Kamis, 04 November 2021

Kasta Bukan Hanya Ada Dalam Adat.

Kasta sekarang sudah bukan di kehidupan beradat dan beragama lagi. Sekarang Kasta sudah beralih di kehidupan sosial bernegara. Contoh naik kereta dan pesawat terbang saja ada istilah kelas bisnis dan kelas ekonomi. Ada istilah pejabat dan ada istilah rakyat. Ada istilah orang kaya dan ada istilah orang miskin. Ada istilah pucuk pimpinan dan ada istilah anggota. Ada istilah institusi yang mana didalamnya ada ketua dan anak buah. Kalau soal sosial adat keagamaan sudah tidak ada lagi karena kita menganut sistem demokrasi. Adapun Soroh atau Wangsa atau dinasti yang kita pakai di Bali adalah sistem Geneologis, Kawitan, dan keturunan yang mana sifatnya untuk diri sendiri atau bentuk bakti Ring Kawitan. Dari jaman dahulu kala di Bali praktek Kasta yang seutuhnya tidak pernah dilakukan. Terbukti dengan adanya tokoh suci, tokoh panutan, dan tokoh sosial yang dimiliki dari masing-masing Klan, yang mana semua punya hak yang sama dalam menjalani tugas.

            Tapi kasta yang menjadi masalah bukan kasta masalah adat agama tetapi dalam kondisi sosial berenegara. Orang miskin, orang tidak mampu, orang tidak berpendidikan, orang disabilitas, sudahkah punya hak yang sama di kehidupan sosial? Ini sangat jarang jadi sorotan dan pembahasan. Yang bilang kasta sudah tidak ada, perlu diperiksakan semua matanya. Mata hati, mata batin, mata kepala dan mata pencahariannya. Di Bali jualan kasta sebagai bual-bualan sudah usang. Kalau sistem kasta memang di Bali itu kental. Tidak mungkinlah saat bergabung ke NKRI kita tidak tanpa syarat dan memilih demokrasi. Pasti kita sudah minta Otsus seperti Yogya dan Aceh. Dimana raja sebagai pemimpin pemerintahan. Sebaliknya lagi kasta dikira cuma dalam kehidupan sosial adat agama saja.

         Di kehidupan sosial bernegara juga ada dan tidak akan pernah terhapus. Kalau bicara masalah keturunan atau orang kaya tujuh turunan atau apalah yang sudah terlanjur memegang tampuk kekuasaan di politis apakah bukan bagian dari kasta? Justru di Bali yang kita pakai sebenrnya sistem geneologis Kawitan. Yang mana suatu sistem dinasti buktinya di Bali setiap klan mempunyai tokoh suci, tokoh pejuang, tokoh umat dan tokoh masyarakat seperti misalnya Pande, Pasek, Ida Bagus, dan lain sebagainya. Kalau ada orang yang berjargon kalau di adat Bali saat ini masih menganut kasta, maka perlu diperiksakan kejiwaan atau pengalaman mainnya. Sudah jauh atau belum? Mulai dari Bendesa, tokoh adat, Sulinggih, semua berasal dari Soroh apa saja boleh. Asalkan bisa mengemban amanah dan kewajiban. Andai ada satu atau dua orang yang masih meninggikan diri dengan klan, itu hanya suatu candu sosial biasa. Sebab diluar sana juga banyak yang meninggikan diri sebagai pemimpin ormas, parpol, politisi, dan lain sebagainya. Bahkan termasuk di dunia kerja juga banyak ada Rasisme, strata sosial dan kesenjangan sosial.

Sabtu, 28 Agustus 2021

Apakah Tumpek Landep Memuja Keris Atau Mobil?

Menurut Lontar Sundarigama, pada perayaan Tumpek Landep itu sesungguhnya yang dipuja Sanghyang Siwa sebagai Sanghyang Pasupati. Yang diupacarai saat Tumpek Landep itu adalah segala senjata tajam. Dalam konteks kekinian senjata mesti dimaknai sebagai segala sarana yang digunakan untuk menunjang profesi dan mencapai tujuan. Cara memenangkan perang adalah batasi keinginan, buat standar hidup yang mendamaikan hati serta jangan biarkan mata dan telinga tanpa kontrol. 

Akhir-akhir ini sering kita dengar Dharmawacana di berbagai media baik online maupun media lainnya bahwa kebiasaan orang Bali di hari Tumpek Landep, Menghaturkan persembahan terhadap mobil motor ataupun kendaraan lainnya sebagai hal yang keliru. Karena menurut beliau, hari Tumpek Landep adalah pemujaan terhadap Sanghyang Pasupati yang berstana di senjata pusaka. Tetapi kecerdasan spiritual orang Bali dalam mengadopsi perubahan jaman semakin meningkat. Mari kita lihat apa itu keris atau senjata pusaka? Keris selama ini tidak pernah dipergunakan sebagai senjata untuk berperang. Karena secara logika saja kalau kita berperang menggunakan keris maka kita akan terlebih dahulu kena tusuk oleh orang yang bersenjata tombak, panah, atau senjata yang lebih panjang lainnya. Jadi kalau orang berperang, keris tetap ada di pinggangnya.

Kecuali seorang panglima bertarung satu lawan satu dengan lawan yang juga bersenjata keris. Jadi sekali lagi, keris secara umum bukan senjata berperang. Lalu untuk apa orang memiliki keris? Keris adalah Pajenengan atau Piandel. Keris menunjukan derajat tingkat dan golongan orang di masyarakat. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka kerisnya akan semakin mewah dan berwibawa. Biasanya kalau orang jaman dulu mau membuat keris, sang Mpu akan bertanya apa profesi kita? Apa status sosial kita? Jadi intinya keris menunujukan status sosial seseorang di masyarakat. Sekarang jaman sudah berubah. Masihkah orang menggunakan keris sebagai tolak ukur status sosial seseorang di masyarakat? Di jaman sekarang simbol status sosial itu ada pada mobil motor atau kendaraan pribadi yang kita miliki. Jadi salahkah di hari Tumpek Landep ini kita memohon agar Sanghyang Pasupati memberkati simbol status sosial kita? Jaman dulu karena profesi orang terbatas maka alat bantu profesi yang diupacarai juga terbatas misalnya cangkul, palu dan sabit. Sekarang alat bantu profesi sangat variatif, ada mesin bubut, ada tower signal, dan pesawat terbang. Apakah keliru kalau semua itu juga diupacarai agar Sanghyang Pasupati berstana disana? 


             

                    
 
 

Kamis, 07 Januari 2021

Yadnya Sesa Atau Banten Saiban.

Yadnya Sesa atau Mesaiban merupakan aktivitas yang biasa kita lakukan sehari-hari. Namun sudahkah kita tahu dasar kita melakukan Ngejot sehari-hari? Apa yang akan kita jawab ketika ada seorang Non Hindu yang bertanya alasan kita Ngejot? Tidak mungkin kita menjawab dengan pernyataan "Nak Mule Keto" Khan? Yang menjadi dasar hukum kita melakukan Ngejot bisa kita temukan dalam Weda salah satunya di Bagawadgita 3-13 yang berbunyi " Para penyembah tuhan dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang lain yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan Indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja. 

Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Tujuan Mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. 

Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Banten Saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya Banten Saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. 

Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana. Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta diantaranya Pertiwi(tanah),biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman., Apah(Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air. Teja(Api), ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor, Bayu, ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi, dan Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).

 Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu. Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu. Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.