Minggu, 30 November 2014

Kenapa Hindu Menyembah Alam?

Hindu dalam tradisi Bali mengenal konsep memanusiakan alam atau lingkungan dan juga memanusiakan tuhan. Makanya orang-orang yang tidak paham dengan Hindu tradisi Bali, mereka pasti akan mengatakan bahwa Hindu di Bali adalah penyembah mahluk halus, setan, iblis, menyembah pohon, batu, dan lain-lain. Konsep memanusiakan alam dalam tradisi Bali misalnya pohon dihiasi dengan pakaian seperti layaknya manusia yang mengenakan pakaian. Pohon juga diberikan hidangan seperti kopi dan kue setiap pagi. Hal itu mungkin disebabkan karena manusia minum kopi setiap pagi. Hindu di Bali juga mengenal konsep Wyapi Wyapaka yang artinya tuhan ada dimana-mana termasuk ada di pohon, batu, dan lain-lain. Meskipun Hindu di Bali dituduh menyembah pohon dan batu, tapi Hindu di Bali tetap memuja Hyang Widhi.
       
Di Bali, menyembah alam itu sudah tidak asing lagi. Leluhur orang Bali memandang laut dan gunung sebagai tempat suci, sebagai Purusa Prakerti. Kemudian pohon yang ada Pelangkirannya, melakukan ritual Melasti di pantai, ritual Melukat, membangun pura di daerah pegunungan dan dekat sungai, danau, hingga lautan. Kemudian tentang ego Ahmkara, ego ketuhanan, intinya Khrisna dalam Bhagawadgita mengatakan apapun keyakinan dan pemujaan anda, akhirnya akan menuju aku. Di Bali, semua aspek dipuja tanpa membedakan, tanpa memandang tiggi rendah. Tetua bilang Mekejang Widhi Ento yang artinya semua itu adalah tuhan. Persis seperti pesan Mahawakya yang berbunyi Sarwa Khal Idham Brahma yang artinya semua adalah tuhan. Dan dalam keseharian saat Trisandya selalu dikumandangkan doa dari Siwa Stawa yang intinya semua adalah tuhan yang sama, tidak ada yang berbeda. Dan masih banyak lagi jika saya tulis keseluruhannya akan menjadi sangat panjang.
         
Dulu dalam grup Bangkitnya Hindu dan Paguyuban Hindu  ada seorang Netizen memposting sebuah status yang kata-katanya terkesan sangat matang spiritualnya. Tetapi di balik spiritualnya yang sangat matang justru menuai protes dari kelompok-kelompok Hindu lainnya karena merasa tersinggung setelah membaca postingan tersebut dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Isi postingan tersebut sebagai berikut : jangan menyembah dan bersujud kepada benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang. Juga benda-benda bumi seperti gunung, laut, pepohonan, dan manusia dan lain-lain. Pasalnya mereka tidak dapat berbuat apapun tanpa kehendak tuhan. Tetapi kamu harus menyembah dan bersujud langsung kepada tuhan. Juga jangan memberi sesajen kepada lukisan, patung, dan arca-arca yang diberi nama itu. Pasalnya mereka sama sekali tidak dapat melihat, mendengar, apalagi mengabulkan permohonan kamu. Tetapi kamu harus memohon langsung kepada tuhan sebab tuhan lebih pintar, maha kuasa, maha melihat dan mendengar doa-doa kamu.
         
Menurut saya, memang tulisannya sangat matang dari segi spiritual. Tapi sayangnya, dia cenderung menganggap orang yang masih membutuhkan media untuk mengekpresikan rasa bhaktinya kepada tuhan itu terkesan salah. Padahal semua agama saat ini masih menggunakan media untuk mengekpresikan agamanya. Memusatkan pikiran pada tuhan menggunakan media dalam agama Hindu sebenarnya tidak bertentangan dengan Weda. Ibarat kita mau mendengarkan berita, maka kita sudah pasti membutuhkan media yang bernama radio. Karena media itu sangat penting untuk mencapai apa yang kita cari. Demikian juga dalam mencari tuhan apapun ciptaannya yang sudah disakralkan itu diyakini dapat jadi media untuk bhakti kepada tuhan.
         
Ibarat kita ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada presiden karena kita telah mendapatkan dana bantuan, lalu apakah kita harus pergi ke Jakarta untuk bertemu presiden? Nah, maka dari itu dibuatkanlah media seperti laptop, ponsel dan sebagainya sebagai sarana untuk media komunikasi. Misalnya saat saya menerima telephone dari sahabat maka saya berbincang melalui ponsel tersebut. Kemudian orang dungu menyangka saya berbicara dengan benda mati tersebut. Padahal saya berbicara dengan sahabat melalui bantuan media tersebut.
            
Ingat, kata menyembah dengan mentuhankan itu berbeda. Jika kita melarang seseorang untuk menyembah matahari, sama halnya kita menistakan agama Hindu. Karena dalam Hindu ada istilah Surya Sewana yaitu penghormatan terhadap dewa matahari. Saat kita berjapa Gayatri Mantram, kita juga telah menghormati dewa matahari. Makanya orang yang melakukan Japa Gayatri Mantram dilakukan pada pagi hari saat matahari terbit, saat matahari berada di tengah, dan saat matahari mau terbenam. Bahkan di Bali mengenal istilah Pelinggih Surya yaitu simbol dari stana dewa Surya atau dewa matahari. Pelinggih gunung agung simbol dari penguasa gunung agung, Pelinggih Ratu Gede Segara simbol dari penguasa laut. Saat kita menyembah alam, yang kita sembah sebenarnya adalah roh dari alam tersebut. Sebab di Bali ada konsep Trihita Karana yaitu menghormati tuhan, menghormati antar sesama mahluk hidup, dan menghormati alam.
     
Bagaimana mungkin kita bisa bersujud langsung kepada tuhan sebab tuhan itu bersifat Acintya yaitu tidak terwujud dan tidak bisa terbayangkan. Karena tidak bisa terbayangkan itulah justru manusia membuatkan simbol-simbol tuhan seperti lukisan, patung, dan arca. Ingat, sesajen itu bukanlah makanan tuhan tetapi simbol dari perwujudan tuhan. Dalam Bhagawadgita 9-16 dijelaskan bahwa aku adalah kegiatan ritual dan upacara korban. Aku adalah persembahan leluhur dan ramuan obat. Aku adalah ucapan suci dan keju cair. Aku adalah api dan juga persembahan. Keindahan Sanatana Dharma adalah kita bisa menemukannya dengan berbagai cara. Apa yang dia sampaikan itu, saya rasa tidak salah. Tetapi bisa menimbulkan polemik. Memahami kebenaran mutlak kita harus mampu menembus Rwa Bhineda.

Minggu, 08 Juni 2014

Yadnya Yang Berat Akibatkan Orang Hindu Pindah Agama?

Benarkah yadnya yang memberatkan umat bisa membuat orang Hindu pindah agama? Tidak juga. Karena masalah umat Hindu pindah ke agama lain penyebabnya adalah mereka yang memiliki Sraddha sangat lemah. Sraddha yang dimilikinya seperti layang-layang yang tidak pernah mempunyai ketenangan dan ketetapan hati. Maka Selama hidupnya, mereka akan mudah digoyahkan oleh angin atau keadaan. Ingat, Agama bukanlah baju tapi agama adalah kendaraan yang dimiliki umat. Agama Hindu yang dipraktekan dalam koridor budaya Bali selalu dicari kelemahannya dan dibuatkan narasi rumit seperti Mule Keto, menghambat karier dan bikin miskin. Apa sebenarnya motif mereka? Benarkah motif mereka untuk membela Bali? Saya pikir tidak. Kalau motif mereka benar-benar membela Bali Hindu, tentu bukan begitu caranya.
           
Sepertinya ada oknum-oknum yang ingin mengoyak dan memusnahkan ajaran-ajaran leluhur Hindu di Bali. Upaya menghancurkan ajaran leluhur tidak hanya dari luar akan tetapi sudah mulai merusak dari dalam. Ajaran-ajaran import disusupkan ke ajaran Hindu Siwa-Buda. Dan tentunya ini bukan sesuatu yang dapat dianggap sepele karena mereka sudah sangat paham beberapa titik kelemahan di internal Hindu. Syukurnya, umat Hindu di Bali sudah mulai bangkit dalam mempertahankan ajaran leluhurnya dan tradsisinya. Sekarang Bali sudah mulai eksis dan miltan terhadap kehinduannya.
    
Alasan kenapa Bali tetap Hindu? Bali tetap Hindu tentunya atas perkenan dan tuntunan dari Hyang Widhi. Oleh para sepuh yang Wikan, Bali dijadikan perpustakaan hidup warisan leluhur. Implementasi weda itu dituangkan dalam keseharian di kehidupan masyarakat yang lebih dikenal dengan Lontar tanpa tulis sebagai pendukung dari Lontar yang tertulis. Ajaran yang dituangkan dalam keseharian masyarakat adalah beberapa diantaranya tentang penanggalan Bali, Bebantenan, Tetabuhan, Kosala-Kosali, Subak, pura, Kekawin, ajaran Kemoksan yang pingit dan hukum adat.
         
Keruntuhan Hindu era Majapahit tentunya sudah menjadi prediksi oleh para Wikan sehingga dipilihlah satu tempat yang kiranya layak dan tepat untuk menyimpan ajaran dan warisan leluhur yang adiluhung dari kepunahan. Di mata dunia, Bali sangat indah dengan Ageman-Ageman yang diwariskan oleh para leluhur dahulu. Ingat, tanah Bali sangat sakral. Tiap jengkal tanah Bali selalu diupacarai dengan Banten. Karena Banten itulah Taksunya tanah Bali. Kalau Bali tanpa Banten, apa yang akan terjadi? Biarlah Bali tetap menjadi Bali. Manusia memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas dan fungsinya untuk ikut menciptakan keharmonisan kehidupan. Makanya dalam Bagawadgita 3-16 dijelaskan bahwa mereka yang tidak ikut memutar roda kehidupan ini pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan mengalami penderitaan. Agar perputaran roda kehidupan ini berjalan dengan harmonis maka peranan manusia sangatlah penting. Dari mana datangnya hujan? Tak lain dari air laut yang menguap menjadi awan dan akhirnya awan itu menjadi hujan. Begitulah Hindu meyakini jika tidak ada persembahan, maka tak akan pernah turun berkah. Itulah dasar umat Hindu tidak pernah luput dari persembahan.