Minggu, 02 Februari 2025

"Warisan dan Perempuan di Bali: Tradisi, Agama, dan Gender"

Warisan di Bali, seperti di banyak daerah lainnya di Indonesia, sering kali menjadi topik yang memunculkan perdebatan, terutama terkait dengan gender. Di Bali, sistem warisan yang berlaku sangat dipengaruhi oleh tradisi dan ajaran agama Hindu, yang sangat kuat di masyarakat Bali. Dalam pandangan tradisional Bali, warisan atau harta peninggalan keluarga umumnya diberikan kepada anak laki-laki, bukan kepada anak perempuan. Fenomena ini memiliki dasar yang kompleks, yang terkait dengan faktor agama, budaya, serta struktur sosial yang telah lama ada di masyarakat Bali.

Salah satu alasan utama mengapa perempuan di Bali tidak mendapatkan warisan secara langsung adalah karena sistem patriarki yang telah mendarah daging dalam kehidupan sosial mereka. Dalam masyarakat Bali, adat dan tradisi sering kali menempatkan laki-laki sebagai pewaris yang sah, mengingat peran laki-laki sebagai penerus keluarga dan penjaga kehormatan keluarga. Hal ini berakar pada keyakinan bahwa pewarisan harta harus dijaga oleh garis keturunan laki-laki, yang dianggap lebih berperan dalam melanjutkan garis keluarga dan mempertahankan nama keluarga.

Pengaruh ajaran Hindu Bali juga menjadi faktor penentu dalam pembagian warisan. Dalam kitab suci Hindu seperti Bhagavad Gita dan Manusmriti, terdapat beberapa petunjuk yang mengatur mengenai hak waris. Dalam Bhagavad Gita, tidak ada pembatasan yang eksplisit terhadap perempuan dalam hal warisan, namun dalam praktik keseharian, tafsir terhadap kitab-kitab tersebut sering kali lebih condong pada pembagian warisan kepada laki-laki. Manusmriti, yang menjadi salah satu panduan penting dalam tradisi Hindu, menyebutkan bahwa warisan dapat diberikan kepada anak laki-laki dan bukan kepada perempuan. Menurut Manusmriti, seorang anak laki-laki memiliki kewajiban untuk merawat orang tua dan melanjutkan upacara keagamaan yang sangat penting dalam agama Hindu. Oleh karena itu, warisan dianggap sebagai hak laki-laki untuk melanjutkan dan menjaga kehormatan keluarga.

Selain itu, dalam tradisi Bali, ada perbedaan pengertian mengenai hak waris antara adat dan hukum negara. Secara hukum negara Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur hak waris, tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Namun, praktik adat Bali lebih mendominasi kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Bali, perempuan biasanya tidak mendapat warisan berupa tanah atau harta kekayaan lainnya karena peran mereka lebih banyak dipandang sebagai pengurus rumah tangga dan tidak terlibat dalam pengelolaan tanah atau properti keluarga yang menjadi sumber kekayaan utama. Oleh karena itu, secara tradisional, perempuan lebih cenderung mendapatkan warisan berupa perhiasan atau barang-barang lainnya yang dianggap lebih pribadi.

Di samping itu, kepercayaan agama dan spiritual juga berperan besar dalam menentukan pembagian warisan di Bali. Dalam tradisi Bali, terdapat kepercayaan bahwa keluarga harus memiliki seorang anak laki-laki untuk melaksanakan upacara keagamaan seperti ngaben (upacara pembakaran jenazah), yang sangat penting bagi kelangsungan jiwa dan roh keluarga. Upacara seperti ini diyakini dapat menjaga roh leluhur agar tetap tenang dan tidak mengganggu kehidupan keluarga yang masih hidup. Oleh karena itu, penting bagi keluarga untuk memiliki seorang anak laki-laki yang akan melaksanakan ritual-ritual keagamaan ini, sehingga anak laki-laki lebih diprioritaskan dalam hal pembagian warisan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya kesadaran akan hak-hak perempuan, beberapa kalangan mulai berupaya mengubah pola pikir ini. Beberapa keluarga di Bali mulai mempertimbangkan untuk memberikan warisan kepada perempuan, terutama jika mereka tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus. Ada juga beberapa kelompok yang mengajukan gagasan agar perempuan bisa mendapatkan hak yang sama dalam pembagian warisan, baik melalui perubahan dalam hukum adat ataupun melalui pemahaman yang lebih terbuka terhadap ajaran agama yang lebih inklusif.

Meskipun ada perubahan, praktik warisan yang diskriminatif terhadap perempuan masih sangat kuat di Bali. Ajaran agama, peran tradisi, dan kepercayaan spiritual masih memainkan peran besar dalam penentuan hak waris, yang mengakibatkan perempuan sering kali terpinggirkan dalam hal mendapatkan harta warisan.

Tidak ada komentar: