Di sebuah desa yang terletak di kaki gunung, hiduplah sekawanan monyet dan babon yang sering mengunjungi ladang milik seorang petani tua. Petani itu dikenal sangat keras dalam menjaga ladangnya. Setiap kali para monyet dan babon mencoba mencuri jagung yang baru saja dipanen, petani akan berteriak keras dan mengejar mereka dengan membawa tongkat. Monyet-monyet itu, meskipun cerdik, selalu gagal menghindar dari amarah sang petani. Mereka merencanakan berbagai cara untuk bisa memetik jagung secara diam-diam, namun usaha mereka selalu gagal. Setiap kali mereka mendekati ladang, mereka tahu bahwa sang petani akan segera muncul, siap mengusir mereka dengan keras.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa petani itu telah meninggal dunia. Monyet-monyet dan babon-babon yang biasanya kesal dengan kehadiran sang petani merasa lega. "Akhirnya kita bebas!" seru seekor monyet dengan kegembiraan. "Tidak ada lagi yang akan mengusir kita dari ladang jagung ini," tambah yang lainnya. Kegembiraan mereka begitu besar, mereka merayakan kematian petani dengan riang. Tidak ada lagi ancaman yang menghantui mereka, dan mereka bisa menikmati ladang jagung itu tanpa rasa takut.
Namun, ketika musim jagung tiba, mereka mulai merasa bingung. Ladang jagung yang dulu subur dan penuh dengan tanaman jagung kini tampak kosong dan tandus. Tidak ada tanaman jagung yang tumbuh di sana. Mereka menunggu sebulan, dua bulan, dan bahkan sampai tiga bulan, namun ladang itu tetap tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. "Apa yang terjadi dengan ladang ini?" tanya seekor babon, bingung.
Mereka mulai mencari-cari, berkeliling di sekitar ladang untuk mencari tahu jawabannya. Ternyata, setelah beberapa waktu, mereka baru sadar bahwa selama ini, petani lah yang menanam benih-benih jagung itu, merawatnya dengan hati-hati, dan memastikan tanaman itu tumbuh dengan baik. Tanpa petani, ladang jagung itu tidak bisa bertahan. Mereka pun terhenyak, menyadari bahwa petani yang selama ini mereka anggap sebagai musuh, sebenarnya adalah orang yang memberi mereka makanan.
Hari-hari berlalu, dan kawanan monyet dan babon mulai merasa lapar dan kecewa. Mereka tidak tahu lagi harus mencari makan di mana. Ketika mereka merenung lebih dalam, mereka sadar betapa besar peran petani dalam kehidupan mereka. Petani itu telah bekerja keras menanam dan merawat jagung demi memberi mereka makan. Tanpa usaha petani, mereka tidak akan pernah bisa menikmati hasil ladang yang melimpah.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka baru menyadari hal itu setelah petani itu tidak ada lagi. Mereka yang dulu hanya menganggapnya sebagai penghalang, kini merasakan kehilangan yang dalam. Mereka menyadari bahwa tindakan yang mereka anggap sebagai gangguan dan ancaman, ternyata adalah bagian dari sebuah sistem yang memberi mereka kehidupan.
Waktu terus berjalan, dan tanpa adanya jagung, kawanan monyet dan babon mulai berpindah-pindah, mencari sumber makanan lain yang lebih sulit didapat. Meskipun mereka bisa bertahan, mereka merasa kehilangan kenyamanan yang selama ini mereka rasakan. Mereka pun belajar sebuah pelajaran berharga: kadang-kadang, kita baru menghargai seseorang atau sesuatu ketika itu sudah tidak ada lagi.
Cerita ini mengingatkan kita bahwa seringkali kita tidak menyadari nilai dari apa yang kita miliki sampai kita kehilangannya. Seperti monyet dan babon yang merayakan kematian petani tanpa mengetahui betapa pentingnya peran petani dalam hidup mereka, kita juga seringkali tidak menghargai peran orang-orang yang ada di sekitar kita. Mungkin hari ini mereka tidak terlihat penting, tapi ketika mereka pergi, kita akan menyadari betapa besar kontribusi mereka dalam kehidupan kita.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk menghargai setiap tindakan dan keberadaan orang-orang di sekitar kita, bahkan yang terkadang tampak kecil atau remeh. Sebab, mungkin saja mereka adalah orang yang memberikan sesuatu yang lebih besar dalam hidup kita, bahkan jika kita tidak menyadarinya sampai terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar