Selasa, 26 November 2024

"Orang Jahat: Caandala Terendah dalam Kehidupan"

Dalam Kitab Slokantara 68 Sloka 64, dijelaskan bahwa dalam berbagai golongan makhluk hidup, terdapat golongan yang dianggap paling rendah atau "caandala." Di antara bangsa burung, gagaklah yang dianggap caandala, sementara di antara binatang berkaki empat, keledailah yang paling rendah. Dalam golongan manusia, mereka yang pemarah atau mudah marah disebut sebagai caandala, dan pada akhirnya, orang yang jahat itulah yang berada pada posisi paling rendah, menjadi caandala sejati.

Gagak, sebagai burung, diibaratkan sebagai caandala karena sifatnya yang buruk, seperti kebiasaannya memakan bangkai dan menebarkan kesan kotor dan jahat. Begitu juga keledai liar, yang dikenal dengan kekerasan dan kebodohannya, dianggap sebagai hewan dengan sifat caandala. Namun, dari seluruh makhluk hidup yang digolongkan sebagai caandala, manusia dengan sifat pemarah atau mudah tersinggung berada pada tingkatan yang lebih rendah dari keduanya. Kemarahan, sebagai cerminan dari keburukan hati, menempatkan seseorang pada posisi yang sangat tidak terhormat.

Namun, dalam ajaran ini, ada satu sosok yang jauh lebih rendah daripada semua golongan caandala yang telah disebutkan. Sosok tersebut adalah orang jahat, yang tindakannya tidak hanya mencemarkan dirinya, tetapi juga mengancam kedamaian dan keharmonisan di dunia ini. Orang jahat ini, dengan niatnya untuk menghancurkan sesama manusia dan perikemanusiaan, menjadi caandala yang paling hina, jauh lebih rendah dari gagak, keledai, atau orang yang pemarah sekalipun. Keinginannya untuk merusak, menyakiti, dan menciptakan penderitaan menjadikannya sebagai pribadi yang paling rendah di antara yang terendah.

Dalam pengertian ini, kita bisa melihat bahwa kejahatan bukan hanya soal tindakan buruk, tetapi juga terkait dengan niat yang sangat merusak. Ini adalah ajaran moral yang mendalam, bahwa seseorang tidak hanya dinilai dari latar belakang atau pekerjaan mereka, tetapi lebih pada sifat dan tindakannya. Bahkan jika seseorang berasal dari golongan terendah sekalipun, jika ia berhati baik dan berbuat baik, ia tidak termasuk dalam kategori caandala. Sebaliknya, seseorang yang berasal dari kasta mana pun, jika ia memiliki sifat jahat, ia akan lebih rendah dari caandala. Kejahatan, dalam pandangan ini, lebih dipengaruhi oleh hati dan perbuatan, bukan asal-usul atau status sosial.

Beberapa pemikir, seperti Prof. Gonda, berpendapat bahwa istilah "caandala" tidak merujuk pada orangnya secara keseluruhan, tetapi lebih pada pekerjaan atau perilaku buruk yang dilakukan. Dengan demikian, seseorang bisa saja dianggap caandala jika mereka melakukan pekerjaan yang dianggap hina atau memiliki kebiasaan buruk, tetapi jika mereka berhenti dan mengubah perilakunya, mereka tidak lagi disebut demikian. Hal ini menunjukkan bahwa status atau golongan dalam ajaran ini tidak bersifat tetap, melainkan sangat bergantung pada tindakan dan perilaku seseorang.

Namun, ada juga pandangan dari Dr. Ganggaa Prasad Upadhyaya yang menekankan bahwa golongan caandala dianggap sebagai yang paling rendah dalam sistem kasta. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa mereka tidak termasuk dalam kasta manapun, melainkan berada di luar kasta itu sendiri. Mereka dianggap sebagai bagian dari golongan yang tidak terhormat, terlepas dari kelahiran atau pekerjaan mereka. Namun, dalam Sloka yang kita bahas ini, ada penggolongan yang lebih dalam, yakni orang yang memiliki sifat jahat. Orang yang jahat, tidak peduli dari kasta mana pun mereka berasal, menempati posisi yang lebih rendah dari caandala, bahkan bisa disebut sebagai caandala sejati.

Penggolongan ini menegaskan bahwa kejahatan tidak mengenal batasan golongan, tidak peduli apakah seseorang berasal dari kasta Brahmana, Kshatriya, Vaisya, Sudra, atau bahkan caandala itu sendiri. Jika mereka berperilaku jahat dan memiliki niat untuk merusak kehidupan manusia serta nilai-nilai kemanusiaan, maka mereka berada pada tingkat yang lebih rendah dari caandala. Kejahatan mereka menjadi begitu merusak, sehingga tidak ada kasta atau golongan yang dapat mengangkat derajat mereka. Kejahatan mereka menjadi cermin dari kehancuran dan ketidakmampuan untuk berkontribusi pada kebaikan bersama.

Hal ini juga sejalan dengan ajaran dalam Kitab Niiti 'Saastra 1.8, yang mengatakan bahwa di antara burung yang jahat, gagak adalah yang paling terkenal dengan sifatnya yang buruk dan kecerdikannya yang digunakan untuk tujuan jahat. Di antara binatang berkaki empat, keledai dikenal dengan sifatnya yang rendah dan kebodohannya. Begitu pula dengan sifat pemarah, yang mencerminkan rendahnya perasaan kasih sayang dan kebaikan. Namun, dalam pandangan ini, caandala yang paling rendah adalah bukan mereka yang seperti gagak, keledai, atau pemarah, tetapi orang yang berkhianat. Orang yang berkhianat, yang mengkhianati kepercayaan dan menyebarkan keburukan, merupakan sosok yang berada pada tingkat terendah dari seluruh caandala.

Dengan demikian, ajaran ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga hati dan perilaku. Tidak peduli dari mana asal kita atau golongan mana yang kita anut, yang terpenting adalah sifat dan tindakan kita. Orang yang memiliki niat baik dan melakukan kebaikan, meskipun berasal dari golongan yang dianggap rendah, tetap berada pada derajat yang lebih tinggi daripada orang yang jahat atau berkhianat. Semoga kita semua senantiasa menjaga hati dan niat kita agar tetap berada pada jalan kebaikan, demi kebahagiaan dan kedamaian bersama.

Tidak ada komentar: