Pernyataan yang menyatakan bahwa seorang Sudra dapat menjadi Brahmana karena sifat dan kewajibannya, serta pembahasan mengenai konsep Catur Warna dalam ajaran Hindu, tampaknya menyimpang dari pemahaman mendalam terhadap ajaran-ajaran Hindu yang asli dan justru menyesatkan. Pernyataan ini mencoba menyepelekan pembagian masyarakat yang ada dalam ajaran Hindu, khususnya tentang perbedaan antara Warna dan Kasta, yang sangat jelas memiliki makna dan tujuan tertentu dalam konteks spiritualitas dan sosial dalam agama Hindu.
Pertama-tama, jika kita menelisik lebih dalam, ajaran tentang Catur Warna atau empat golongan dalam Hindu sebenarnya sangat berakar pada prinsip-prinsip yang lebih tinggi dan sangat mendalam dalam hal spiritualitas dan fungsi sosial. Catur Warna tidak dimaksudkan untuk dilihat hanya sebagai pembagian berdasarkan profesi atau pekerjaan saja, melainkan sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan sosial yang sangat erat kaitannya dengan tujuan hidup yang lebih besar, yaitu mencapai pembebasan atau moksha. Catur Warna berfungsi untuk memetakan dan memahami posisi setiap individu dalam rangka menjalani dharma-nya, sesuai dengan sifat, bakat, dan potensi rohani mereka, yang tentu saja tidak dapat ditarik begitu saja ke dalam kesederhanaan klaim bahwa seorang Sudra bisa begitu saja menjadi Brahmana hanya berdasarkan sifat dan kewajiban.
Pernyataan bahwa kasta hanyalah pembelokan dari Warna dan bukan sesuatu yang melekat pada keturunan adalah sebuah simplifikasi yang salah dan tidak memperhatikan sejarah panjang dari ajaran Hindu itu sendiri. Dalam kenyataannya, kasta memang memiliki dasar dalam sistem keturunan, yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan spiritual dalam masyarakat Hindu pada zaman dahulu. Meskipun pada zaman kerajaan atau kerajaan monarki kasta mungkin dipakai sebagai instrumen politik, bukan berarti ajaran Catur Warna yang berakar dalam Veda dan Upanishad bisa disederhanakan atau didegradasi hanya sebagai alat untuk menjaga kedudukan politik semata. Pengklaiman bahwa sistem kasta adalah hasil dari siasat politik semata hanya mengabaikan kedalaman ajaran spiritual Hindu itu sendiri, yang mencakup konsep karma, reinkarnasi, dan pencapaian kesucian melalui disiplin spiritual.
Selanjutnya, pernyataan bahwa dengan hanya memperoleh ilmu, seseorang bisa berubah fungsi sosialnya dari Sudra menjadi Brahmana, atau dari satu Warna ke Warna lainnya, adalah pandangan yang mereduksi ajaran Hindu menjadi sebuah sistem sosial yang kaku tanpa memerhatikan konteks spiritual yang mendalam. Catur Warna bukanlah sebuah sistem yang memberi jaminan bahwa hanya dengan belajar atau memperoleh pengetahuan, seseorang dapat berubah status sosialnya begitu saja. Sebagai contoh, dalam ajaran Hindu, untuk mencapai kedudukan Brahmana tidak hanya dibutuhkan pengetahuan, tetapi juga pengalaman spiritual, pengamalan dharma, serta pelaksanaan kewajiban yang berkaitan dengan jalan hidup seseorang yang mencakup ajaran-ajaran dalam Veda dan Upanishad, yang jauh lebih kompleks dan mendalam daripada sekadar memperoleh pengetahuan atau gelar.
Mengklaim bahwa dalam Hindu tidak ada istilah kasta dan yang ada hanya Warna, seolah-olah mengabaikan kenyataan bahwa dalam praktik sosial Hindu, istilah kasta dan warisan keturunan sering kali saling berkaitan dalam perjalanan sejarah. Meskipun memang ada konsep Warna yang lebih bersifat fungsional dan dapat berubah sesuai dengan kemampuan individu, kenyataan sosial yang ada menunjukkan bahwa sistem kasta dalam masyarakat Hindu sering kali dikaitkan erat dengan faktor keturunan, yang tidak bisa begitu saja dipisahkan dari ajaran ini tanpa memengaruhi pemahaman dasar ajaran Hindu itu sendiri.
Lebih jauh lagi, penilaian bahwa kasta harus dihapuskan seiring dengan perubahan sistem pemerintahan menuju republik dan bahwa kita harus kembali ke konsep Warna yang lebih fleksibel, merupakan sebuah pandangan yang mengabaikan pentingnya pemahaman dan penerapan ajaran Hindu yang seharusnya berdasarkan keseimbangan spiritual dan sosial. Menganggap bahwa pembagian berdasarkan Warna hanya soal pilihan profesi tanpa memperhatikan kesadaran spiritual dan sosial yang terkandung dalam setiap golongan adalah bentuk reduksionisme terhadap ajaran Hindu itu sendiri. Ajaran ini lebih dari sekadar pembagian sosial atau profesi; ini adalah perjalanan spiritual yang sangat mendalam yang mengarahkan seseorang untuk hidup sesuai dengan dharma-nya masing-masing dalam harmoni dengan alam semesta.
Dengan demikian, pernyataan yang menegaskan bahwa kasta hanyalah hasil dari politik atau siasat dan bahwa siapa pun dapat menjadi Brahmana atau Ksatria hanya dengan pengetahuan dan kewajiban semata, sama sekali tidak mencerminkan pemahaman yang benar tentang ajaran Hindu. Ini adalah pandangan yang terlalu sempit, yang melupakan esensi spiritual dari ajaran tersebut, dan mengabaikan bagaimana ajaran Catur Warna seharusnya dipahami dalam konteks kehidupan rohani yang lebih luas, yang melibatkan pencapaian keseimbangan antara jiwa, masyarakat, dan alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar