Tri Hita Karana adalah konsep filosofi Hindu Bali yang menekankan harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. Meskipun ada kritik yang mengatakan bahwa konsep ini hanya sebatas slogan, banyak orang di Bali masih berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Memang benar bahwa Bali, seperti banyak daerah lain, mengimpor berbagai barang dari tempat lain, termasuk kebutuhan pokok dan bahan upakara. Hal ini bisa jadi karena keterbatasan sumber daya lokal atau karena faktor ekonomi. Namun, ini tidak berarti bahwa prinsip Tri Hita Karana tidak relevan. Penerapan prinsip tersebut bisa berlangsung dalam banyak aspek kehidupan, meskipun ada ketergantungan pada barang dari luar.
Seiring waktu, banyak masyarakat Bali berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan praktis dan idealisme filosofis mereka, dan mungkin tantangan-tantangan tersebut adalah bagian dari proses adaptasi dan penyesuaian.
I Wayan Padet & Ida Bagus Wika Krishna dalam Jurnal Genta Hredaya Volume 2, No. 2, September 2018 menyebut istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul saat Konferensi Daerah Badan Perjuangan Umat Hindu Bali di Perguruan Dwijendra Denpasar pada 11 Nopember 1966. Tri Hita Karana disebut sebagai konsep spiritual, kearifan lokal, sekaligus falsafah hidup masyarakat Hindu Bali yang bertujuan untuk menciptakan keselasaran hidup manusia. Sejak itulah istilah Tri Hita Karana berkembang, meluas, dan memasyarakat. Ajaran Tri Hita Karana bersifat universal sehingga dijadikan sebagai landasan hidup menuju kebahagiaan lahir dan batin.
Mengutip dari ulasan di laman resmi Pemkab Badung, Tri hita karana berasal dari bahasa Sanskerta yang terbentuk dari tiga kata, yaitu Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan atau sejahtera, dan Karana artinya sebab atau penyebab. Dengan demikian, falsafah Tri Hita Karana mengandung makna tiga penyebab kebahagiaan. Adapun tiga penyebab kebahagiaan yang dijabarkan dalam konsep Tri Hita antara lain:
Parhayangan, yaitu hubungan harmonis dengan Tuhan. Parhyangan menegaskan bahwa manusia diharapkan senantiasa menghaturkan sujud bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.Pawongan, yaitu hubungan harmonis dengan sesama manusia. Pawongan menekankan hubungan yang harmonis antarsesama manusia yang dapat diwujudkan dalam hubungan dalam keluarga, hubungan dalam persahabatan, maupun hubungan dalam pekerjaan.Palemahan, yaitu hubungan harmonis dengan alam lingkungan. Palemahan menekankan hubungan antara manusia dengan alam, mencangkup tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lainnya. Ketiga hubungan yang harmonis itulah yang diyakini akan membawa kebahagiaan, kerukunan, dan keharmonisan dalam kehidupan.
Dikutip dari tulisan I Wayan Padet & Ida Bagus Wika Krishna berjudul Falsafah Hidup dalam Konsep Kosmologi Tri Hita Karana dalam Jurnal Genta Hredaya Volume 2, No. 2, September 2018, berikut adalah contoh penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari:
Contoh Penerapan Parhayangan
Parahyangan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka penerapannya dapat dilaksanakan dengan Dewa Yadnya. Misalnya dengan membersihkan pura-pura, taat sembahyang dan melaksanakan ajaran-ajaran agama serta mengamalkan dharma.
Contoh Penerapan Pawongan
Pawongan adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia. Contoh penerapan pawongan adalah dengan menjaga dan menjalin hubungan yang baik dengan bersikap tenggang rasa, saling menghargai, dan saling tolong-menolong dengan setiap orang.
Contoh Penerapan Palemahan
Palemahan merupakan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Contoh penerapan palemahan adalah menjaga kebersihan lingkungan dan tidak mengeksploitasi isi alam, serta menjaga kelestariaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar