Jumat, 01 November 2024

Menepis Stereotip: Pengalaman Bekerja di Griya Sulinggih Singaraja yang Sarat Kehormatan

Bekerja di lingkungan Griya atau salah satu rumah Sulinggih yang ada di kota Singaraja telah memberikan saya pengalaman yang tak hanya penuh makna, tapi juga mampu mengubah persepsi yang selama ini beredar di masyarakat. Saya memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proyek perbaikan merajan (tempat suci keluarga) di Griya Sulinggih yang, bagi sebagian orang, mungkin dianggap kaku, penuh tata krama, bahkan cenderung berjarak. Namun, pengalaman langsung saya di sana menuturkan kisah yang sangat berbeda.

Memasuki salah satu Griya Sulinggih yang ada di kota Singaraja, saya merasakan aura yang jauh dari sekadar bangunan megah dan kental dengan nuansa spiritual. Di dalamnya, saya disambut dengan keramahan yang tulus. Mereka yang tinggal di Griya bukan hanya memperlakukan saya dengan baik, tetapi juga menjaga tutur kata dan sikap penuh rasa hormat. Ini menciptakan lingkungan kerja yang sangat nyaman, serta suasana yang harmonis.

Setiap kali saya melangkahkan kaki di Griya, saya merasakan betapa orang-orang di sana menjunjung tinggi etika. Mereka menyapa dengan ramah, dan meski status sosial mereka mungkin lebih tinggi, tidak ada sedikit pun nada meremehkan. Justru, mereka menunjukkan sikap menghargai yang begitu tulus, bahkan kepada saya sebagai pekerja yang datang untuk membantu proyek perbaikan Merajan.

Salah satu hal yang mungkin menjadi stereotip umum adalah pandangan bahwa orang berkasta tinggi kerap merendahkan mereka yang berasal dari kasta berbeda. Namun, saya menemukan kenyataan yang bertolak belakang. Seluruh penghuni Griya, baik sulinggih maupun keluarga lainnya, memperlakukan saya dengan hormat, sama halnya seperti mereka memperlakukan keluarga mereka sendiri. Bagi saya, ini membuktikan bahwa persepsi tentang kasta yang kerap diasosiasikan dengan kesenjangan dan arogansi sebenarnya tidak sepenuhnya akurat.

Tidak hanya kepada saya, mereka yang tinggal di Griya ini juga saling menghormati satu sama lain. Cara mereka berbicara dan bersikap menunjukkan tata krama yang luhur, mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ketika ada perbedaan pandangan, mereka tetap berbicara dengan nada yang santun dan penuh kesabaran.

Tentu saja, pengalaman ini memberi saya pelajaran penting tentang bagaimana sikap saling menghormati dapat mengubah persepsi seseorang. Saya melihat langsung bagaimana nilai-nilai leluhur tentang kesopanan, penghormatan terhadap orang lain, dan kebaikan hati terus dipertahankan di lingkungan Griya ini.

Dari pengalaman bekerja di Griya Sulinggih ini, saya belajar bahwa penghormatan bukanlah sekadar tuntutan sosial, tetapi sesuatu yang datang dari hati dan terwujud dalam sikap sehari-hari. Penghormatan tersebut bukan hanya tampak dalam hubungan antarkasta, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari dengan siapa pun, tanpa memandang status sosial.

Masyarakat mungkin memiliki asumsi yang beragam mengenai orang-orang berkasta tinggi, namun melalui pengalaman langsung ini, saya bisa mengatakan bahwa setiap orang, tanpa memandang status sosial, dapat memperlihatkan budi pekerti yang baik dan sikap saling menghargai.

Sebagai penutup, selama bekerja di Griya Sulinggih ini telah memperluas wawasan saya. Sebuah tempat yang mungkin dianggap "berjarak" oleh sebagian orang, ternyata memiliki kehangatan dan rasa saling menghormati yang tinggi. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa kita tak seharusnya menilai seseorang hanya berdasarkan status sosial atau asumsi yang beredar. Sebaliknya, sikap dan penghormatan yang tulus kepada sesama adalah nilai sejati yang lebih penting dari segala status dan kedudukan.

Pengalaman ini menjadi bukti nyata bahwa meskipun kasta masih menjadi bagian dari budaya, nilai-nilai universal seperti rasa hormat, kesopanan, dan keharmonisan tetaplah menjadi dasar dari kehidupan bermasyarakat.