Dalam dialog jumat koran Kompas tanggal 11 Januari 2019 menjelaskan
konsep
keesaan Tuhan dalam agama Hindu tidak gampang untuk diterangkan.
Orang-orang non- Hindu biasanya dengan
mudah menyimpulkan agama Hindu tidak mengenal konsep keesaan Tuhan. Yang
selalu terbayang di dalam benak mereka, ada tiga sosok yang
dipersepsikan sebagai Tuhan atau Dewa, yaitu Brahma yang dikenal sebagai
Sang Pencipta, Wisnu sebagai Sang Pelindung atau Pemelihara, dan Syiwa
sebagai Sang Penghancur atau Pelebur. Meskipun disebut tiga nama, Tuhan
di dalam agama Hindu diyakini tetap Esa, yang di dalam kitab Upanisad
disebut: Ekam evam adwityam Brahma (Hanya satu Tuhan, tidak ada yang kedua). Tuhan Yang Maha Esa itu disebut berbagai nama atau abhiseka.
Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan
ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama
(seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan
sebagainya. Namun jika dikaji lebih
mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar
Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan,
metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para
penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan
konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat
Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia
lainnya.
Dalam keyakinan penganut agama Hindu,
manusia tidak mungkin melukis sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, karena Ia
merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa
aktivitas. Apapun yang terlintas di dalam pikiran tentang Tuhan pasti
itu bukan Tuhan. Konsep Keesaan Tuhan lebih bersifat apophatic daripada cataphatic. Inilah yang dimaksud konsep neti, neti
(bukan, bukan) di dalam Tradisi Hindu India. Untuk memahami Keesaan
Tuhan dalam agama Hindu, tak ada jalan lain kecuali terus mendalami
ajaran agama dan memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya
yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya.
Mereka disarankan untuk mendalami sejumlah buku-buku agama Hindu,
seperti kitab Veda, dengan bagian-bagiannya seperti kitab Vedanta
(Upanisad), yang keduanya menjadi sumber paling otoritatif dalam
mendalami kedalaman ajaran agama Hindu.
Bagi orang yang taraf kognitif dan
tingkat spiritualitasnya masih rendah atau pemula, mereka masih
membutuhkan media dalam melakukan pemujaan. Mereka membutuhkan simbol
untuk menghadirkan dirinya berupa arca (patung), relief, gambar, atau
bentuk-bentuk fisik lainnya.
Dalam melaksanakan upacara ritual
keagamaan, mereka masih membutuhkan sarana upacaranya dalam bentuk
persembahan dan sakrifasi, seperti buah-buahan, makanan, binatang, dan
lain lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai ke tingkat lebih
tinggi, tidak perlu lagi memerlukan media apapun karena sudah biasa
menghayati hakikat Tuhan (Brahma Nirguna) dan selanjutnya meleburkan
dirinya menjadi diri-Nya. Ia sudah mencapai apa yang disebut dengan moksa,
sebuah pembebasan diri dari berbagai kemelekatan materi dan duniawi.
Mirip apa yang dialami praktisi sufi jika sudah mencapai tingkat fana dan baqa.
Tuhan hanya gagasan metafisik yang
diciptakan untuk suatu keadaan. Ini mengingatkan kita pada filsafat
Positivisme yang digagas oleh filosof Prancis, Auguste Comte
(1798-1857), yang menyatakan perkembangan keberadaan manusia berproses
dari fase mitos-spiritual yang berawal dari tahap fetiyisme (pemujaan
terhadap benda-benda), kemudian berkembang ke tahap monoteisme.
Perkembangan akal budi manusia belakangan sudah bisa menyingkirkan
asumsi-asumsi teologis yang membatasi otonomi dan otoritas manusia atas
nama Tuhan.
Tentang ajaran keesaan Tuhan, ada dua
mazhab yang dominan dalam agama Hindu, yaitu Mazhab Dwaita (Dvita) dan
mazhab Adwaita (Adwita). Yang pertama mengakui adanya dualitas Tuhan (the duality of God), yakni mengakui adanya personal God
(Brahma Nirguna). Mereka mengakui dan memuja Tuhan dengan berbagai
nama, seperti Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain.
Sedangkan yang kedua menolak dualitas ketuhanan (the duality of God) dengan menegaskan bahwa hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.
Tuhan yang berkepribadian atau menyandang
atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif
Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki
sifat-sifat kemanusiaan, seperti pelindung, penyayang, perawat,
pengasih, dan sebagainya. Wacana seperti ini mengingatkan kita ke dalam
teologi Islam yang juga ada menekankan apek tasbih (similitary) dan yang lainnya menekankan aspek tanzih (uncomparability)
Tuhan dengan makhluknya. Mazhab ini mirip dengan monoisme atau
panteisme karena meyakini alam semesta tidak sekedar berasal dari
Brahman, namun pada “hakikatnya” sama dengan Brahma.