Beberapa waktu yang lalu, di sebuah grup Facebook Hindu, saya menemukan sebuah pernyataan yang cukup mengusik. Pernyataan tersebut datang dari Putu Agus Suartama, yang mengungkapkan pandangannya tentang generasi muda Hindu saat ini. Menurutnya, generasi muda Hindu kini tidak mampu lagi membuat canangsari, daksina, atau upakara lainnya, dan mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain handphone. Bahkan, ia menyatakan bahwa Hindu berisiko ditinggalkan karena sekarang agama ini dianggap membutuhkan uang—dengan segala sesuatu yang harus dibeli, mulai dari banten, pemuput, pengayah, gong, hingga topeng. Semua itu, menurutnya, lebih berhubungan dengan aspek material dan bukan dengan kedalaman spiritual.
Saya merasa penting untuk memberikan tanggapan terhadap pandangan ini, dengan sikap kritis namun tetap hormat. Memang, ada beberapa kekhawatiran yang bisa dipahami terkait dengan pergeseran zaman, namun saya tidak sependapat jika kita langsung menyimpulkan bahwa generasi muda Hindu akan meninggalkan agama mereka hanya karena alasan ekonomi dan teknologi. Bahkan, saya percaya bahwa meskipun ada tantangan, ada pula peluang besar untuk melestarikan ajaran dan tradisi Hindu dengan cara yang lebih relevan bagi zaman sekarang.
Generasi muda memang hidup di era yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Mereka dikelilingi oleh kemajuan teknologi, dengan smartphone dan media sosial yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Namun, pernyataan bahwa generasi muda Hindu hanya "main HP" dan tidak memahami nilai-nilai dasar agama mereka, menurut saya, adalah gambaran yang terlalu general dan kurang akurat.
Teknologi memang mempengaruhi cara hidup, tetapi itu tidak serta merta menghapuskan nilai-nilai budaya dan agama yang telah lama tertanam dalam masyarakat Hindu. Justru, dengan teknologi yang ada, kita bisa lebih mudah mengenalkan, mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran Hindu kepada generasi muda. Melalui berbagai platform digital, video tutorial, dan bahkan aplikasi pembelajaran, generasi muda dapat lebih mudah mengakses informasi mengenai cara membuat canangsari, daksina, atau memahami ritual-ritual Hindu lainnya.
Jika kita berbicara tentang bagaimana generasi muda berinteraksi dengan teknologi, ini bukanlah masalah yang harus dilihat sebagai ancaman terhadap keberlangsungan agama, tetapi sebagai sebuah kesempatan untuk berinovasi dalam penyampaian ajaran-ajaran Hindu yang relevan dengan dunia mereka. Mungkin mereka tidak lagi membuat canangsari dengan tangan mereka sendiri seperti generasi sebelumnya, tetapi bisa jadi mereka menemukan cara baru untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan melalui media sosial atau video online.
Saya memahami bahwa ada kenyataan bahwa pelaksanaan ritual Hindu seringkali membutuhkan biaya. Banten, pemuput, pengayah, gong, dan topeng memang merupakan komponen yang melibatkan pengeluaran, dan ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi keluarga dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Namun, kita harus berhati-hati dalam melihat masalah ini.
Pertama, kita harus menyadari bahwa agama dan tradisi tidak hanya berkaitan dengan uang. Benar bahwa dalam beberapa ritual tertentu, ada biaya yang terlibat, tetapi nilai dari kegiatan tersebut bukan hanya diukur dengan materi. Sebagai contoh, banyak tempat suci atau pura yang mengadakan upacara keagamaan yang tidak selalu mengutamakan biaya besar. Agama Hindu lebih mengedepankan niat baik dan ketulusan hati dalam beribadah dan menjalankan kewajiban agama.
Kedua, mengenai biaya untuk pemuput, pengayah, atau bahkan pembelian banten, ini bukan berarti bahwa hanya orang yang memiliki uang yang bisa menjalankan agama Hindu dengan benar. Tradisi Hindu juga mengajarkan konsep gotong-royong, nyatur, dan ngayah yang memungkinkan masyarakat saling membantu dan mendukung pelaksanaan ritual, tanpa harus selalu bergantung pada aspek materi.
Pernyataan bahwa "hanya di era pertanian tradisional agama, adat, dan tradisi Hindu berjalan dengan baik" adalah pandangan yang perlu dilihat dengan lebih kritis. Memang, kehidupan di era pertanian memungkinkan keterikatan yang lebih langsung dengan alam, dan ritus-ritus keagamaan seringkali dilakukan dalam konteks yang sangat dekat dengan lingkungan sehari-hari. Namun, apakah ini berarti bahwa agama Hindu hanya bisa dijalankan dengan baik di era tersebut? Tentu saja tidak.
Hindu adalah agama yang sangat fleksibel dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan zaman. Kita bisa melihat bagaimana banyak ajaran Hindu yang masih sangat relevan dalam kehidupan modern. Prinsip-prinsip seperti ahimsa (tanpa kekerasan), satya (kejujuran), dharma (kewajiban moral), dan karma (sebab akibat) adalah nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apapun latar belakangnya, baik di kota besar maupun di desa.
Dalam konteks ini, agama Hindu tidak akan pernah ditinggalkan hanya karena zaman telah berubah. Sebaliknya, agama ini bisa terus berkembang dan beradaptasi, selama kita mampu menjaga dan memperkenalkan esensi ajaran tersebut dengan cara yang lebih modern dan relevan.
Pelestarian agama dan tradisi Hindu tidak harus selalu berhubungan dengan cara-cara yang lama dan kaku. Kita dapat terus menghidupkan nilai-nilai luhur Hindu melalui berbagai cara yang lebih inovatif. Misalnya, dalam konteks pembuatan canangsari dan upakara lainnya, kita bisa mengajarkan generasi muda untuk memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka, bahkan jika mereka tidak selalu bisa melakukannya secara manual. Mereka bisa menggunakan teknologi untuk memperkaya pemahaman mereka tentang makna di balik setiap ritual dan upakara, sambil tetap menghargai proses dan niat di baliknya.
Selain itu, kita juga bisa melibatkan generasi muda dalam kegiatan ngayah atau pelayanan sosial lainnya yang sejalan dengan ajaran Hindu. Mungkin mereka tidak selalu terlibat langsung dalam upacara, tetapi mereka bisa berkontribusi dalam bentuk lain, seperti melalui kegiatan lingkungan, pendidikan, atau sosial yang mengedepankan nilai-nilai Hindu.
Sebagai Penutup, Pernyataan bahwa generasi muda Hindu akan meninggalkan agamanya karena faktor biaya dan kemajuan teknologi adalah sebuah ketakutan yang terlalu berlebihan. Generasi muda saat ini memiliki kapasitas dan potensi yang luar biasa untuk menjaga dan mengembangkan tradisi Hindu, selama kita memberikan mereka ruang untuk belajar dan beradaptasi dengan cara mereka sendiri. Kita harus ingat bahwa agama Hindu bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang pemahaman yang mendalam mengenai kehidupan, kedamaian, dan keseimbangan.
Saatnya bagi kita untuk melihat perubahan zaman sebagai sebuah kesempatan untuk lebih menghidupkan ajaran Hindu, bukan sebagai ancaman. Melalui pendidikan, inovasi, dan semangat gotong royong, kita dapat memastikan bahwa agama Hindu tetap relevan dan terus dilestarikan oleh generasi-generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar