Jumat, 20 Oktober 2023

Kenapa Orang Hindu Tidak Makan Daging Sapi?

Kenapa orang Hindu tidak makan daging sapi? Kalau soal itu, kembali ke individu masing-masing. Karena tidak semua orang Hindu itu tidak mengkonsumsi daging sapi. Karena Hindu itu beraneka ragam. Ada yang makan daging sapi. Sementara yang kebetulan mempelajari vegetarian, mereka bukan hanya tidak makan daging sapi, melainkan juga tidak mengkonsumsi segala daging. Tetapi jika nafsu makan dagingnya tidak bisa dikendalikan,maka dibuatkanlah daging buatan yang terbuat dari tepung atau jamur.

Di bali, ada yang mewajibkan seseorang agar tidak makan daging sapi. Umat Hindu di Bali yang tidak makan daging sapi biasanya seorang Pemangku atau Sulinggih. Kenapa tidak makan daging sapi? Karena Pemangku dan Sulinggih di Bali sebagian besar menganut paham Siwa Sidhanta. Dalam Mitologi Hindu diceritakan bahwa Bhatara Siwa memiliki kendaraan sapi putih atau lembu yang bernama Nandini. Untuk menghormati junjungannya, beliau juga menghormati kendaraannya. Makanya tidak mau makan daging yang dijadikan simbol kendaraan Bhatara Siwa. Sulinggih Sampradaya juga tidak mengkonsumsi daging sapi. 

Lalu bagaimana dengan asumsi yang keliru tentang umat Hindu menyembah sapi? Selama ini ada umat lain menuduh orang Hindu menyembah sapi. Tuduhan itu tidak benar. Karena dari dulu saya belum pernah melihat ada orang Hindu menyembah sapi.
Kecuali pada saat Tumpek kandang atau Otonan pada binatang, barulah saya lihat ada orang memberi sesajen pada sapi. Tapi itu bukan berarti menyembah sapi. Kalau menyembah Arca sapi putih atau lembu Nandini, itu sama dengan menyembah Siwa. Karena prinsip Hindu, memuja Ista Dewata sama dengan memuja Tuhan. Jadi menghormati Arca Nandini dalam ajaran Hindu sangat dibenarkan. Kalau di India, hampir semua orang Hindu menghormati sapi. Karena sapi di sana dianggap seorang ibu. Sapi juga menghasilkan susu terutama sapi perah. Tenaga sapi bisa juga digunakan untuk membajak sawah walaupun sudah ada traktor. Kotoran sapi bisa digunakan untuk pupuk. 





Sabtu, 07 Oktober 2023

Makna Bhagawadgita Bab 9 Sloka 26.


Dalam Bab 9 Sloka 26 dijelaskan bahwa Bagaimana Proses Untuk Mengembangkan Cinta Bhakti Kepada tuhan dengan Begitu Mudah?  Sehingga Setiap Orang Dapat Melakukannya? Dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa Tuhan Menginginkan Sesuatu Yang Sangat Sederhana Yang Pastinya Mampu dilakukan Oleh  Semua Orang. Betapapun Miskinnya Orang Tersebut, mereka pasti Bisa Mempersembahkannya Kepada Tuhan. Contohnya mempersembahkan daun pada tuhan. Kalau Kita Tidak Punya Dedaunan, Kita Bisa Mempersembahkan Setangkai Bunga. Kalau Kita Tidak Punya Bunga, Kita Bisa mempersembahkan Buah. Kalau Kita Tidak Punya Buah Maka Kita Bisa mempersembahkan air saja. Sebab Air Ada Dimana-Mana Dan Setiap Orang Pasti Punya. Sehingga Semiskin Apapun orang tersebut, dia Pasti Bisa Melakukannya.
Namun karena kreatifitas umat Hindu di Bali yang begitu tinggi dan didukung ekonomi yang sudah maju, maka umat Hindu di Bali merasa malu jika sembahyang ke pura cuma menghaturkan bunga saja. Harus ada usaha keras agar bunga tersebut kelihatan indah. Contohnya ketika kita mau mempersembahkan kado pada orang tua, saudara, sahabat ataupun pacar, kita berusaha keras agar tampilan kado begitu indah dan rapi. Kalau kita hanya mempersembahkan daun saja pada tuhan, maka kreatifitas kita akan mati. Makanya sebelum sembahyang ke pura, terlebih dahulu bunga dan janur dirangkai sedemikian rupa agar kelihatan menarik. Dengan jiwa seni umat Hindu di Bali maka terciptalah Canang Sari Atau Yang lebih besar dinamakan Canang Raka dan Banten. Yang terdiri dari daun, bunga dan buah. Kalau kita hanya berpatokan pada sloka di atas, maka selamanya kita akan miskin. Karena jiwa kita miskin dan selalu berharap gratisan. Dan tidak memiliki upaya keras untuk mendapatkan sesuatu. 

Contohnya kita ingin sekali mendapatkan buku buku hindu yang mungkin harganya 50 ribu dan kita sudah punya cukup uang. Tetapi kita selalu berharap gratisan karena sayang pada uang. Dan lucunya kita meminta potokopiannya saja. Dikiranya biaya potokopi buku lebih murah daripada harga buku. Kalau harga buku 50 ribu, mungkin jika buku itu dipotokopi akan memakan biaya 100 ribu. Itu adalah contoh orang orang yang berjiwa kering. Beda dengan orang yang berjiwa kreatifitas. Jangankan harga buku 50 ribu. Jika kita perlu, biarpun harganya lebih dari itu, kita pasti mampu membelinya. Karena kita memiliki jiwa pekerja keras. Dengan bekerja keras, kita mampu beryadnya. Ingat, beryadnya itu bukan hanya hubungan dengan tuhan saja. Bersedekah juga termasuk yadnya namanya. Andaikan kita semua berharap gratisan saja dan tidak mau bekerja keras, dunia ini tidak akan sejahtera. Jangankan menolong orang lain, menolong diri sendiri saja tidak bisa. Karena kita malas dan tidak mau bekerja keras.

Makanya di grup Facebok, jika ada yang memposting penjualan buku buku hindu pasti jarang yang mau komen. Paling hanya di-like saja. Atau lucunya minto kopiannya saja. Tapi jika berdebat di media sosial, orang orang indonesia paling nomer satu. Karena orang Indonesia itu sok pintar ngomong, suka debat, kelebihan teori, tapi praktiknya nol. Jika ada postingan yang mau menggalang dana untuk menolong orang yang terkena musibah, jarang ada yang komen. Mereka berdalih tidak punya apa apa dan tidak ada yang disumbangkan. Ups, jaga ucapanmu ya? Kamu bilang tidak punya apa apa, itu salah besar. Kamu punya tangan, punya bibir, punya pikiran. Ingat, menolong orang tidak selalu identik dengan uang. Kita punya tangan, gunakanlah tangan itu untuk menolong. Kita punya bibir, gunakanlah untuk bicara yang baik, mendoakan orang yang kena musibah. Kita punya pikiran, gunakanlah untuk memecahkan masalah. Makanya mulai sekarang berhentilah mengatakan kamu tidak punya apa apa. Kamu harus kreatif.

Mengenai mempersembahkan air, sangat lucu kedengarannya jika kita ke pura cuma mempersembahkan air saja. Masyarakat awam tidak boleh sembarangan mempersembahkan air pada tuhan. Karena hanya Sulinggih dan Mangku yang berhak mempersembahkan air pada tuhan. Dan memohon agar air itu menjadi Tirta. Setelah air itu mendapatkan anugrah dari tuhan, barulah air tersebut dibagikan kepada umat agar semua orang mendapatkan anugrah dari tuhan. 

Umat Hindu di Bali menggelar yadnya selalu ada unsur seninya. Makanya dalam bagian bagian Weda ada istilah Gandarwa atau ilmu yang mempelajari seni. Dalam memberikan wejangan pada masyarakat, orang Bali menyuguhkannya dalam bentuk Sendratari, drama, Parwa dan Topeng. Yang mengambil lakon Mahabrata dan Ramayana. Saking seninya umat Hindu di Bali, makanya ada Banten Pajegan atau Gebogan yang menjulang tinggi. Pura sebagian besar di Bali dihiasi dengan seni ukir. Ada juga Wadah, Bade, dan lembu dalam upacara Ngaben. Mengenai etika persembahan pada tuhan, umat tidak mau mempersembahkan bunga yang sudah busuk, layu, dan dihinggapi semut atau ulat. Dalam merangkai janur, tidak boleh memakai Staples. Harus memakai Semat. Dan dalam mempersembahkan Saiban tidak boleh memakai kertas minyak. Harus memakai daun pisang. 

Jadi kesimpulannya adalah, Walaupun dalam sloka Bhagavad Gita disebutkan bahwa persembahan kepada Tuhan bisa berupa sekuntum bunga dan seteguk air, penting untuk diingat bahwa konteks ajaran tersebut adalah tentang sikap batin yang tulus dan bukan sekadar fisik dari persembahan. Menyimpulkan bahwa bebantenan boleh kurang bisa berpotensi menafikan nilai penting dari niat dan usaha dalam persembahan, yang juga memiliki makna mendalam dalam berbagai tradisi dan praktik keagamaan."


Minggu, 18 Juni 2023

Kenapa Orang Bali Memberikan Sesajen Pada Pepohonan.

25 hari sebelum Galungan, umat Hindu di Bali memiliki ritual persembahan kepada pepohonan yang disebut Tumpek Pengatag. Mungkin di daerah-daerah lain terutama etnis Bali yang masih setia terhadap tradisinya, pasti ada juga tradisi tersebut. Cuma namanya berbeda tapi tujuannya sama. Biasanya para ibu ibu atau orang orang yang memiliki sawah atau ladang pada saat itu memberikan persembahan kepada pepohonan. Kenapa? Setelah saya melakukan wawancara dengan penekun penekun tradisi Bali, saya mendapatkan kesimpulan sebagai berikut.

Alasan pertama kenapa memberikan persembahan kepada pepohonan? Jawabannya adalah karena rasa syukur atau ucapan terimakasih pada tuhan melalui pepohonan yang memberikan banyak manfaat kepada mahluk hidup.  Umat juga pada saat itu memohon agar pepohonan berbuah lebat. Jika nanti berbuah lebat, buahnya bisa digunakan untuk ritual persembahan di hari Galungan.

Alasan kedua, dulu saya pernah nonton Dharmawacana dari seorang Sulinggih yang sekarang sudah almarhum. Beliau mengatakan bahwa umat Hindu di Bali memiliki konsep memanusiakan alam dan lingkungan.  Seperti contoh, orang yang rumahnya dekat dengan Pohon besar pasti orang tersebut akan menganggap pohon besar itu Tenget alias ada penunggunya. Setiap habis memasak biasanya menghaturkan Banten Saiban berupa sejumput nasi atau juga Canang Sari. Ada juga yang menghaturkan Rarapan seperti permen, kue, dan lain lain. Itulah yang disebut mempersonifikasi alam dan lingkungan.  Selain itu,  pohon juga dihiasi dengan kain warna putih kuning atau putih hitam. Mungkin tujuan tetua jaman dahulu untuk pelestarian alam dan lingkungan. Karena sudah dihiasi dengan kain dan sering diberikan persembahan, ada kemungkinan orang orang takut menebang pohon itu.

Alasan ketiga, umat Hindu memiliki konsep Wyapi Wyapaka yang artinya tuhan ada dimana mana.  Biarpun umat Hindu memberikan persembahan kepada pepohonan, bukan berarti mereka menyekutukan tuhan atau menyembah berhala. Namun sebenarnya mereka sedang menghubungkan diri dengan tuhan. 


Rabu, 10 Mei 2023

Kenapa Tuhan Menciptakan Mahluk Dan Alam Semesta.

Mengapa tuhan menciptakan mahluk dan alam semesta? Ada banyak sastra dan kitab suci yang menjelaskan tentang tuhan menciptakan seluruh mahluk dan alam semesta. Salah satunya adalah Taitrya Upanisad. Dalam kitab Taitrya Upanisad 6-1 dijelaskan bahwa tuhan berkeinginan, aku bermanifestasi menjadi banyak, menciptakan semua yang ada, kehidupan dan bukan kehidupan yang ada di dunia ini. Berarti alam semesta ini telah diciptakannya dan beliau masuk ke dalam seluruh ciptaannya. Setelah memasukinya, beliau diasumsikan berbentuk dan juga tidak berbentuk. Brahman memasuki mayanya bernama Atman. Brahman di dalam Upanisad disebut Mayin atau penguasa Maya. Sementara dalam kitab Candogya Upanisad 3-14-4 dan Brhad Arayaka Upanisad 4-4-5 dijelaskan bahwa Atman adalah Brahman. Jadi hanya beda nama saat berperan di panggung pertunjukannya. Makanya tuhan disebut meresap dan masuk di setiap ciptaannya. 
                    


Sabtu, 29 April 2023

Masalah Kasta Di Bali.

Jika ada seorang anak perempuan yang berkasta Anak Agung kawin dengan laki laki Jaba, bolehkah anak perempuan itu mabanten atau sembahyang ke rumah asalnya? Jawabannya boleh. Selama dikasi oleh keluarga bajang. Tetap juga hormati keluarga bajang ,kalau dibolehkan bersyukurlah.  Agar tidak ada masalah dengan keluarga. .Karena sebenarnya  yang kita puja di Merajan sama sama Ida Bhatara Guru. Ini kembali muncul antara Catur Warna dengan Catur Kasta. Yang ada dalam ajaran agama Hindu adalah Catur Warna yaitu empat macam jenis  kehidupan menurut agama Hindu. Pembagiannya adalah pertama.Brahmana yaitu orang yang bergelut di bidang keagamaan seperti pendeta, guru agama, Sarati Banten,pembuat wadah , Petulangan dan lain lain. Kedua Kesatrya yaitu angkatan perang seperti TNI dan polisi. Ketiga.Waisya adalah orang yang bergelut dibidang jual beli atau para pedagang. Keempat Sudra adalah para pekerja serabutan, Pelayan toko,restoran dan lain lain.

Di Bali antara agama dan adat budaya hampir susah dibedakan. Karena agama Hindu di Bali sudah menyatu antara adat budaya dengan agama. Banyak upacara upacara keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat bali. Di Bali ada Panca Yadnya..salah satunya adalah Manusa Yadnya  seperti upacara pernikahan atau Pawiwahan, Telubulanan, Otonan, Metatah dan banyak lagi yang lainnya. Di Bali selatan ada juga upacara Patiwangi atau Mepati wangi. Beberapa waktu yang lalu ada teman dari Dalung Kuta bercerita bahwa disana ada seorang pengantin pria dari Wangsa Pregusti mngambil istri dari anak Brahmana atau Dayu. Sebelum upacara Pawiwahan, terlebih dahulu melakukan ritual Mepatiwangi di pura Desa dan Puseh yang memiliki  makna mengembalikan Wangsa Dayunya. Mungkin karena pernikahan mereka berbeda kasta. Apakah di semua daerah di Bali ketika mengambil istri dari orang yang berkasta Dayu diwajibkan melakukan upacara tersebut?. Tidak juga. 
Kalau di wilayah Tejakula ada seorang pria mengawini wanita yang berkasta Desak atau Ida Ayu, maka keluarga mempelai pria tidak diwajibkan ke rumah keluarga mempelai wanita untuk Mamitang. Tidak ada istilah Nyerod. Dari kasta Desak tetap dipanggil Desak. Dari kasta Dayu tetap dipanggil Dayu. Tetapi tidak semuanya begitu. Ada juga wanita yang berkasta Gusti Arya atau Pregusti dikawini oleh pria Jaba, tetapi diperbolehkan ke rumah wanita untuk Mamitang. Di Tejakula sebenarnya banyak sekali ada orang orang berkasta. Tetapi karena adat Tejakula memiliki konsep Asah Basa atau tidak menerima kasta, maka kedudukan antara orang berkasta dan tidak, memiliki kedudukan yang sama.

Selasa, 25 April 2023

Meditasi Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Hindu.

Menurut Jiddu Khrisnamurti, meditasi artinya merenung atau berpikir. Makanya pikiran meditatif harus bebas dari pengukuran. Karena pikiran yang semata-mata mekanistik sebagaimana pemikiran tidak akan pernah dapat menemukan apa yang sebenarnya, tatanan tertinggi, karena itu adalah kebebasan yang lengkap. Seseorang harus memiliki pikiran yang luar biasa tertib, pikiran yang telah memahami kekacauan dan bebas sepenuhnya dari kekacauan yang merupakan kontradiksi, peniruan, kesesuaian, dan lain sebagainya. Perhatian bukanlah konsentrasi. Dalam perhatian itu ada kualitas keheningan. Bukan keheningan yang diciptakan oleh pikiran pikiran dan yang muncul setelah kebisingan serta dari satu pikiran yang menunggu pemikiran lain. Dalam meditasi itu selalu ada upaya, pengendalian dan disiplin untuk belajar sehingga pikiran menjadi semakin halus. Belajar adalah gerakan yang konstan dan tidak berdasarkan pada pengetahuan. Jadi meditasi adalah kebebasan dari yang diketahui yang merupakan ukuran. Dan dalam meditasi itu ada keheningan mutlak.

Sementara definisi meditasi menurut Anand Khrisna adalah untuk meniti jalan ke dalam diri. Masukilah dirimu dan cari tahu alasan keenggenanmu untuk menghadapi tantangan hidup. Meditasi bukanlah urusan menarik diri dari dunia dan pergi ke tempat terpencil. Melainkan tentang memenuhi tanggung jawab, tentang memainkan peran secara efisien dan efektif sambil berfokus pada jati diri sejati. Dan tidak membiarkan pikiran bercabang. Pikiran mudah teralihkan perhatiannya dan terganggu oleh untung rugi, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, dan lain sebagainya. Dengan pikiran yang terganggu tersebut, seseorang tidak akan pernah dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien pikiran yang terpusatkan pada jati diri sejati bertransformasi menjadi kesadaran dan intelijensia murni. Memang pikiran tidak stabil dan sulit dikendalikan. Tetapi bukan tidak mungkin dengan upaya intensif dan repetitif pasti dapat dikendalikan.

Menurut Ganapaty Ananda dalam situs Blognya menjelaskan bahwa meditasi adalah salah satu jalan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kebenaran yang sejati tuhan yang maha esa. Meditasi adalah sebuah disipilin konsentrasi yang mendalam pada sebuah perwujudan tuhan hingga beliau sendiri mewujud di hadapan kita. Meditasi adalah sebuah disiplin untuk melihat ke dalam diri antara yang nyata dan tidak nyata guna yang mencapai tertinggi tuhan yang maha esa. Dengan melakukan meditasi secara terus menerus akan memberikan berbagai manfaat seperti misalnya rasa ego yang makin terkikis, rasa bhakti dan kerinduan terhadap tuhan makin tumbuh subur, timbulnya berbagai penampakan wujud tuhan. Sedangkan manfaat jasmani diantaranya kesehatan, peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit peningkatan daya konsentrasi.

               

                


 

Kesaktian Dapur Tradisional.


Dulu jika ada orang bertanya dewa yang berstana di dapur, jawabannya sudah pasti dewa Brahma atau dewa Agni. Karena rumah orang Bali jaman dulu masih tradisional. Ruang dapurnya sudah pasti terdapat tungku tradisional yang bahan bakarnya adalah kayu bakar. Nah, tungku tradisional itulah diyakini oleh masyrakat Bali jaman dulu sebagai stana dari dewa Brahma atau dewa Agni. Dapur kalau bahasa balinya adalah Paon, Jalikan, atau lebih halusnya disebut Pewaregan atau Perantenan. Dapur jaman dulu yang ada tungku tradisionalnya dianggap sakral oleh masayarakat Bali jaman dulu. Makanya jika ada bayi menangis tengah malam karena diganggu mahluk halus, orang tua pasti membawa bayinya ke ruang dapur lalu mencolek Mangsi yang melekat pada tungku tradisional kemudian dicolekkan ke kening bayi tersebut. Maka saat itu juga mahluk halus berhenti mengganggu bayi tersebut sehingga bayi tersebut berhenti menangis dan tidur dengan nyenyak. Selain tungku tradisional, bahan dasar atap dapur terbuat dari ilalang. Menurut mitologi Hindu di Bali, ilalang dipercaya sebagai penghilang kotoran secara metafisika. Kepercayaan ini ada hubungannya dengan cerita tentang ilalang yang kecipratan Tirta akibat dari Garuda yang saling rebutan Tirta. Makanya ilalang adalah satu satunya tumbuhan yang dianggap suci.
           Selain itu, jika orang jaman dulu datang sehabis bepergian dan setelah kembali ke rumah, tempat yang paling awal dicari pasti ruang dapur. Kenapa demikian? Alasannya agar tidak Ketutugan atau tidak diikuti oleh mahluk halus. Artinya mahluk halus yang mengikuti dalam perjalanan berhasil dilenyapkan di ruang dapur. Itulah kepercayaan masyarakat Bali jaman dulu yang masih diwarisi sampai sekarang.
          Dapur jaman dulu dipercaya bisa menghilangkan Leteh atau kotoran. Contohnya jika orang berkunjung ke rumah orang yang sedang berduka atau memiliki kematian, maka orang yang berkunjung kesana dianggap Cuntaka. Maka untuk menghilangkan Cuntaka tersebut, setelah pulang ke rumah, orang tersebut mengambil air lalu dilemparkan ke atap dapur dan tetesan airnya itulah yang dipakai untuk membersihkan diri. Dan sampai sekarang ada sebagian orang yang masih mewarisi kebiasaan tersebut. Itulah kesaktian dari dapur tradisional.
              Makanya untuk menjaga kesucian dapur, orang Bali biasanya tidak mau mengganti kerusakan-kerusakan ruang dapur dengan barang-barang bekas. Contohnya pintu dapur tidak boleh diganti dengan pintu bekas kamar mandi. Atau atap dapur tidak boleh diganti dengan atap bekas dari tempat lain. Itulah cara-cara orang Bali menjaga kesucian dapurnya. Makanya orang Bali jaman dulu sebagian besar melakukan ritual Agnihotra di ruang dapur.
     Orang Bali biasanya tetap membiarkan tungku tradisionalnya sebagai simbol dewa Brahma walaupun bentuk rumahnya sudah modern. Contoh lain adalah warga Pande walaupun tidak berprofesi sebagai tukang besi, namun mereka tetap membuat Stana dewa api sebagai simbol dari dewa Perapen atau dewa perapian.
        Namun di kota-kota besar seperti Denpasar dan sekitarnya sudah jarang kita melihat rumah masyarakat Bali yang memiliki ruang dapur berisi tungku tradisional. Karena jaman sudah berubah, sudah modern dan sudah semakin canggih. Bentuk-bentuk rumah sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada istilah Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh maupun Bale Delod. Rumah jaman sekarang bentuknya sudah modern. Orang-orang di jaman sekarang memasak sudah memakai peralatan elektronik. Masihkah dewa Brahma berstana di ruang dapur? Masihkah ruang dapur modern memiliki kesaktian seperti ruang dapur jaman dulu?

{Tulisan ini pernah dimuat di majalah Raditya edisi Januari 2020}

Kamis, 13 April 2023

Siwaratri Dan Kisah Lubdaka.

Asal-usul Siwaratri tidak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis Mpu Tanakung. Dikisahkan, seorang pemburu binatang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang tak bersalah. Suatu malam ia terpaksa bermalam di hutan sambil berdiam diri di atas pohon agar tidak tidur dan terjatuh. Tanpa dia sadari, malam itu adalah hari Siwaratri. Sambil bermalam, ia menyesali semua perbuatannya yaitu membunuh binatang yang tak bersalah. Dan berjanji dalam hati untuk tidak melakukannya lagi. Setelah meninggal, arwah sang pemburu binatang dimasukkan ke neraka. Pada waktu itu, muncullah Dewa Siwa yang membebaskan sang pemburu binatang. Pasukan Cikrabala yang bertugas membawa pemburu ke neraka mempertanyakan hal tersebut.
              
Dewa Siwa menjelaskan sang pemburu telah menebus dosa-dosanya dengan begadang semalaman dan menyesali perbuatannya sehingga berhak mendapatkan pengampunan. Kisah itu pun menggambarkan Hari Siwaratri, yakni malam peleburan dosa. Momentum untuk refleksi diri agar senantiasa terjaga dari mimpi-mimpi terjadi setiap tahun, yakni dalam perayaan Siwaratri. Mengambil cerita Lubdaka, banyak orang percaya bahwa perayaan tersebut adalah sebagai malam peleburan dosa. Dikisahkan bahwa Lubdaka sendiri adalah seorang pemburu yang kesehariannya senantiasa membunuh. Tetapi, oleh karena kebetulan pada malam hari, yakni satu hari sebelum Tilem Kapitu, Lubdaka tidak tidur semalam suntuk di hutan.  

Sementara dalam rubrik Mutiara Weda di harian Nusa Bali yang ditulis oleh Igede Suantana tertanggal 17 Januari 2018 mengisahkan bahwa Malam itu adalah malam hari dimana Dewa Siwa sedang melaksanakan Samadhi. Diyakini bahwa siapapun yang ikut tidak tidur di malam itu akan mendapat rahmat Siwa. Hal ini terbukti ketika Lubdaka meninggal, Atmannya langsung dijemput oleh pasukan Ganapala untuk dibawa ke Siwaloka.
              

       

                 
 
   








Sejarah Subak.

Dalam kajian sejarah, diperkirakan sistem subak telah dikenal oleh masyarakat Bali sejak abad ke-11. Pendapat ini berdasarkan temuan prasasti Raja Purana Klungkung tahun 994 Saka atau 1072 masehi yang menyebutkan kata kasuwakan yang diduga merupakan asal kata dari Suwak yang kemudian berkembang menjadi Subak yang artinya saluran air. Subak adalah organisasi tradisional petani Bali yang dikepalai oleh seorang pekaseh dalam hal tata kelola dan sistem distribusi irigasi untuk pertanian dan perkebunan yang sebagaimana disebutkan museum Subak sanggulan Tabanan sebagai tempat peragaan kegiatan Subak di Bali. 
                  
Sementara dalam prasasti Trunyan tahun 891 terdapat kata Serdanu yang berarti kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal bentuk cara mengelola irigasi pada akhir abad kesembilan. Dari sinilah lalu diduga masa tersebut sebagai awal kemunculan subak. Meski kata tersebut belum dikenal. Kesimpulan tersebut diperkuat prasasti Bebetin tahun 896 yang ditemukan di Buleleng dan prasasti batuan tahun 1022. Dua prasasti tersebut menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pengarung. Pekerja ini biasa dipakai dalam Subak masa modern. Kata Subak dinilai sebagai bentuk modern dari kata Suak. Suwak ditemukan dalam prasasti Pandak Bandung tahun 10 71 dan Klungkung tahun 1072. Menurut Setiawan, suwak  diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah Klungkung. Pengairan yang baik disebut kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air atau bangunan keagamaan setempat.
                  
Fungsi Subak adalah mengatur pembagian air dengan sistem Temuku yaitu temukuaya atau pembagian air di hulu, Temuku gede atau ukuran bagian air untuk wilayah persubakan, Temuku penasan atau ukuran bagian air yang langsung ke petak sawah yang jumlah petani sawah 10 bagian, Temuku Penyacah atau ukuran bagian air untuk perorangan.  Selain itu, fungsi Subak adalah memelihara bangunan pengairan disertai dengan pengamanan sehingga dapat dihindari kehilangan air pada saluran air dan mengatur tata guna tanah dengan sistem sengkedan sehingga lahan tanah yang tadinya bergunung-gunung menjadi hamparan sawah yang berundak-undak. 
        
Yang termasuk pura Subak adalah Pura Ulun Carik, Bedugul Pura Ulun suwi, Pura Ulun Danu dan pura Masceti. Hanya orang jenius yang bisa memahami kejeniusan leluhur kita di Bali. Sistem subak serta pura Subak dan pura Beji, bukan hanya sesuatu yang bersifat religius. Tapi juga suatu sistem ekologi canggih untuk menjaga keharmonisan alam. Kelihatannya acak dan tidak beraturan tapi sesungguhnya menjaga keharmonisan alam dengan cara teratur sempurna.

Senin, 10 April 2023

Memahami Gay dan Homo dalam Perspektif Hindu: Antara Keberagaman Cinta dan Makna Dharma

Dalam perkembangan dunia modern, topik orientasi seksual seperti gay dan homo mulai mendapat perhatian di berbagai budaya dan agama, termasuk Hindu. Orientasi seksual bukanlah konsep yang baru, namun pengakuan dan penerimaan terhadap variasi orientasi seksual dalam masyarakat masih menjadi perdebatan. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana konsep-konsep ini dapat dipahami melalui perspektif Hindu, sebuah agama yang kaya akan nilai spiritualitas, dharma (kebenaran dan kewajiban), serta prinsip kehidupan yang damai.

Hindu adalah salah satu agama yang sangat menghargai pluralitas dan keberagaman, baik dalam aspek pemahaman religius maupun sosial. Dalam Weda, kitab suci Hindu yang tertua, keberagaman alam semesta dipandang sebagai refleksi dari kekuatan ilahi yang kompleks dan multifaset. Oleh karena itu, Hindu memandang perbedaan sebagai bagian dari ekspresi Sang Hyang Widhi (Tuhan). Pada level paling mendasar, setiap makhluk hidup memiliki atman (jiwa) yang tidak terikat pada tubuh fisik, gender, ataupun orientasi seksual tertentu.

Dalam kitab suci Hindu, beberapa cerita menunjukkan bahwa gender atau orientasi seksual tidak selalu diartikan secara kaku atau dibatasi hanya pada dua kutub saja, yakni laki-laki dan perempuan. Hindu melihat bahwa pengalaman hidup dan ekspresi cinta bersifat spiritual, tidak terikat oleh konstruksi biologis semata. Contohnya, tokoh-tokoh seperti Shiva dan Shakti yang terkadang tampil sebagai sosok yang menggabungkan unsur feminin dan maskulin (Ardhanarishvara) menunjukkan bahwa Tuhan sendiri melampaui batasan gender.

Secara spesifik, tidak ada larangan tegas dalam kitab suci Hindu seperti Weda atau Upanishad yang mengecam orientasi seksual tertentu. Kitab-kitab ini cenderung lebih menekankan pada jalan hidup yang selaras dengan dharma atau prinsip-prinsip kehidupan yang benar. Salah satu contoh yang terkenal adalah dalam Mahabharata, di mana terdapat tokoh bernama Shikhandi, yang lahir sebagai perempuan namun kemudian hidup sebagai laki-laki. Shikhandi memiliki peran penting dalam perang besar Kurukshetra sebagai bagian dari strategi yang menghancurkan Bhishma.

Kisah ini, beserta banyak cerita lainnya, memberikan ruang bagi pemahaman bahwa identitas gender dan orientasi seksual bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk hidup sesuai dengan dharma. Secara simbolis, kisah-kisah ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya ditentukan oleh aspek fisik atau seksual, melainkan oleh tindakan, niat, dan pencarian mereka menuju kebenaran.

Dharma adalah konsep yang sangat penting dalam Hindu, yang bisa diartikan sebagai kewajiban moral, tugas hidup, atau jalan kebenaran. Dalam hal orientasi seksual, Hindu lebih menekankan pentingnya menjalankan kehidupan yang tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain, dan menjaga harmoni dalam masyarakat.

Pandangan Hindu terhadap dharma tidak semata-mata terkait pada aspek biologis manusia. Dharma dapat bervariasi sesuai dengan keadaan, tempat, dan waktu (desha, kaala, dan paristhiti). Sebagai contoh, di dalam masyarakat Hindu tradisional, tanggung jawab seseorang terhadap keluarga dan masyarakat mungkin diprioritaskan dalam konteks heteroseksual karena terkait dengan keberlanjutan garis keturunan. Namun, dalam dunia modern yang telah mengakui perbedaan orientasi seksual, dharma seseorang juga dapat diinterpretasikan melalui cara mereka berkontribusi pada kehidupan yang lebih baik, tanpa membedakan orientasi seksualnya.

Beberapa aliran atau pandangan dalam Hindu cenderung menekankan bahwa hubungan cinta, baik itu antara pria dan wanita, atau antara sesama jenis, adalah bagian dari lila (permainan ilahi) yang merupakan ekspresi cinta dan keindahan. Dalam beberapa cerita mitologi, Dewa-dewa terkadang berubah bentuk dan mengalami hubungan yang melampaui batasan gender, seperti Vishnu yang berubah menjadi Mohini untuk memikat Shiva. Meski ini adalah kisah mitologi, kisah-kisah tersebut mengilustrasikan bahwa Hindu tidak membatasi atau mengutuk bentuk cinta tertentu.

Bahkan, dalam literatur klasik India seperti Kamasutra karya Vatsyayana, disebutkan adanya berbagai bentuk hubungan yang melibatkan sesama jenis. Kamasutra, sebagai teks yang membahas aspek-aspek cinta dan hubungan manusia, mengakui keberadaan hubungan sesama jenis tanpa menyematkan stigma negatif.

Secara kultural, masyarakat Hindu cenderung memiliki variasi dalam menerima atau menolak orientasi seksual tertentu. Beberapa komunitas Hindu yang konservatif mungkin memiliki pandangan yang lebih tradisional tentang seksualitas dan peran gender, sementara komunitas lain yang lebih terbuka menerima individu-individu dengan orientasi seksual yang berbeda. Pada dasarnya, tidak ada satu pandangan tunggal tentang homoseksualitas dalam Hindu, karena keberagaman interpretasi dan nilai-nilai budaya yang berbeda di setiap wilayah.

Namun, perlu dicatat bahwa ajaran dasar Hindu yang mengedepankan cinta kasih dan ahimsa (tanpa kekerasan) tetap relevan. Prinsip ahimsa mengajarkan bahwa kita tidak boleh menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Dalam konteks ini, diskriminasi atau perlakuan buruk terhadap individu berdasarkan orientasi seksual mereka bertentangan dengan prinsip ahimsa, sehingga menekankan pentingnya toleransi dan penerimaan.

Secara keseluruhan, Hindu adalah agama yang menghargai pluralitas dan memberi tempat bagi keberagaman, termasuk dalam aspek gender dan orientasi seksual. Walaupun tidak ada panduan yang tegas mengenai homoseksualitas dalam kitab suci, Hindu mengajarkan kita untuk hidup sesuai dengan dharma dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Sebagai agama yang menekankan pada cinta kasih, ahimsa, dan keberagaman, Hindu memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, tanpa memandang orientasi seksualnya.

Dalam dunia yang semakin maju ini, penting bagi umat Hindu untuk melihat bahwa cinta dan hubungan antar manusia adalah anugerah dari Tuhan, yang tidak selayaknya dibatasi oleh perbedaan orientasi seksual. Menerima dan menghormati orang lain, apapun latar belakang mereka, adalah cerminan nyata dari nilai-nilai Hindu yang luhur, dan melalui toleransi inilah kita dapat memperkuat harmoni di dalam masyarakat.






Minggu, 12 Maret 2023

Krisis Kepercayaan: Soal Moralitas dan Proses Diksa Sulinggih di Era Digital

Kasus viral oknum sulinggih yang menyebarkan video mesum di media sosial, menyusul kasus pelecehan seksual tahun lalu, mengguncang kepercayaan umat Hindu.  Peristiwa ini bukan sekadar skandal pribadi, melainkan krisis moralitas yang mempertanyakan integritas institusi kependetaan dan proses pendidikan para sulinggih.  Bagaimana bisa mereka yang seharusnya menjadi panutan, justru melakukan perbuatan tercela yang jauh dari nilai-nilai dharma?
 
Tulisan ini mencoba mengurai beberapa pertanyaan krusial yang muncul dari kasus ini.  Pertama, bagaimana proses belajar dan persiapan Diksa Pariksa oknum sulinggih yang bermoral rendah tersebut?  Apakah proses seleksi dan pengawasan selama pendidikan dan pelatihannya berjalan dengan ketat dan efektif?  Apakah terdapat celah dalam sistem yang memungkinkan individu dengan moralitas rendah lolos dan bahkan diangkat menjadi sulinggih?  Identitas oknum sulinggih ("Nabe") dan pihak yang melakukan Diksa Pariksa perlu diungkap untuk menelusuri akar masalah.  Peran Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga menjadi sorotan.  Apa tindakan tegas yang telah dan akan diambil PHDI terhadap para oknum sulinggih tersebut?  Mencabut gelar, memecat, dan menarik sertifikat adalah langkah minimal yang harus dilakukan untuk menjaga martabat institusi dan kepercayaan umat.
 
Lebih jauh, kita perlu mempertanyakan aspek-aspek lain dalam proses Diksa Pariksa.  Apakah ada kesalahan dalam proses Padiksaan atau Walaka muda yang belum layak namun ambisius menjadi sulinggih?  Apakah Nabenya (guru spiritual) kurang teliti dalam membimbing siswanya?  Atau, apakah proses Diksa Pariksa sendiri terlalu longgar dan asal-asalan?  Siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan sistem ini?  Apakah lepas tanggung jawab dengan mengorbankan kepercayaan umat Hindu di Indonesia demi kepentingan pribadi?  Apakah proses Mediksa (proses pentahbisan) saat ini sudah cukup komprehensif, termasuk uji kelayakan wawasan dan izin dari Parisada provinsi?
 
Kasus ini mendesak perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan dan pengawasan sulinggih.  Dibutuhkan institusi kebrahmanaan nasional yang bonafide, dengan kurikulum yang komprehensif mencakup Weda, kitab-kitab Hindu lainnya, dan lontar-lontar, serta praktikumnya.  Uji kompetensi dan Diksa Pariksa harus dilakukan secara teliti, terdaftar, terkontrol, dan terevaluasi secara berkala.  Seleksi yang ketat dan transparan sangat penting untuk memastikan hanya calon sulinggih yang memiliki moralitas dan integritas tinggi yang dapat diangkat.
 
Setelah menjadi sulinggih,  kebersihan jiwa dan pelepasan diri dari keduniawian dan keterikatan menjadi kunci.  Tempat pendidikan dan pelatihan perlu diperbaiki untuk membentuk karakter dan moral sulinggih yang kokoh.  Seorang sulinggih tidak boleh terpengaruh kesenangan duniawi, karena hal itu akan melemahkan kekuatan mantra dan pemahaman Tatwa.  Sulinggih yang melakukan hubungan badan dengan perempuan yang bukan istrinya (Wiku Anyolong Semara) harus segera dicabut status kependetaannya.
 
Krisis kepercayaan ini bukan hanya tanggung jawab PHDI, tetapi juga tanggung jawab seluruh umat Hindu.  Kita harus bersama-sama mengawal reformasi ini agar institusi kependetaan tetap terjaga martabatnya dan mampu menjadi panutan bagi umat.  Kepercayaan umat adalah modal utama dalam menjaga harmoni dan kesucian agama Hindu.

Rabu, 22 Februari 2023

Sejarah Benang Tridatu: Makna dan Simbolisme dalam Tradisi Agama Hindu di Bali.

Benang tridatu merupakan salah satu elemen penting dalam tradisi spiritual masyarakat Hindu, khususnya di Pulau Bali. Benang Tridatu diperoleh setelah melakukan upacara sembahyang di Pura Dalem Peed, salah satu pura yang dianggap sakral di Nusa Penida. Pura ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat setempat dan merupakan tempat di mana para pemuja memohon keselamatan dan perlindungan.

Warna merah pada benang Tridatu Melambangkan kekuatan dan keberanian. Warna ini dianggap sebagai simbol energi positif yang melindungi pemakainya dari hal-hal negatif. Sedangkan warna putih mewakili kesucian. Dan warna hitam Menandakan keseimbangan dan penerimaan.

Benang tridatu tidak hanya berfungsi sebagai aksesori, tetapi juga sebagai alat spiritual yang mengingatkan pemakainya akan janji dan komitmen kepada Sang Hyang Widhi. Pemakaian benang ini sering kali dilakukan dengan doa dan niat yang tulus, sehingga diyakini dapat membawa berkah dan perlindungan.

Setelah selesai sembahyang di Pura Dalem Peed, para pemuja biasanya mengenakan benang Tridatu. Benang tridatu bukan sekadar kain berwarna, melainkan sebuah simbol dari nilai-nilai kehidupan, spiritualitas, dan kelangsungan sosial masyarakat Hindu di Bali. Melalui benang ini, mereka diingatkan akan pentingnya menjalani hidup dengan kesadaran, keharmonisan, dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan memahami sejarah dan makna benang tridatu, kita dapat lebih menghargai tradisi dan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur ini.

Berdasarkan kepercayaan Masyarakat Bali, penggunaan benang Tri Datu ini dimulai pada sekitar abad ke 14-15, tepatnya saat Dalem Waturenggong memerintah di Kerajaan Gelgel Kelungkung. Beliau pada saat itu mengutus Patih Jelantik untuk menaklukan Dalem Bungkut yang merupakan raja dari Nusa Penida. Patih Jelantik pun berhasil menaklukan Dalem Bungkut dengan kesepakatan bahwa seluruh wilayah kekuasaan Dalem Nusa diserahkan kepada Dalem Watu Renggong.

Hal itu disepakati juga oleh semua rancangan dan juga rencang Ratu Gede Mecaling, untuk melindungi Umat Hindu Bali yang taat kepada Tuhan dan Leluhur. Sedangkan yang lalai, akan dihukum oleh Ratu Gede Mecaling. Penggunaan benang Tridatu ini menjadi simbol untuk membedakan antar umat yang taat dan yang tidak.