Rabu, 25 September 2019

Apakah Bhutakala Sama Dengan Jin?

Apakah Bhutakala sama dengan jin atau setan? Kalau menurut saya, Bhutakala tidak sama dengan jin atau setan. Jika jin atau setan dalam agama lain diusir agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Sedangkan Bhutakala tidak diusir tetapi diberikan Lelaban atau sesajen agar hatinya menjadi Somia atau senang. Setelah hatinya senang maka ia akan berubah menjadi dewa. Itulah hebatnya Hindu. Lalu apakah Hindu itu pemuja Bhutakala? Jawabannya adalah tidak. Hindu itu bukanlah pemuja Bhutakala. Walaupun umat Hindu sering memberikan Lelaban kepada Bhutakala, itu bukan berarti Hindu memuja Bhutakala. Buktinya pada saat memberikan Lelaban pasti ditaruh di bawah. Ibarat kita memberi makanan pada sapi, bukan berarti kita memuja sapi. Memberi makanan berbeda maknanya dengan memuja.
             
Memberi makanan pada hewan peliharaan adalah bentuk rasa kasih sayang terhadap mahluk hidup. Lalu kenapa hanya umat Hindu di Bali saja memiliki konsep memberikan sesajen kepada Bhutakala? Tidak juga. Di India juga ada sistem penghormatan terhadap Bhutakala. Kalau anda tidak percaya, silahkan tonton serial Mahadewa. Pasalnya serial Mahadewa adalah produk India, bukan produk Bali. Jika ada orang yang mengatakan bahwa hanya umat Hindu di Bali saja yang memiliki konsep penghormatan terhadap Bhutakala, berarti orang itu salah.
         
Lalu kenapa demi menyenangkan Bhutakala, umatnya begitu tega mengorbankan binatang sebagai persembahan? Terkadang hewan dibunuh untuk ritual Caru. Apakah hal itu tidak melanggar konsep Ahimsa? Bukankah dalam Weda perbuatan membunuh dengan alasan apapun sangat dilarang? Betul sekali. Dalam sloka Weda sangat melarang tindakan membunuh. Tetapi watak Hindu itu sangat permisif dan toleransi terhadap budaya dan kearifan lokal.
         
Ritual Caru itu adalah tradisi lokal. Hindu tetap mengakui tradisi tersebut sebagai bagian dari Hindu. Itulah hebatnya Hindu. Hindu tidak suka mencibir, atau sinis, apalagi menentang tradisi yang dianggap bertentangan dengan Weda. Karena pengertian Ahimsa tidak saja berarti tidak membunuh. Ahimsa juga berarti tidak melakukan konfrontasi atau menentang tradisi lokal secara radikal hingga membuat kelompok lain sakit hati. Kita sebagai penekun spiritual tidak boleh melakukan konfrontasi. Jika level spiritual kita semakin tinggi, seharusnya kita bisa menghormati tradisi kelompok lain.
               
Apakah tradisi yang berisi pembunuhan hewan bisa dihapus? Menurut saya, yang namanya tradisi itu sulit sekali untuk dihapus. Justru tradisi itu semakin lestari dari abad ke abad. Andai saja tradisi bisa dihapus, mungkin sudah dari dulu terhapus tanpa anda bersusah-susah untuk menghapusnya. Jangankan Hindu etnis Bali, Hindu Etnis India pun punya ritual yang berisi pembunuhan hewan yang lebih sadis dibandingkan pembunuhan hewan di Bali. Ritual tersebut bernama ritual Gadimai yang masih lestari sampai sekarang walaupun ada pihak tertentu yang menyarankan agar ritual tersebut dihentikan.
 
Kenapa Hindu Di Bali Menyembah Bhutakala?
-----------------------------------------------
 
Menurut saya, tradisi menyembah Bhutakala bukan hanya ada di Hindu Bali.Hindu di India pun mengenal tradisi menyembah Bhuta. Kalau tak percaya, coba saksikan film India yang berjudul Mahadewa. Ketika terjadi perang antara para dewa melawan para Bhuta. Bukankah boss para dewa adalah dewa Siwa juga? Jadi kesimpulannya adalah dewa dan Bhuta itu pada prinsipnya adalah sama-sama anak dari tuhan. Dan yang perlu kita ingat  adalah film Mahadewa adalah produk India dan bukan produk Bali. Dengan kata lain umat Hindu di India pun mengakui bahwa Bhuta  itu bukan mahluk haram. Maka dari itu, Hindu di Bali mengenal istilah Dewa Ya Bhuta Juga Ya.
              
Kemudian pada hari Pengrupukan atau malam sebelum hari Nyepi ada istilah Nyomia Bhuta menjadi dewa yang disebut dengan ritual Tawur Kasanga. Hindu di Bali juga membuat Ogoh-Ogoh pada hari itu sebagai simbol perwujudan Bhutakala. Oleh karena dewa dan Bhuta sama-sama anak dari tuhan, makanya Bhuta dalam Hindu tidak diusir atau dimusuhi. Melainkan diberi Labahan atau Segehan [makanan] agar mereka tidak mengganggu menurut mitologi Hindu di Bali.
      
Memberi makanan tidak sama dengan menyembah sebagaimana pendapat agama non Hindu dan orang yang mengaku Hindu tidak boleh berpandangan seperti itu. Kita menyayangi dan memberi makan pada sapi bukan berarti kita menyembah sapi melainkan simbol menyayangi semua mahluk atau yang biasa disebut dengan Prema.
           
Orang yang terbiasa membaca kitab suci pasti selalu menanyakan sesuatu hal atau tadisi itu apakah ada dalam kitab suci. Hal itu adalah wajar dan tidak salah. Mereka ingin tahu dan mereka sudah mulai berpikiran kritis. Maka dari itu kita sebagai Hindu harus bisa menjelaskan sesuatu kepada mereka yang belum mengerti. Karena Hindu itu bukan agama hukum dan tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Belajar Hindu harus secara komprehensif dan kronologis. Contohnya, apakah Ogoh-Ogoh ada dalam kitab suci? Tentu saja tidak ada. Pasalnya dasar sastra yang menyebut Ogoh-Ogoh memanglah tidak ada. Tapi yang ada hanyalah mengusir Bhutakala. Dan mengusir Bhutakala model Hindu tidaklah sama caranya dengan model agama lain dalam mengusir setan. Kalau agama lain mengusir setan dengan cara kasar yakni dilempar. Tapi kalau cara Hindu adalah dengan menyenangkan atau memberi Segehan atau Caru. Sementara Ogoh-Ogoh adalah Bhutakala yang Personifikasi atau dibuatkan wujud.
          
Banyak orang-orang yang suka filsafat sering menyarankan agar tradisi mengarak ogoh-ogoh saat malam sebelum Nyepi dihilangkan. Tentu saja hal ini akan menjadi kontroversi dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Jika Ogoh-Ogoh dihilangkan, itu artinya sama dengan menghapus Hindu karena itu adalah hiburan keagamaan. Tapi yang harus selalu ada dalam menyambut Nyepi adalah penyucian desa dan rumah dengan api. Tujuannya untuk menetralisir hal-hal negatif ataupun kekotoran.
           
Kenapa di Bali harus ada Ogoh-Ogoh ketika menyambut Nyepi? Karena Ogoh-Ogoh di Bali adalah simbol Bhutakala atau sifat negatif manusia. Makanya Bhutakala itu tidak dihilangkan dengan cara kasar tetapi dengan cara halus. Denga cara memberikan Caru atau Segehan yang disebut Tawur Kesanga agar Bhutakala itu senang hatinya. Ketika hatinya sudah senang maka beliau akan berubah menjadi Dewa menurut konsep Hindu Di Bali. Ketika beliau telah berubah menjadi Dewa, maka kita akan tenang melakukan Catur Brata Penyepian yaitu empat hal yang dilarang saat Nyepi diantaranya tidak boleh menyalakan api. Dan api disini bukan saja berarti api, tetapi juga berarti api amarah yang ada di dalam diri manusia dan api hawa nafsu yang disebut Sadripu (anda bisa baca bagian dari Sadripu di topik lain). Yang kedua tidak boleh bekerja, ketiga tidak boleh bepergian, dan keempat adalah tidak boleh bersenang-senang.
            
Saya sangat setuju dengan adanya Ogoh-Ogoh di malam Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Asalkan Ogoh-Ogoh Itu berbentuk Bhutakala seperti Raksasa, Celuluk, Rangda dan lain-lain. Asalkan Ogoh-Ogoh itu tidak menyimpang dari tema Bhutakala. Karena jaman sekarang itu kreatifitas seseorang hampir melewati batas norma kemanusiaan yang melanggar undang-undang Pornografhy. Misalnya membuat ogoh-ogoh yang bersifat Porno dengan memperlihatkan alat kelamin pada ogoh-Ogoh. Kalau Ogoh-Ogoh sampai dibuat ada kelaminnya, itu oknum perorangan yang tidak mengerti filsafat agama, etika, dan ritual dan juga tidak memikirkan dampak negatifnya. Ogoh-Ogoh yang menampilkan hal-hal porno sangatlah bertentangan dengan undang-undang Pornografi dan juga bertentangan dengan ajaran agama.
                   
Selain menyembah Bhutakala, Hindu di Bali juga mengenal konsep memanusiakan alam atau lingkungan dan juga memanusiakan tuhan. Makanya orang-orang yang tidak paham dengan Hindu tradisi Bali, mereka pasti akan mengatakan bahwa Hindu di Bali adalah penyembah mahluk halus, bersekutu dengan setan, iblis, penyembah berhala, pohon, batu, dan lain-lain.
           
Konsep memanusiakan alam dalam tradisi Bali misalnya pohon dihiasi dengan pakaian layaknya manusia mengenakan pakaian. Pohon juga diberikan hidangan layaknya manusia diberi hidangan. Bagaimanapun juga, Hindu di Bali tetap memegang teguh konsep Wyapi Wyapaka yang artinya tuhan ada di mana mana termasuk ada di pohon, batu, dan lain-lain. Meskipun Hindu di Bali dituduh penyembah berhala, tapi Hindu di Bali tetap memuja Hyang Widhi. Mengenai Hindu di Bali diperbolehkan mempersembahkan darah dan daging binatang, itu disebabkan karena Hindu di Bali menganut paham Siwa Sidanta dan Bairawa
         
Umat Hindu di Bali banyak dipengaruhi faham atau filsafat dari Siwa Sidhanta sehingga tak heran hampir setiap pura di Bali memiliki Pratima dalam wujud sakti Kroda. Wujud Barong, Ratu Ayu, Ratu Niang, Ratu Gede, Ratu Jero Wayan adalah yang paling populer selain itu ada juga berbagai macam Tapel dari wujud binatang sampai pada wujud raksasa. Bentuk dan wajah yang menyeramkan ini dipuja guna memperoleh perlindungan dan sifat-sifat jahat itu sendiri.
                  
Hindu memandang Bhutakala ataupun mahluk jahat yang lain bukan sebagai unsur kejahatan mutlak, bukan sebagai musuh, atau sesuatu yang seharusnya tak ada di antara manusia dan tuhan. Melainkan bagian dari rangkaian penciptaan yang lahir dari sang pencipta sendiri. Tanpa kehadiran mereka, tidak akan ada yang disebut sebagai kebaikan. Bagaimana kalau kekuatan jahat itu tidak ada? Mungkin alam yang kita pijak sekarang ini bukanlah bernama bumi. Disinilah tempat keberadaannya semua Tatwa termasuk Rwa Bhineda sebagai dua perbedaan yang tetap seimbang. Umat Hindu pada saat melaksanakan rangkaian upacara apapun, selalu menghadirkan atau mengundang para Bhutakala dalam upacara yadnya. Bhutakala juga diundang untuk diberi sesajen dan setelah mereka menikmatinya diharapkan untuk tidak mengganggu proses dan jalannya upacara yadnya. Satu hal lagi yang unik yaitu rasa bersahabat yang diberikan dan ditunjukkan oleh orang-orang Hindu kepada Bhutakala, dimana setiap pagi setelah kita memasak, kita memberikan persembahan rutin dalam wujud Yadnya Sesa. Semua yang kita lakukan itu ada landasan Filosofinya dari Weda sendiri. Bukan sekedar ritual yang tak beralasan dan yang bersifat sia-sia. Bukan suatu ketakutan dari orang-orang Hindu terhadap kekuatan Bhutakala apalagi untuk menduakan tuhan.
               
Dan mengenai Ritual Mecaru atau Tawur mempunyai makna untuk memberikan upah kepada para Bhuta supaya tidak mengganggu saat melaksanakan pemujaan. Setelah para Bhuta tersebut diberikan Lelaban atau upah melalui ritual Mecaru, maka mereka tidak akan mengganggu dalam kurun waktu tertentu sesuai besarnya upah yang diberikan. Setelah kurun waktunya habis maka para Bhuta tersebut akan mengganggu lagi sehingga perlu dilakukan ritual Mecaru lagi, begitu seterusnya. Kenapa para Bhuta perlu diberikan upah sebelum melaksanakan pemujaan? Secara umum, umat Hindu di Bali melakukan pemujaan akan mempersembahkan daging yang merupakan kesenangan para Bhuta. Jika para Bhuta tersebut tidak diberikan upah maka persembahan yang ada dagingnya tersebut akan diambil oleh para Bhuta. Berbeda halnya jika dalam melakukan pemujaan tidak mempersembahkan daging maka tidak perlu dilakukan ritual Mecaru. Karena persembahan tersebut tidak akan diganggu karena tidak ada dagingnya. Yang dimaksud Nyomya saat ritual Mecaru adalah berdamai. Artinya setelah para Bhuta diberikan upah melalui ritual Mecaru atau Tawur maka mereka tidak akan mengganggu karena sudah berdamai dalam kurun waktu tertentu. Dalam Bhagawadgita sloka 13-21 dijelaskan bahwa alam adalah penyebab segala sebab dan akibat material. Sedangkan mahluk hidup adalah penyebab berbagai penderitaan dan kenikmatan di dunia ini. Mungkin penjelasan dari sloka di atas adalah apabila Atman menempati badan sebagai para Bhuta maka ia akan berprilaku sebagai para Bhuta dan ia tidak akan bisa merubah prilakunya apalagi seperti para Dewa. Hanya dengan diberikan Lelaban atau segehan melalui ritual Mecaru. Selain itu, yang berwenang menentukan naik turunnya tingkat sang roh adalah perbuatannya sendiri dan rasa bhaktinya terhadap tuhan.
        
Sementara ritual Kesanga atau sehari sebelum Nyepi merupakan upacara Bhuta Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Tawur artinya membayar atau mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari alam itu dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Bhuta dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis.


Kamis, 27 Juni 2019

Bali Anti Weda Dan Anti India?

Belakangan ini banyak yang menuding bahwa konsep Hindu di Bali sangat bertentangan dengan Weda. Selain konsep Hindu di Bali dituduh tidak sesuai Weda, kini ada tuduhan lain terhadap Hindu di Bali yaitu Bali anti India dan anti Weda. Untuk menanggapi tudingan tersebut Ternyata slogan Depang Anake Ngadanin memang salah satu jargon yang ampuh untuk menghindari perdebatan. Karena Hindu di Bali bukan anti Weda ataupun anti India. Coba perhatikan keseharian orang Bali yang melantunkan sloka Weda melalui Puja Trisandya, Panca Sembah dan sebagainya. Bukankah Trisandya ataupun Panca Sembah berasal dari Sloka Sloka Weda? 

kita sebenarnya sudah memaknai ajaran Ithasa dan mengaplikasikannya dalam setiap yadnya. Kita sudah menggunakan Purana sebagai patokan dalam membuat tempat suci seperti Padmasana. Leluhur kita mewariskan Sruti, Smerti, Purana, dan Itihasa dalam bentuk lontar yang telah disalin dalam bentuk buku. Kidung Kekawin dan pementasan seni semuanya menggunakan acuan lontar tersebut. Tanpa kita sadari, ternyata kita sudah membaca Weda sejak dulu. Bahkan mengaplikasikannya langsung dalam keseharian. Jika Bali anti India, tidak mungkin Ashram menjamur seperti sekarang. Tidak berpakaian ala India bukan berarti anti India.
                
Praktek agama Hindu di Bali selalu merujuk pada weda. Semua aspek kehidupan berdasarkan pada ajaran yang bersumber pada pustaka suci weda. Karena pustaka suci weda tidak mencakup menjadi satu buku seperti kitab suci agama lain. Pustaka suci weda adalah kumpulan dari berbagai buku suci yang sangat banyak. Untuk memahami weda, kita mesti memahami peta kodifikasi sebagaimana telah dikompilasikan oleh Bhagawan Wyasa. Ada weda Sruti dan Smerti. Sruti terbagi menjadi kitab Mantra, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Kitab Mantra terdiri dari Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Kemudian masing-masing Catur Weda memiliki kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad. Adapun Smerti terdiri dari kitab Sad Wedangga yaitu Siksa, Wyakarana, Canda, Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa. Kitab Kalpa terdiri dari Srautasruta, Giyasutra, Dharmasutra, dan Sulwasutra. Kemudian kitab Upaweda yaitu Ithasa, Purana, Artasastra, Gandarwa Weda, dan Kamasutra.
         
Selanjutnya di Bali, tidak semua kitab tersebut dapat ditemukan dan diterapkan dalam praktek agama Hindu. Berdasarkan catatan Hooykaas dan Goris, di Bali belum ditemukan weda sebagaimana aslinya seperti Catur Weda, Upanisad dan sebagainya. Justru di Bali praktek agama Hindu berdasarkan pada Catur Weda Sirah yakni kitab yang memuat intisari dari Sanghyang Weda Samhita. Kemudian hampir keseluruhan praktek agama berdasarkan pada Lontar yang terbagi menjadi Lontar Tatwa, Susila, Upakara, Tutur, Kawisesan, Kelepasan, Keputusan, dan Lontar Sastra seperti Kekawin dan Geguritan. Menariknya lagi, di Bali, ajaran dan nilai Weda dalam lontar dan teks-teks sejenis diwujudkan dalam praktek ritual dalam kehidupan sehari-hari. Warga Hindu di Bali tidak akan memahami weda secara teoritis. Tetapi sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memahami weda tetapi melakoninya dalam tindakan dan ritual yang sudah mencerminkan nilai weda. Jadi wacana Back To Veda bukan diartikan agama Hindu di Bali tak berdasarkan pada weda. Tetapi kembali memaknai praktek agama Hindu di Bali sehingga tidak hanya berhenti pada ritual. Tetapi memaknai dan mewujudkan dalam prilaku.
          
Makanya leluhur orang Bali lebih menekankan aspek laku spiritual atau praktek keagamaan yang disisipkan melalui berbagai macam seni dan budaya Bali. Isi kitab suci harus dibuktikan kebenarannya dengan cara dipraktekan langsung. Itulah salah satu aspek dari Pratyaksa Pramana. Bahkan Buddha Awatara telah menegaskan lagi hal ini dengan mengajarkan Ehipasiko datang lihat dan buktikan sendiri setiap ajaran atau kitab suci yang dibaca. Bukan baca dan lalu dipercaya begitu saja sebagai kebenaran mutlak. Kalau kitab suci hanya dibaca dan lalu harus dipercaya begitu saja, itu namanya doktrin akan menyingkirkan aspek cipta, rasa, dan karsa yang dianugerahkan tuhan kepada umat manusia. Ajaran doktrin hanya akan melahirkan robot-robot bernyawa seperti para teroris yang berani melakukan bom bunuh diri dengan alasan kitab suci.
        
mengartikan kitab suci secara sembarangan, takutnya nanti bisa gagal paham. Cuma bisa ngomong agama tapi tidak bisa menjalankan, hanya koar-koar menghasut orang. Ajaran Hindu tidak demikian karena Hindu punya cara tersendiri untuk membaca kitab sucinya. Walaupun Hindu di Bali dituduh jarang membaca kitab suci, tapi belum pernah saya lihat orang Bali menjadi teroris. Justru kedamaian tetap terjaga, gotong-royong, toleransi masih tetap terasa, aktifitas sosial masih berlangsung di Banjar-Banjar, dan persatuan tetap utuh. Semuanya itu bagian dari praktek ajaran yang ada dalam kitab suci karena sudah diwariskan secara turun-temurun. Leluhur orang Bali mengajarkannya melalui praktek langsung dan bukan hanya sekedar koar-koar berbicara kitab suci sampai menimbulkan konflik antar umat beragama.
        
Sebenarnya Weda itu ada dalam diri kita masing-masing. Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan rohani tinggi atau suci maka Weda akan keluar sendiri dalam diri kita. Oleh sebab itu, kita yang harus menggali dan menghidupkan Trikaya Parisuda melalui Catur Marga dan melalui Penunggal Tri Murti. Kapan melihat diri kita bersinar ada Tri Murti, maka Weda itu sudah kita temukan. Karena pada dasarnya jauh lebih baik praktek daripada kebanyakan teori. Karena pengetahuan itu bukan hanya didapat melalui membaca kitab suci. Belajar dari kehidupan sehari-hari pun bisa. Karena pengalaman hidup adalah guru terbaik bagi orang yang mau belajar.
         
Dalam ajaran Hindu dikenal dengan adanya tiga kerangka dasar yaitu Tatwa atau filsafat, etika atau susila, dan Upakara atau upacara. Ketiga kerangka dasar tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dimana Tatwa adalah ilmu pengetahuannya sebagai bahan acuan. Sedangkan etika adalah tingkah laku dalam lingkungan sosial. Dan Upakara adalah tata cara penghormatan dan rasa syukur kepada tuhan. Dalam keseharian umat Hindu memang jarang mempelajari Tatwa tetapi telah mempraktekkan susila dan upacara sesuai dengan ajaran dalam kitab suci Weda. Jadi, secara tidak langsung, umat Hindu sudah melakukan apa yang ditulis dalam Weda. Hanya mereka tidak tahu atau kurang paham terhadap makna dari hal-hal yang dilakukannya tersebut. Untuk mempelajari Weda memang tidak segampang kelihatannya. Berbeda dengan kitab suci agama lain yang sudah jelas pemaknaannya. Tetapi dalam Weda sendiri adalah syair-syair atau nyanyian suci dalam bahasa Sanskerta. Sehingga tidak semua orang bisa memahaminya apa sebenarnya arti dari syair yang ada dalam Weda kecuali orang tersebut sudah mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi yang mengerti dan memahami tentang alam semesta sehingga dari pembaca Weda adalah dari kalangan Maharsi atau orang suci. Kita sebagai umat Hindu semoga selalu berpegang teguh pada ajaran Trikaya Parisuda.
         

Minggu, 23 Juni 2019

Tanggapan Untuk Postingan Tentang Umat Hindu Banyak Yang Pindah Agama.

Di Medsos, baru-baru ini saya baca postingan bahwa sudah ada 27500 umat Hindu sudah konversi agama alias pindah agama. Disana tidak dijelaskan sumber datanya darimana. Yang jelas disana dinyatakan bahwa umat Hindu yang pindah agama sebagian besar disebabkan oleh tekanan adat Hindu di Bali yang sangat rumit. Selain itu, ada juga karena motif ekonomi, dan penceramah agama yang tidak memberikan kesejukan pada umatnya. Disana juga dijelaskan bahwa sampai saat ini juga oknum-oknum rohaniawan dan tokoh Hindu masih dibelenggu oleh sifat sifat Egois yang masih tinggi, selalu berdebat untuk kepentingan kelompok seperti Soroh, Wangsa, dan Klan. Greget feodalisme-nya masih kuat dan menganggap diri lebih superior. Sepertinya belum sinkron ke paradigma mereka, bagaimana merealisasikan strategi agar penerapan Tatwa, etika, dan upacara dapat porsi yang seimbang. Malah umat terus disuguhkan isi-isi lontar yang sudah dibuat ribuan tahun silam yang belum tentu cocok dengan situasi sekarang dan Upakara-Upakara yang mahal dan menakutkan. Apakah Hindu akan makin menyusut? Apakah oknum-oknum dan pihak terkait tetap buta tuli? Semoga orang orang yang peduli terhadap Hindu bisa merubah semuanya menjadi lebih baik.
       
Sayangnya dalam postingan tersebut tidak menyertakan data yang valid. Kalau memposting sesuatu tidak disertai dengan data yang valid, pasti akan dianggap hoax Atau hanya opini orang itu sendiri. Karena pada umumnya konversi itu bisa saja disebabkan oleh perkawinan. Misalnya seorang wanita Hindu yang dinikahi oleh pria non Hindu. Otomatis wanita tersebut pindah ke agama pria yang menikahinya itu. 

Mengenai postingan yang menyatakan bahwa penceramah itu tidak pernah memberikan kesejukan pada umatnya. Saya jadi ingin bertanya, penceramah itu harus bagaimana? Apakah Sulinggih itu harus terjun ke lapangan dan mendongeng kesana kemari? Ingat, dalam Hindu itu sang penceramah memberikan pemahaman sesuai kebutuhan sang umat. Karena Apa yang umat tanyakan, itulah yang diberikan oleh Sulinggih. Dan masalah tentang Klan dan Soroh itu hanya bentuk dari perbedaan politik. Cuma sepakat melarang politik masuk adat Kawitan dalam bentuk apapun. Entah itu politik praktis, politik Simakrama dan lain-lain. Saya yakin tidak ada permasalahan Klan dan Soroh karena semua sudah punya posisi masing-masing. Dan satu saja pesan saya. Berhentilah khawatir berlebihan. Hindu menyusut bukan karena hal diatas. Tapi karena memang ada salah satu umat yang kurang kuat dan greget terhadap agamanya sendiri. 

Dan mengenai lontar, saya akan  jelaskan disini bahwa lontar itu dibuat oleh tokoh suci atau sang penerima wahyu di jaman dulu. Memangnya lontar mana yang bertentangan dengan jaman? Lontar itu membahas tentang esensi. Jika memang itu boleh dirubah sesuai keinginan hati, mungkin tidak menunggu kalian untuk menilainya. Mungkin dari dulu sudah dirubah. Memangnya siapa yang tidak ingin praktis di jaman ini? Cuma sebatas mana kita boleh dan patut? Mari berhenti menyalahkan yang lain bila keadaan anda tidak kuat. Sulinggih dan tokoh suci juga manusia. Beliau bekerja tulus dan rasanya tidak mungkin bisa memuaskan hati semua umat. Jadi, jangan semua kesalahan dan beban dilimpahkan kepada beliau. Meskipun ada oknum tokoh suci yang mungkin dirasa melenceng, sebaiknya jangan pukul rata semua. Jangan pula itu dijadikan patokan untuk menilai. Dan satu lagi yang paling penting, serahkan semua kepada alam. Saya yakin rata-rata umat sudah berusaha menjaga eksistensi kehinduannya. Tapi masalah hasil, serahkan saja kepada alam dan sang penguasa.

Kenapa Krematorium Di Bali Menjadi Kontroversi?

Kenapa keberadaan krematorium di Bali selalu saja menimbulkan polemik dan menjadi kontroversi di masyarakat? Padahal harus diakui keberadaan krematorium merupakan salah satu terobosan pemecah kebuntuan terhadap begitu seringnya terjadi kasus-kasus adat seperti kasus Kasepekang. Apa itu Kasepekang? Kasepekang adalah istilah hukum adat di Bali yang artinya dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat. Penyebabnya adalah orang yang Kasepekang itu jarang bisa ikut Tedun Ngayahang Banjar atau jarang hadir dalam kegiatan adat di Banjar. Sanksinya adalah jika yang Kasepekang tersebut meninggal atau memiliki keluarga meninggal, maka mayatnya dilarang dikuburkan atau dibakar di kuburan adat desa tersebut. Untuk menangani masalah tersebut Maka kehadiran krematorium umum adalah solusi bagi orang-orang yang terkena kasus adat seperti Kasepekang. Mengenai kontroversi terhadap keberadaan krematorium wajar terjadi dalam dinamika berpikir masyarakat Bali karena di setiap desa adat di Bali sudah pasti memiliki kuburan adat. 
            
Mayarakat merasa terganggu jika ada salah satu warga yang mengambil jalan ini. Tapi bagaimana dengan orang yang Kasepekang tersebut  memiliki keluarga meninggal? Sudah pasti mayatnya akan dibawa ke krematorium. Adanya pergeseran budaya dari Ngaben di Setra berpindah ke krematorium disebabkan adanya pergeseran nilai dan pandangan masyarakat terkait dengan aturan di desa adat yang dianggap memberatkan mereka. Pasalnya mereka menganggap Ngaben di Setra memerlukan banyak biaya dan sulit dilaksanakan. Hal ini menyebabkan mereka memilih ke krematorium daripada pulang ke kampung halaman untuk melaksanakan Pengabenan di Setra. 

Selain itu terkadang di desa adat ada istilah Kekeran Desa yang cukup lama karena adanya upacara seperti Panca Walikrama di pura Besakih. Jika jenazah dititipkan di rumah sakit maka akan memakan biaya yang sangat mahal. Apalagi ada aturan adat yang mengharuskan Ngaben dengan upacara Banten Bebangkit dan Pulogembal. Apabila tidak menggunakan upacara tersebut, maka Pengabenan tidak mau dipuput oleh Sang Sulinggih. Dan ironisnya,  belakangan ini beredar kabar tentang membakar mayat di krematorium sangat bertentangan dengan Weda, benarkah? Setelah saya membaca artikel di koran Tribun Bali edisi 12 Desember 2016, disana dijelaskan bahwa sebenarnya tujuan pembakaran mayat ada dua macam.
                
Pertama untuk mengembalikan unsur Panca Mahabhuta melalui pembakaran. Dan yang kedua adalah mensucikan roh yang pernah memasuki badan duniawi melalui upacara Ngaskara. Di Bali, model pengembalian unsur Panca Mahabhuta itu ada yang bernama Tunon yang artinya membakar. Tentu ketika membakar jenazah pasti dilakukan di Setra atau Pamuwun. Dan rentetan Tunon harus diisi Panca Datu atau Mebumisudha. Sedangkan proses pembakaran jenazah ada dua macam yaitu bisa dilakukan dengan cara Pengabenan dan kedua adalah Mekingsan Di Geni. Jadi mengenai pertanyaan apakah membakar jenazah di krematorium bertentangan dengan Weda? 

Sepanjang umat Hindu melakukan pembakaran jenazah di krematorium disertai dengan upacara sesuai dengan standar agama, itu artinya tidak bertentangan. Yang dimaksud sesuai dengan standar agama adalah melakukan prosesi memercikan Tirta Widhi dan Tirta Weda pada jenazah. Tirta Widi adalah air suci yang diambil dari Sanggah Merajan atau pura desa. Masalahnya ketika melakukan proses pembakaran mayat di krematorium, terkadang desa adat akan menolak memberikan Tirta Kahyangan Tiga. Lalu bagaimana solusinya? Bila itu terjadi, anggota keluarga yang memiliki kematian harus Nyawang melalui Sanggah Surya.
               
Ngaben di krematorium yang penting semua prosedur Upakara Ngaben terpenuhi seperti Nunas Tirta Ring Kahyangan Tiga, Merajan, Pura Kawitan, Nganget Don Bingin, Nyiramin Layon, Ngajum Kajang, Ngaskara, Papegatan, Nganyud dan lain-lain, semua itu sah sah saja. semua proses Upakara Ngaben dilakukan baik di rumah duka maupun di krematorium, tidak ada perbedaan. Yang membedakan hanyalah tempat. Ada di Setra dan ada di krematorium. Dan krematorium juga banyak dikelola oleh desa adat dan lokasi juga ada di desa Setra adat seperti desa Pekraman Buleleng, Tista, Klungkung, dan Bangli.