Jumat, 20 Oktober 2023

Kenapa Orang Hindu Tidak Makan Daging Sapi?

Kenapa orang Hindu tidak makan daging sapi? Kalau soal itu, kembali ke individu masing-masing. Karena tidak semua orang Hindu itu tidak mengkonsumsi daging sapi. Karena Hindu itu beraneka ragam. Ada yang makan daging sapi. Sementara yang kebetulan mempelajari vegetarian, mereka bukan hanya tidak makan daging sapi, melainkan juga tidak mengkonsumsi segala daging. Tetapi jika nafsu makan dagingnya tidak bisa dikendalikan,maka dibuatkanlah daging buatan yang terbuat dari tepung atau jamur.

Di bali, ada yang mewajibkan seseorang agar tidak makan daging sapi. Umat Hindu di Bali yang tidak makan daging sapi biasanya seorang Pemangku atau Sulinggih. Kenapa tidak makan daging sapi? Karena Pemangku dan Sulinggih di Bali sebagian besar menganut paham Siwa Sidhanta. Dalam Mitologi Hindu diceritakan bahwa Bhatara Siwa memiliki kendaraan sapi putih atau lembu yang bernama Nandini. Untuk menghormati junjungannya, beliau juga menghormati kendaraannya. Makanya tidak mau makan daging yang dijadikan simbol kendaraan Bhatara Siwa. Sulinggih Sampradaya juga tidak mengkonsumsi daging sapi. 

Lalu bagaimana dengan asumsi yang keliru tentang umat Hindu menyembah sapi? Selama ini ada umat lain menuduh orang Hindu menyembah sapi. Tuduhan itu tidak benar. Karena dari dulu saya belum pernah melihat ada orang Hindu menyembah sapi.
Kecuali pada saat Tumpek kandang atau Otonan pada binatang, barulah saya lihat ada orang memberi sesajen pada sapi. Tapi itu bukan berarti menyembah sapi. Kalau menyembah Arca sapi putih atau lembu Nandini, itu sama dengan menyembah Siwa. Karena prinsip Hindu, memuja Ista Dewata sama dengan memuja Tuhan. Jadi menghormati Arca Nandini dalam ajaran Hindu sangat dibenarkan. Kalau di India, hampir semua orang Hindu menghormati sapi. Karena sapi di sana dianggap seorang ibu. Sapi juga menghasilkan susu terutama sapi perah. Tenaga sapi bisa juga digunakan untuk membajak sawah walaupun sudah ada traktor. Kotoran sapi bisa digunakan untuk pupuk. 





Sabtu, 07 Oktober 2023

Makna Bhagawadgita Bab 9 Sloka 26.


Dalam Bab 9 Sloka 26 dijelaskan bahwa Bagaimana Proses Untuk Mengembangkan Cinta Bhakti Kepada tuhan dengan Begitu Mudah?  Sehingga Setiap Orang Dapat Melakukannya? Dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa Tuhan Menginginkan Sesuatu Yang Sangat Sederhana Yang Pastinya Mampu dilakukan Oleh  Semua Orang. Betapapun Miskinnya Orang Tersebut, mereka pasti Bisa Mempersembahkannya Kepada Tuhan. Contohnya mempersembahkan daun pada tuhan. Kalau Kita Tidak Punya Dedaunan, Kita Bisa Mempersembahkan Setangkai Bunga. Kalau Kita Tidak Punya Bunga, Kita Bisa mempersembahkan Buah. Kalau Kita Tidak Punya Buah Maka Kita Bisa mempersembahkan air saja. Sebab Air Ada Dimana-Mana Dan Setiap Orang Pasti Punya. Sehingga Semiskin Apapun orang tersebut, dia Pasti Bisa Melakukannya.
Namun karena kreatifitas umat Hindu di Bali yang begitu tinggi dan didukung ekonomi yang sudah maju, maka umat Hindu di Bali merasa malu jika sembahyang ke pura cuma menghaturkan bunga saja. Harus ada usaha keras agar bunga tersebut kelihatan indah. Contohnya ketika kita mau mempersembahkan kado pada orang tua, saudara, sahabat ataupun pacar, kita berusaha keras agar tampilan kado begitu indah dan rapi. Kalau kita hanya mempersembahkan daun saja pada tuhan, maka kreatifitas kita akan mati. Makanya sebelum sembahyang ke pura, terlebih dahulu bunga dan janur dirangkai sedemikian rupa agar kelihatan menarik. Dengan jiwa seni umat Hindu di Bali maka terciptalah Canang Sari Atau Yang lebih besar dinamakan Canang Raka dan Banten. Yang terdiri dari daun, bunga dan buah. Kalau kita hanya berpatokan pada sloka di atas, maka selamanya kita akan miskin. Karena jiwa kita miskin dan selalu berharap gratisan. Dan tidak memiliki upaya keras untuk mendapatkan sesuatu. 

Contohnya kita ingin sekali mendapatkan buku buku hindu yang mungkin harganya 50 ribu dan kita sudah punya cukup uang. Tetapi kita selalu berharap gratisan karena sayang pada uang. Dan lucunya kita meminta potokopiannya saja. Dikiranya biaya potokopi buku lebih murah daripada harga buku. Kalau harga buku 50 ribu, mungkin jika buku itu dipotokopi akan memakan biaya 100 ribu. Itu adalah contoh orang orang yang berjiwa kering. Beda dengan orang yang berjiwa kreatifitas. Jangankan harga buku 50 ribu. Jika kita perlu, biarpun harganya lebih dari itu, kita pasti mampu membelinya. Karena kita memiliki jiwa pekerja keras. Dengan bekerja keras, kita mampu beryadnya. Ingat, beryadnya itu bukan hanya hubungan dengan tuhan saja. Bersedekah juga termasuk yadnya namanya. Andaikan kita semua berharap gratisan saja dan tidak mau bekerja keras, dunia ini tidak akan sejahtera. Jangankan menolong orang lain, menolong diri sendiri saja tidak bisa. Karena kita malas dan tidak mau bekerja keras.

Makanya di grup Facebok, jika ada yang memposting penjualan buku buku hindu pasti jarang yang mau komen. Paling hanya di-like saja. Atau lucunya minto kopiannya saja. Tapi jika berdebat di media sosial, orang orang indonesia paling nomer satu. Karena orang Indonesia itu sok pintar ngomong, suka debat, kelebihan teori, tapi praktiknya nol. Jika ada postingan yang mau menggalang dana untuk menolong orang yang terkena musibah, jarang ada yang komen. Mereka berdalih tidak punya apa apa dan tidak ada yang disumbangkan. Ups, jaga ucapanmu ya? Kamu bilang tidak punya apa apa, itu salah besar. Kamu punya tangan, punya bibir, punya pikiran. Ingat, menolong orang tidak selalu identik dengan uang. Kita punya tangan, gunakanlah tangan itu untuk menolong. Kita punya bibir, gunakanlah untuk bicara yang baik, mendoakan orang yang kena musibah. Kita punya pikiran, gunakanlah untuk memecahkan masalah. Makanya mulai sekarang berhentilah mengatakan kamu tidak punya apa apa. Kamu harus kreatif.

Mengenai mempersembahkan air, sangat lucu kedengarannya jika kita ke pura cuma mempersembahkan air saja. Masyarakat awam tidak boleh sembarangan mempersembahkan air pada tuhan. Karena hanya Sulinggih dan Mangku yang berhak mempersembahkan air pada tuhan. Dan memohon agar air itu menjadi Tirta. Setelah air itu mendapatkan anugrah dari tuhan, barulah air tersebut dibagikan kepada umat agar semua orang mendapatkan anugrah dari tuhan. 

Umat Hindu di Bali menggelar yadnya selalu ada unsur seninya. Makanya dalam bagian bagian Weda ada istilah Gandarwa atau ilmu yang mempelajari seni. Dalam memberikan wejangan pada masyarakat, orang Bali menyuguhkannya dalam bentuk Sendratari, drama, Parwa dan Topeng. Yang mengambil lakon Mahabrata dan Ramayana. Saking seninya umat Hindu di Bali, makanya ada Banten Pajegan atau Gebogan yang menjulang tinggi. Pura sebagian besar di Bali dihiasi dengan seni ukir. Ada juga Wadah, Bade, dan lembu dalam upacara Ngaben. Mengenai etika persembahan pada tuhan, umat tidak mau mempersembahkan bunga yang sudah busuk, layu, dan dihinggapi semut atau ulat. Dalam merangkai janur, tidak boleh memakai Staples. Harus memakai Semat. Dan dalam mempersembahkan Saiban tidak boleh memakai kertas minyak. Harus memakai daun pisang. 

Jadi kesimpulannya adalah, Walaupun dalam sloka Bhagavad Gita disebutkan bahwa persembahan kepada Tuhan bisa berupa sekuntum bunga dan seteguk air, penting untuk diingat bahwa konteks ajaran tersebut adalah tentang sikap batin yang tulus dan bukan sekadar fisik dari persembahan. Menyimpulkan bahwa bebantenan boleh kurang bisa berpotensi menafikan nilai penting dari niat dan usaha dalam persembahan, yang juga memiliki makna mendalam dalam berbagai tradisi dan praktik keagamaan."