Minggu, 12 Maret 2023

Krisis Kepercayaan: Soal Moralitas dan Proses Diksa Sulinggih di Era Digital

Kasus viral oknum sulinggih yang menyebarkan video mesum di media sosial, menyusul kasus pelecehan seksual tahun lalu, mengguncang kepercayaan umat Hindu.  Peristiwa ini bukan sekadar skandal pribadi, melainkan krisis moralitas yang mempertanyakan integritas institusi kependetaan dan proses pendidikan para sulinggih.  Bagaimana bisa mereka yang seharusnya menjadi panutan, justru melakukan perbuatan tercela yang jauh dari nilai-nilai dharma?
 
Tulisan ini mencoba mengurai beberapa pertanyaan krusial yang muncul dari kasus ini.  Pertama, bagaimana proses belajar dan persiapan Diksa Pariksa oknum sulinggih yang bermoral rendah tersebut?  Apakah proses seleksi dan pengawasan selama pendidikan dan pelatihannya berjalan dengan ketat dan efektif?  Apakah terdapat celah dalam sistem yang memungkinkan individu dengan moralitas rendah lolos dan bahkan diangkat menjadi sulinggih?  Identitas oknum sulinggih ("Nabe") dan pihak yang melakukan Diksa Pariksa perlu diungkap untuk menelusuri akar masalah.  Peran Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga menjadi sorotan.  Apa tindakan tegas yang telah dan akan diambil PHDI terhadap para oknum sulinggih tersebut?  Mencabut gelar, memecat, dan menarik sertifikat adalah langkah minimal yang harus dilakukan untuk menjaga martabat institusi dan kepercayaan umat.
 
Lebih jauh, kita perlu mempertanyakan aspek-aspek lain dalam proses Diksa Pariksa.  Apakah ada kesalahan dalam proses Padiksaan atau Walaka muda yang belum layak namun ambisius menjadi sulinggih?  Apakah Nabenya (guru spiritual) kurang teliti dalam membimbing siswanya?  Atau, apakah proses Diksa Pariksa sendiri terlalu longgar dan asal-asalan?  Siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan sistem ini?  Apakah lepas tanggung jawab dengan mengorbankan kepercayaan umat Hindu di Indonesia demi kepentingan pribadi?  Apakah proses Mediksa (proses pentahbisan) saat ini sudah cukup komprehensif, termasuk uji kelayakan wawasan dan izin dari Parisada provinsi?
 
Kasus ini mendesak perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan dan pengawasan sulinggih.  Dibutuhkan institusi kebrahmanaan nasional yang bonafide, dengan kurikulum yang komprehensif mencakup Weda, kitab-kitab Hindu lainnya, dan lontar-lontar, serta praktikumnya.  Uji kompetensi dan Diksa Pariksa harus dilakukan secara teliti, terdaftar, terkontrol, dan terevaluasi secara berkala.  Seleksi yang ketat dan transparan sangat penting untuk memastikan hanya calon sulinggih yang memiliki moralitas dan integritas tinggi yang dapat diangkat.
 
Setelah menjadi sulinggih,  kebersihan jiwa dan pelepasan diri dari keduniawian dan keterikatan menjadi kunci.  Tempat pendidikan dan pelatihan perlu diperbaiki untuk membentuk karakter dan moral sulinggih yang kokoh.  Seorang sulinggih tidak boleh terpengaruh kesenangan duniawi, karena hal itu akan melemahkan kekuatan mantra dan pemahaman Tatwa.  Sulinggih yang melakukan hubungan badan dengan perempuan yang bukan istrinya (Wiku Anyolong Semara) harus segera dicabut status kependetaannya.
 
Krisis kepercayaan ini bukan hanya tanggung jawab PHDI, tetapi juga tanggung jawab seluruh umat Hindu.  Kita harus bersama-sama mengawal reformasi ini agar institusi kependetaan tetap terjaga martabatnya dan mampu menjadi panutan bagi umat.  Kepercayaan umat adalah modal utama dalam menjaga harmoni dan kesucian agama Hindu.