Kamis, 09 Mei 2024

Tentang Ritual Nawur Sesangi.

Menurut saya, Sesangi atau kaul itu terucap berawal dari rasa panik seseorang. Contohnya punya anak kesayangan menderita sakit keras dan hampir mati. Atau ketika seseorang hampir tenggelam di laut. Saking paniknya, mereka secara tidak sadar telah mengucapkan Sesangi atau Kaul. Makanya Sesangi itu sering pula disebut Saud Atur atau salah ucap. Ketika seseorang mengucapkan Sesangi bukan berarti mereka melakukan transaksi pada tuhan. Tidak begitu maksudnya. Yang jelas, seperti yang saya katakan tadi, Sesangi itu terucap berawal dari rasa panik seseorang sehingga mereka tidak menyadari apa yang telah mereka ucapkan. Apakah hal itu keliru? Jujur, saya tidak berani menyalahkan orang yang Mesesangi. Karena saya tahu betapa tertekannya perasaan seseorang saat panik.

Tetapi yang perlu diingat, Sesangi atau Janji, kalau bisa harus segera dilunasi setelah permohonan kita terpenuhi. Karena kita sadar bahwa kehidupan kita tidak abadi dan tidak ada satu pun orang di antara kita yang mengetahui akan datangya kematian. Dan siapa juga yang bisa memberitahukan akan datangnya kematian seseorang. Oleh sebab itu bayarlah Sesangi semasih kita hidup. Karena jika Nawur Sesangi dilakukan setelah kita meninggal, maka sungguh kasihan sekali anak cucu kita akan melakukan Upacara Nunas Ke Dalem  sehingga jumlah biaya yang dikeluarkannya akan membengkak. Sehubungan dengan hal itu, maka bayarlah Sesangi semasih kita hidup.


                

Tentang Ahimsa.

Topik yang paling kontroversial biasanya seperti apa yang telah saya amati di ruang publik baik secara online maupun di dunia nyata adalah topik yang membahas tentang tradisi di bali yang mempersembahkan daging binatang. Biasanya kelompok orang orang yang belajar Weda apalagi vegetarian, mereka pasti akan menganggap hal itu adalah tradisi yang bertentangan dengan Weda. Dan melanggar konsep Ahimsa. Tapi bagi mereka yang menganut tradisi itu, akan mengatakan bahwa tradisi itu tidak bertentangan dengan Weda. Lalu opini yang mana yang benar? Apakah kelompok orang orang belajar Weda atau kelompok penganut tradisi? Jadi, menurut saya, karena saya ini adalah orang yang bersifat fleksibel dan universal, jadi semua opini, saya anggap benar. Saya tidak memihak kubu manapun. Karena semua kubu saya rangkul. Lalu bagaimana solusinya agar mereka tidak selalu berselisih paham? Solusinya adalah belajar menghargai prinsip orang lain. Hargailah selama prinsip tersebut tidak melanggar nilai nilai kemanusiaan dan tidak melanggar hukum. Itu saja. Mudah kan?

Kategori menyakiti ada dua yaitu menyakiti fisik, dan menyakiti pikiran. Selama ini orang-orang hanya mengkritik tradisi memotong hewan untuk Yadnya saja. Padahal konsep ahimsa bukan hanya itu saja. Karena ada hal-hal yang harus dihindari agar perasaan seseorang tidak tersakiti yaitu dengan cara menghormati tradisi orang lain. Janganlah menentang tradisi orang lain secara ekstrem dan radikal. Karena perbuatan itu juga termasuk melanggar konsep Ahimsa.

Contoh lain, jika kita berjanji bertemu jam 10.00 sebaiknya kita harus tepat waktu. Itu juga termasuk contoh menjalankan konsep Ahimsa. Banyak lagi contoh-contoh lainnya. Jika kita mampu melakukan dendam, tetapi kita sengaja tidak menjalankan dendam, itu juga termasuk contoh melaksanakan ajaran Ahimsa. Kita menakut-nakuti monyet yang suka mengganggu persembahyangan di Pura dengan senapan palsu itu dibenarkan dalam ajaran Hindu. Karena kita tidak menyakiti, cuman menakut-nakuti saja.


Hormatilah Orang Tuamu Semasih Hidup.

Memuja leluhur adalah tradisi yang sangat bagus. Makanya sebagian besar masyarakat Bali yang beragama Hindu pasti memiliki Pelinggih Kemulan atau Rong Telu dan sebagainya. Karena Kemulan adalah tempat untuk menghormati leluhur. Tetapi alangkah bagusnya jika kita juga menghormati orang tua semasih hidup. Jika mereka sakit, rawatlah mereka. Dan carikanlah pengobatan agar kondisi mereka pulih kembali. Dan anak yang baik adalah anak yang selalu berusaha agar tidak melukau hatinya. Karena jaman sekarang, banyak anak muda yang malu memiliki orang tua yang sudah renta. 

Saya pernah menyaksikannya sendiri. Ketika anak muda jaman sekarang mengadakan resepsi pernikahan, orang tuanya dititipkan ke rumah tetangga karena malu pada temannya memiliki orang tua yang sudah renta dan bau. Aduh, Anak macam apa itu? Dimana rasa terimakasih mu pada orang tua mu? Harta dan kekayaan orang tuamu, engkau nikmati. Sementara orang tuamu kau titipkan ke rumah tetangga. Padahal orang tua ingin sekali ikut merasakan kebahagiaan anaknya dalam upacara pernikahan. 

Jika kamu adalah anak yang berbakti pada orang tua seharusnya kamu malu dengan perbuatanmu itu. Seharusnya berikanlah mereka pakaian baru dan minyak wangi agar mereka tidak bau.. Karena Hindu tidak hanya mengajarkan sembahyang saja. Hindu memiliki konsep Trihita Karana yang artinya tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya.
         
Jika melihat orang atau hewan kelaparan, sebaiknya berikanlah dia makanan. Makanya di Bali ada tradisi Ngejot atau memberikan makanan kepada orang lain ketika menggelar hajatan. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama. Ada juga istilah Mesaiban atau ritual menghaturkan sejumput nasi kepada alam sehabis masak nasi. Tujuannya adalah agar kita tidak mementingkan diri sendiri. Sejumput nasi yang kita taruh di setiap tempat agar dinikmati juga oleh hewan yang sedang kelaparan seperti kucing, anjing, ayam, semut dan hewan serangga lainnya. Kita harus ikut merasakan penderitaan mahluk lain. 
            
Dalam ajaran hindu sebenarnya tidak menyetujui mengurung atau membelenggu hewan. Biarkan mereka hidup di habitatnya, biarkan mereka bebas. Kita memang senang memelihara burung, mungkin karena senang mendengar kicauannya. Tapi kita tidak tahu apakah kicauan itu kicauan senang atau sedih?. Coba bayangkan, pada saat Corona melanda dunia, kita disuruh agar tinggal di rumah saja. Tidak boleh ke mana-mana. Bagaimana perasaan kita saat tinggal di rumah saja? Stress bukan? Nah, begitu juga dengan hewan-hewan yang mengalami pembelengguan karena ulah ulah manusia. 
                 
Kita hendaknya  selalu berbuat baik dan jangan Takabur. Karena hanya perbuatan baiklah yang akan menuntun kita ke alam sorga. Maka dari itu, usahakan sedapat mungkin agar sedari kecil kita melaksanakan ajaran Dharma. Hidup ini tidak kekal adanya, dan siapakah kiranya yang akan bisa memberitahukan datangnya kematian?  Dan yang ikut sebagai teman ke alam baka hanyalah perbuatan baik dan buruk. Sanak saudara hanya mengantar sampai batas kuburan , jadi berusahalah berbuat baik , yang akan menjadi sahabat yang akan menuntun jiwa ke alam baka.


Hidup Seharusnya Penuh Sukacita.

Hampir semua orang mendambakan agar memiliki wajah yang berwibawa, simpatik, berkharisma dan memilki Aura positif. Tapi tidak tahu bagaimana caranya. Malah menunjukkan muka galak. Dikiranya Wibawa itu bisa diraih dengan menunjukkan wajah jutek. Justru orang seperti itu dijauhi oleh semua orang. Lalu bagaimana caranya agar berwibawa? Resepnya sederhana. Yaitu hidup harus penuh dengan sukacita. Makanya tradisi di Bali, selalu menampilkan kegembiraan. Entah itu suasana berkabung, selalu disambut dan diwarnai dengan penuh sukacita. Misalnya iring-iringan pada ritual Ngaben atau pembakaran jenazah, selalu diwarnai dengan meriah seperti gambelan Baleganjur. Mungkin maksudnya agar keluarga yang ditinggalkan diharapkan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Kita disarankan agar bisa memisahkan hubungan Alam yang berbeda. Roh orang yang telah meninggal sudah berada di alam yang berbeda dengan kehidupan manusia. Makanya pada saat memandikan jenazah ada istilah Mepepegat yang berasal dari kata Pegat. Jika diterjemahkan Pegat berarti putus.
           
Walaupun dalam tradisi tersebut mengajarkan untuk ikhlas, tapi berhasil atau tidaknya menahan sedih, Itu tergantung kita. Diselimuti rasa sedih pada saat  ditinggal mati oleh orang-orang yang kita sayangi, itu sudah pasti. Dan hal itu adalah manusiawi. Jangankan kita yang notabene manusia awam, Awatara seperti Rama pun juga pernah bersedih ketika Laksamana mati suri saat bertarung melawan Meganada putranya Rahwana dalam cerita Ramayana. Mungkin hal itu juga akan dirasakan oleh para penceramah agama, penulis buku-buku Hindu, dan lain sebagainya. Mereka pasti Sedih ketika memiliki keluarga meninggal. Tapi Hindu menganjurkan agar kita selalu bersukacita. Apapun yang terjadi, kita harus bersukacita. Bahkan saat duka melanda pun, kita dituntut agar bersukacita. Saat memiliki kematian saja, kita disarankan bersukacita. Apalagi saat menyambut hari raya seperti Galungan. Menjelang Galungan kan ada istilah penampahan atau tradisi memotong babi. Betapa gembiranya hati kita saat menikmati sate babi maupun lawar Bali. Seakan-akan kita berada di alam sorga. Saat itu kita sedang bersukacita 

Jika pada saat Galungan sampai saat ini kita bisa hidup rukun dengan sesama, barulah kita layak disebut menang melawan Adharma. Karena mulai hari Galungan sampai saat ini, seharusnya kebiasaan-kebiasaan buruk harus dihilangkan misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk minuman beralkohol, menghilangkan kebiasaan berjudi , dan menghentikan kebiasaan buruk lainnya seperti melakukan seks bebas. Jika hal itu bisa dihilangkan, barulah kita bisa menjadi manusia merdeka. 


Kapan Sebaiknya Kita Puasa?

Ada sebuah pertanyaan di sebuah grup di Facebook yang diberi nama "Grup Ajaran Suci Agama Hindu" dari Akun yang berinisial Desak di Lombok. Dia menanyakan, apakah puasa Senin Kamis itu ada dalam ajaran agama Hindu? Atau puasa pada saat purnama saja? Dan bagaimana kisaran waktunya?

Menurut saya, mengenai Puasa Senen dan Kamis itu mungkin berasal dari tradisi Kejawen.  Karena Puasa senin dan kamis itu manfaatnya lebih cenderung ke hal hal yang bersifat Hoki, rejeki, dan keberuntungan. Biasanya dilakukan oleh orang orang yang rejekinya sedang seret. Mengenai kisaran waktu puasa dapat dilakukan kapan saja sebagai bentuk Tapasya atau pengendalian diri. Tapi idealnya dilakukan di hari sakral seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Galungan , Kuningan, Sivaratri dan lain lain. 

Tapi juga bisa dilakukan setiap hari selama setengah hari. Atau sebaiknya dicicil dulu. Mulai dari durasi 12 jam yaitu dari munculnya matahari sampai matahari terbenam. Intinya, puasa itu selain latihan menahan rasa lapar, puasa juga merupakan latihan mengawasi pikiran dan badan. Nanti jika sudah berhasil melakukan puasa selama 12 jam barulah naikkan durasinya  menjadi 24 jam disertai dengan latihan menahan rasa kantuk. 

Sedangkan puasa menurut tradisi Bali adalah pada saat Purnama dan Tilem. Atau juga sehari sebelum Purnama dan sehari sebelum Tilem. Biasanya umat Hindu di Bali berpuasa berdasarkan hari hari suci seperti pada saat Saraswati, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem dan sebagainya. Yang namanya puasa biasanya sama sekali tidak makan dan minum. Jika masih mengkonsumsi makanan atau minuman, itu tidak bisa disebut berpuasa. Melainkan Me-Brata. Seperti tidak makan daging, atau hanya makan nasi putih saja tanpa lauk dan sayur. Karena ajaran Hindu itu bersifat Fleksibel, Jadi di Bali tidak ada paksaan dalam menjalankan puasa. Karena melakukan puasa harus didasari dengan niat sungguh-sungguh, harus bersih jasmani dan rohani, berdoa pada tuhan, dan melakukan kewajiban dengan benar.

Dalam Hindu juga ada istilah puasa Ekadashi. Puasa tersebut kisaran waktunya hampir 36 jam. Tetapi diperbolehkan makan buah, sayur, dan umbi umbian. Selain dari Ekadashi, tidak boleh melakukan hal itu. Ekadashi itu jatuhnya 3 hari sebelum purnama dan 3 hari sebelum Tilem. 

Dalam hal berpuasa sebenarnya bukan hanya mengendalikan nafsu makan saja. Melainkan, juga mengendalikan segala nafsu yang ada pada diri manusia. Ketika dalam berpuasa yang dikendalikan hanya nafsu makan saja, itu namanya diet. Bukan puasa.

Sementara dalam buku yang berjudul 5 Steps To Awareness yang ditulis oleh Anand Krishna dijelaskan bahwa hampir semua agama dan semua tradisi menganjurkan puasa. Sayangnya, terkadang maksudnya tidak dipahami dengan baik. Puasa adalah satu-satunya cara untuk mengistirahatkan mekanisme tubuh kita khususnya sistem pencernaan. Badan butuh istirahat, dan itu antara lain bisa dipenuhi dengan puasa. Kendati demikian, puasa bukanlah kebutuhan badan saja. Karena itu, saat badan berpuasa, pikiran dan perasaan pun ikut berpuasa. Puasa bukanlah perpindahan jam makan karena kewajiban, ketakberdayaan atau peraturan. Puasa paksaan semacam itu tidak pernah mengistirahatkan pikiran dan perasaan. Karena saat berbuka puasa, ia cenderung makan berlebihan. Dan ia menjadi liar. Berpuasalah dengan penuh kesadaran karena puasamu tidak membantu siapa-siapa kecuali dirimu. Saat berpuasa tubuh memperoleh kesempatan untuk melakukan pembersihan dalam rumah. Demikianlah tentang puasa dan kaitannya dengan makanan dan minuman. Namun puasa tidak hanya terkait dengan makanan dan minuman. Pengendalian hawa nafsu dan pengendalian diri itu pun bisa disebut puasa.

Sementara dalam buku fear management halaman 42 karya Anand Khrisna dijelaskan bahwa puasa juga dapat membebaskan diri kita dari rasa takut yang muncul karena lapar. Namun yang beliau maksud adalah puasa dengan penuh kesadaran, bukan sekadar menahan lapar. Puasa menahan lapar sebagaimana dilakukan secara umum berakibat langsung pada harga bahan makanan di pasar dan supermarket. Semuanya naik karena saat menjalani puasa itu kita malah menjadi rakus. Karena makanan melulu yang terpikir setiap saat dan sepanjang hari. Saat buka puasa, kita menyerbu meja makan seperti kawanan serigala buas yang kelaparan.



             

Jumat, 03 Mei 2024

Menghormati Perbedaan Antar Hindu.

Berdebat karena perbedaan sering terjadi karena faktor pengetahuan yang tidak terbatas tapi dipahami dengan dasar pemikiran dan pemahaman yang terbatas. Jika kita duduk berdampingan di puncak yang sama maka akan terjadi sedikit perdebatan. Tapi jika kita duduk pada ketinggian yang berbeda, pasti akan terjadi banyak perdebatan. Orang yang duduk di atas meja dengan yang duduk di atap rumah, pasti berbeda jangkauan dan pandangannya. Orang yang naik di anak tangga kedua dengan yang sudah berdiri di anak tangga ke sembilan tentu juga akan berbeda pandangannya. Mari kita sama-sama belajar dan jangan malu mengakui kalau masih meniti di anak tangga terendah. 

Berbeda itu sudah kodrat alam ciptaan tuhan. Terkait perbedaan, kita tidak boleh mencela. Hiduplah berdampingan, saling menghormati, dan toleran terhadap perbedaan. Kalau mencela, orang yang dicela pasti tidak akan terima bahkan sebaliknya akan mencela lagi. Karena keegoisan manusia, ia merasa tidak perlu minta maaf saat berbuat salah dan tidak mau mengalah terhadap kesalahannya sehingga kesalahannya ditimpakan kepada orang lain. Dalam berkeyakinan, sikap toleransi mutlak diperlukan dalam perbedaan. Karena perbedaan itu indah seindah taman bunga. Tapi orang yang egois selalu menonjolkan kebenaran pribadinya khususnya dalam perbedaan berkeyakinan seperti perbedaan beragama, etnis, budaya, berbangsa, dan bernegara. Sifat egois yang lain adalah suka menilai buruk tentang orang lain. Ingat, Hindu itu fleksibel, universal, rasional, ilmiah, dan alamiah.

Sebagian besar penduduk Bali pemeluk Hindu, mereka menyadari asal-usul mereka berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bali dikenal gemar menelusuri asal-usul tersebut. Sebagian bangga memiliki leluhur dari tanah Jawa atau Majapahit. Yang lain bangga sebagai keturunan Bali asli. Darimanapun manusia Bali berasal, sebagai pemeluk Hindu tentu mereka tidak bisa mengelak bahwa peradaban sehari-hari orang Bali bersumber dari India. Doa-doa, filosofi hidup, tata krama, etika, dan ritual manusia Bali pasti sangat besar dipengaruhi peradaban India. Kendatipun runtutan upacara keagamaan orang Bali tidak sama dengan pemeluk Hindu di India, namun jiwa spirit orang Bali punya nafas kuat budaya India. Mereka berpikir, karena Hindu dari India dan dianut oleh orang Bali semestinya banyak tradisi India tampak jelas di Bali. Ternyata tidak. Bali dengan gemilang membentuk peradaban Hindu yang unik. Mereka yang bertahan pada cara-cara beragama sesuai tradisi Bali tentu membela diri dengan mengatakan, untuk apa harus meniru seutuhnya peradaban India kalau kita di Bali sudah memiliki tradisi beragama yang khas dan tidak menyimpang dari Weda?
            
Bhagawadgita mengajarkan dengan cara apapun seseorang memuja tuhan, beliau tidak pernah mempersoalkan. Masing-masing pemuja tuhan punya asal-usul berbeda. Ibarat seorang petani dengan petani lainnya. Petani jeruk akan mempersembahkan jeruk ranum ke hadapan tuhan ketika panen. Sementara petani pisang akan mempersembahkan pisang sebagai sujud dan terimakasih. Biarkanlah mereka berbeda dalam cara penyampaian sepanjang yang satu tidak pernah memaksa yang lain untuk mengikuti caranya. Biarkanlah mereka berbeda jika dengan perbedaan itu mereka terhindar dari perusakan satu sama lain. Yang mengkhawatirkan adalah jika yang satu menghina cara yang lain dan selalu mencari celah untuk memaksakan kehendak. Cara orang Bali memahami Hindu India tentu tidak perlu dipertentangkan dengan orang Bali yang melaksanakan ajaran Hindu sesuai tradisi Bali. Biarkanlah semua itu berbeda karena pada akhirnya jaman jua yang menguji kelanggengan pihak umat terhadap perbedaan itu. Mungkin kelak di Bali ada kelompok yang melaksanakan tradisi Hindu seperti orang-orang di India sana melakoninya. Sementara yang melakoni Hindu sesuai tradisi Bali tetap tidak tergoyahkan. Apa ruginya kalau keduanya diberikan tempat terhormat dan pantas?

Kita sudah seharusnya saling menghormati. Karena meskipun sama-sama Hindu, terdapat banyak sekali perbedaan antara Hindu di Bali dan Hindu di India. Agama Hindu di India sangat beragam dan memiliki banyak sekte seperti diantaranya Hindu Rama, Hindu Shinta, dan Hindu Hanoman. Sementara Hindu yang  berkembang di Indonesia identik dengan Bali mulai dari model tempat peribadatan dan bentuk-bentuk ritualnya. Penyebab utama perbedaan ajaran Hindu di Bali dan India yaitu karena Hindu memiliki sifat lebih moderat dan mampu menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat. Ajaran Hindu dengan mudah mengalami akulturasi tanpa menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku. Hindu di India mengambil filsafat dari Weda dengan tradisi asli masyarakat India. Sedangkan Hindu di Bali adalah suatu bentuk perpaduan antara filsafat Weda dan Buddha dengan upacara serta kultur khas masyarakat Bali. Secara kasat mata, banyak sekali yang membedakan antara Hindu di Bali dengan di India. 

Masyakat Hindu di Bali melakukan sembahyang tiga kali sehari yang disebut Trisandya. Sementara di India hanya dua kali pagi dan sore. Hindu di India sebagian besar memiliki gaya hidup vegetarian, sedangkan Hindu di Bali sangat sedikit. Peribadatan Hindu di Bali menggunakan Padmasana dan dilakukan terbuka. Di India memakai Lingga Yoni dan tertutup. Orang Hindu di Bali lebih memiliki sopan santun. Ketika ritual dimulai, semua Pemedek akan secara otomatis bersikap tenang. Masyarakat Hindu di India tidak. Mereka dengan tenang bisa melangkahi sesaji bahkan berteriak ketika pendeta sedang membacakan doa di kuil. Sehingga rasanya prosesi ibadah terasa kurang hikmat. Dalam beragama sebaiknya jangan terlalu mengurusi keyakinan orang lain . Karena Manusia diciptakan berbeda maka  hargailah perbedaan tersebut. Kita sebagai umat Hindu terasa lucu jika ribut sesama Hindu. Orang yang masih kukuh dengan adat Bali biarkan saja. Sementara orang yang menginginkan perubahan, sebaiknya atur diri masing masing. Orang yang ingin beragama simple, silahkan. Jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena Tidak ada ajaran yang menganjurkan hanya prinsip kita yang paling benar. Justru yang paling benar adalah Hukum karma dan Hukum Tuhan. Apapun keyakinanmu, tidak akan bisa lepas dari takdir Tuhan dan karmamu . Hiduplah dengan rukun walaupun berbeda, kita semua adalah Hindu

Penyebab Terjadinya Perdebatan Sesama Hindu Di Medsos.

Bagi yang pernah bergabung atau sekarang masih aktif menjadi anggota grup bernuansa Hindu di Facebook, pasti akan sering menjumpai komentar-komentar miring dalam sebuah Postingan. Kenapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya, Mungkin karena latar belakang yang menjadi anggota dalam grup tersebut berbeda etnis maupun berbeda aliran atau sekte. Masing-masing kelompok suka berdebat karena mempertahankan prinsipnya, memiliki egois yang sangat tinggi, merasa paling benar, dan selalu menganggap prinsip orang lain salah, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam sebuah group bernuansa Hindu sudah pasti ada pengguna akun palsu yang sengaja menyamar menjadi pengguna akun beragama Hindu. Mereka sengaja membuat Postingan atau komentar yang bersifat Provokatif agar umat Hindu itu menjadi pecah. Misalnya kita sering menjumpai ada oknum yang sengaja membuat Postingan seakan-akan melecehkan Haree Khrisna. Atau juga sebaliknya, ada oknum yang sengaja membuat Postingan seakan-akan menjelekkan ritual di Bali atau menjelek-jelekkan adat dan budaya orang Bali. 

Jika kita sebagai penekun spiritual seharusnya saling menghargai kelompok lain. Walaupun berbeda etnis maupun berbeda sekte. Jika kita saling menghargai, maka sudah dipastikan tidak akan ada keributan. Karena jati diri orang Hindu adalah suka menerima perbedaan serta menghormati budaya dan kearifan lokal.

Penyebab lainnya adalah Fanatisme. Pasalnya fanatisme yang berlebih melahirkan ketidaksukaan terhadap kelompok lain hingga menjadi kebencian sampai pada Intoleransi. Dan Intoleransi yang berlebih melahirkan benih-benih Radikalisme. Sedangkan Radikalisme yang berlebih melahirkan tindakan berupa ujaran kebencian hingga tindakan merusak, menyingkirkan, melukai, hingga mentiadakan dengan berbagai cara. Dari fitnah sampai melakukan pembunuhan karakter hingga pembunuhan fisik dengan cara melampiaskan kepada objek yang dibencinya dengan cara apapun. Semoga kehidupan bersama bisa saling menjaga dengan segala kurang lebih di dalam kesempurnaannya dengan saling menyadari sebagai sesama. Sebelum belajar ilmu agama, belajarlah tentang ilmu kemanusiaan. Supaya anda tidak cuma pandai ibadah. Tapi juga pandai menghargai orang lain. Jika ingin melihat kebaikan seseorang, janganlah hanya menilai dari betapa seringnya dia bersembahyang dan berdoa. Namun lihatlah bagaimana cara dia memperlakukan orang lain. Orang yang mengaku dirinya beragama seharusnya antara moral dan Sraddha haruslah sejajar.

Kalau kita ingin mempelajari agama seharusnya secara komprehensif dan dari segala segi. Juga secara berurutan maka kita tidak akan kaget melihat perbedaan. Ibarat membaca buku maka kita harus membaca bab per bab secara berurutan. Tidak bisa sekarang membaca bab satu besok membaca bab sepuluh. Menilai ajaran agama harus proforsional. Karena setiap buku memiliki misi tertentu dan metodologi berbeda walaupun untuk tujuan yang sama. Karena kita baru seperti terbuka kran agamanya sehingga ibarat orang kelaparan tiba-tiba melihat makanan, maka tanpa banyak pikir, semua dilahap. Padahal masing-masing makanan punya peruntukan tertentu. Akhirnya walaupun seseorang itu banyak membaca buku, mereka belum tentu paham terhadap maksud dari buku tersebut.

          

 

         

            
 



Benarkah Weda Hanya Boleh Diketahui Orang Orang Suci?

Ada yang mengatakan bahwa membaca kitab suci tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Pertanyaannya adalah, Siapakah yang boleh membaca dan Menafsirkan kitab suci? Apakah Sulinggih, pemangku, Guru Agama hindu, siswa atau mahasiswa Hindu, Umat Hindu dan Siapa saja termasuk non Hindu? Jika seseorang tidak berwenang membaca dan Menafsirkan kitab suci, tapi melanggar, apakah sangsi dan hukumannya?

Mungkin pertanyaan tersebut muncul ketika ada Sulinggih berdharma-wacana di media publik bahwa tidak sembarang orang boleh membaca atau menafsirkan kitab suci Weda. Mungkin maksudnya Mantra ya? Perlu saya jelaskan disini agar orang orang tidak bingung. Karena definisi Weda bagi orang Bali Hindu pasti identik dengan mantra mantra kepemangkuan atau mantra mantra Sulinggih. Makanya ada pernyataan bahwa tidak sembarang orang boleh membaca atau menafsirkan kitab suci Weda. Kecuali orang orang yang sudah Mediksa sprti Pemangku, Sulinggih dan lain sebagainya.

Mengenai pertanyaan, siapa saja yang boleh membaca kitab suci Weda? Jawabannya adalah jika membaca Weda seperti Purana, Itihasa, Upanisad, dan lain sebagainya, semua orang boleh membacanya. Tapi jika membaca Weda menurut definisi orang orang Bali Hindu (Mantra-mantra kepemangkuan atau Sulinggih), hanya orang yang telah Mediksa yang boleh membacanya. Mengenai apa sanksi dan hukumannya jika melanggar? Sanksi dan hukumannya tidak ada. Tetapi orang Walaka atau orang yang belum Mediksa, belum memiliki hak untuk Muput Upacara atau Muput Yadnya.