Asal-usul Siwaratri tidak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis Mpu Tanakung. Dikisahkan, seorang pemburu binatang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang tak bersalah. Suatu malam ia terpaksa bermalam di hutan sambil berdiam diri di atas pohon agar tidak tidur dan terjatuh. Tanpa dia sadari, malam itu adalah hari Siwaratri. Sambil bermalam, ia menyesali semua perbuatannya yaitu membunuh binatang yang tak bersalah. Dan berjanji dalam hati untuk tidak melakukannya lagi. Setelah meninggal, arwah sang pemburu binatang dimasukkan ke neraka. Pada waktu itu, muncullah Dewa Siwa yang membebaskan sang pemburu binatang. Pasukan Cikrabala yang bertugas membawa pemburu ke neraka mempertanyakan hal tersebut.
Dewa Siwa menjelaskan sang pemburu telah menebus dosa-dosanya dengan begadang semalaman dan menyesali perbuatannya sehingga berhak mendapatkan pengampunan. Kisah itu pun menggambarkan Hari Siwaratri, yakni malam peleburan dosa. Momentum untuk refleksi diri agar senantiasa terjaga dari mimpi-mimpi terjadi setiap tahun, yakni dalam perayaan Siwaratri. Mengambil cerita Lubdaka, banyak orang percaya bahwa perayaan tersebut adalah sebagai malam peleburan dosa. Dikisahkan bahwa Lubdaka sendiri adalah seorang pemburu yang kesehariannya senantiasa membunuh. Tetapi, oleh karena kebetulan pada malam hari, yakni satu hari sebelum Tilem Kapitu, Lubdaka tidak tidur semalam suntuk di hutan.
Sementara dalam rubrik Mutiara Weda di harian Nusa Bali yang ditulis oleh Igede Suantana tertanggal 17 Januari 2018 mengisahkan bahwa Malam itu adalah malam hari dimana Dewa Siwa sedang melaksanakan Samadhi. Diyakini bahwa siapapun yang ikut tidak tidur di malam itu akan mendapat rahmat Siwa. Hal ini terbukti ketika Lubdaka meninggal, Atmannya langsung dijemput oleh pasukan Ganapala untuk dibawa ke Siwaloka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar