena memang pada saat kita sembahyang atau ke tempat suci, kita sudah seharusnya dalam keadaan pikiran yang tenang dan penuh dengan rasa ikhlas. Apabila kita sedang Cuntaka karena ada kematian keluarga, tentu suasana hati sedang tidak baik. Makanya tidak dianjurkan untuk sembahyang apalagi ke tempat suci karena aura kita yang sedang berduka bisa mengakibatkan ketidakseimbangan alam.