Sabtu, 31 Agustus 2024

Maligia

"Sebuah pertanyaan dari generasi muda Hindu. Betulkah setelah upacara Maligia, roh atau Atma sudah pasti Melinggih di Rong Tiga?"

Dalam tradisi Hindu Bali, upacara Maligia adalah salah satu bentuk upacara Atma Wedana yang dilakukan untuk membersihkan roh orang yang sudah meninggal dan membantu roh tersebut menuju kehidupan setelah mati. Namun, tidak ada jaminan bahwa roh atau atma (jiwa) akan langsung "melinggih" (berada) di "Rong Telu" atau Pelinggih Kemulan.

Rong Telu atau Pelinggih Kemulan adalah tempat suci di mana roh leluhur diyakini berada, tetapi apakah atma langsung berpindah ke sana bergantung pada banyak faktor, termasuk kualitas upacara dan kondisi roh itu sendiri. Secara umum, setelah upacara Maligia, atma biasanya dianggap telah berada dalam keadaan yang lebih baik dan siap untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya. Pindah ke Rong Telu atau Pelinggih Kemulan lebih merupakan proses yang bersifat spiritual dan sering kali melibatkan rangkaian upacara dan pemujaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa roh atau atma berada di tempat yang tepat sesuai dengan aturan dan ajaran agama Hindu Bali

Pemahaman dan keyakinan tentang perjalanan roh setelah upacara Maligia dapat bervariasi tergantung pada tradisi dan ajaran masing-masing kelompok atau individu dalam komunitas Hindu. Umumnya, upacara seperti Maligia dianggap sebagai langkah penting dalam proses spiritual, namun ada keyakinan bahwa proses penyucian dan perjalanan roh melibatkan banyak faktor dan proses lebih lanjut yang mungkin terjadi dalam waktu.

Jadi, sementara upacara ini sangat penting dalam membantu roh untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya, status akhir roh tersebut bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor spiritual dan ritual lain.

"Bagaimanakah rasanya jadi mayat ketika dibakar? Soalnya Waktu hidup ketika kita terbakar, panasnya luar biasa"

Rasa terbakar saat hidup sangat menyakitkan dan ekstrem. Namun, saat mayat dibakar, sensasi tersebut tidak bisa dirasakan lagi karena kesadaran dan fungsi tubuh sudah hilang. Proses tersebut lebih terkait dengan perubahan fisik dan kimia daripada sensasi


Siapakah yang berpikir dalam pikiran kita?

"Siapakah yang berpikir dalam pikiran kita? Apakah Atman atau roh atau badan kasar' kita?"

Pertanyaan ini berkaitan dengan konsep yang ada dalam berbagai tradisi filosofis dan spiritual. Dalam konteks ini:

1) Atma atau Roh: Dalam banyak tradisi filosofis dan spiritual, seperti dalam filosofi Hindu dan Jain, Atma atau roh dianggap sebagai inti dari diri kita yang sejati dan tidak berubah. Atma dianggap sebagai kesadaran yang murni dan permanen yang ada di balik pikiran dan tubuh fisik kita. Dalam pandangan ini, Atma adalah aspek yang "berpikir" dan mengalami berbagai pikiran dan perasaan.

2) badan Kasar: Dalam banyak pandangan materialistik dan ilmiah, pikiran dihasilkan oleh proses dalam otak dan sistem saraf kita. Dalam konteks ini, yang berpikir adalah hasil dari fungsi kompleks dari badan kasar, khususnya otak kita.

3) Pikiran: Dari sudut pandang psikologi kognitif, pikiran merupakan produk dari aktivitas otak. Otak mengolah informasi dan menghasilkan kesadaran, perasaan, dan pemikiran.

Jadi, jawaban tergantung pada perspektif yang diambil: dalam perspektif spiritual atau filosofi, mungkin Atma atau roh yang lebih dalam yang berpikir. Dalam pandangan ilmiah atau materialistik, proses biologis dalam otak yang menghasilkan pikiran

"Bisakah manusia berpikir setelah mengalami kematian?"

Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa manusia bisa berpikir setelah mengalami kematian. Setelah kematian, aktivitas otak dan fungsi tubuh berhenti, yang mengarah pada hilangnya kesadaran dan pemikiran. Pertanyaan ini sering menjadi subjek diskusi dalam konteks filosofi, agama, dan spiritualitas, tetapi dari perspektif ilmiah, kesadaran dan pemikiran terkait langsung dengan aktivitas otak yang berhenti setelah kematian.

Jumat, 30 Agustus 2024

Pencapaian Spiritual Tertinggi.

Dalam Hindu, pencapaian spiritual atau agama tertinggi dikenal sebagai "moksha." Moksha adalah pembebasan dari siklus kelahiran, kematian, dan reinkarnasi (samsara). Ini merupakan kondisi kesadaran dan persatuan yang penuh dengan Brahman, yaitu realitas tertinggi atau Tuhan yang tak terpisahkan. Dalam pencapaian moksha, seseorang mengalami kedamaian dan kebahagiaan yang abadi, bebas dari penderitaan dan keterikatan duniawi. Moksha dicapai melalui praktik spiritual yang mencakup pengetahuan, pengabdian, dan disiplin, seperti meditasi, studi kitab suci, dan pengembangan moral dan etika.

Kamis, 29 Agustus 2024

Agama bukan hanya sekadar budaya atau tradisi manusia.

Agama adalah sistem kepercayaan yang melibatkan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan atau dewa-dewa, aturan moral, ritual, dan panduan hidup yang diwahyukan oleh entitas yang lebih tinggi. Banyak agama mengklaim bahwa ajaran dan tradisi mereka berasal dari wahyu atau petunjuk langsung dari Tuhan, bukan sekadar hasil budaya manusia. Tuhan dalam berbagai agama dipahami sebagai entitas yang transenden dan suci, yang keberadaannya melampaui batas-batas fisik dan budaya manusia.  Agama dipandang sebagai cara manusia untuk memahami, berhubungan, dan beribadah kepada Tuhan. Dalam beragama selain mempertahankan tradisi dan budaya, tujuan utama beragama adalah untuk membimbing manusia untuk mencapai hubungan spiritual dengan Tuhan, hidup sesuai dengan ajaran moral, dan mencapai tujuan spiritual atau akhirat. Dengan demikian, menyederhanakan agama hanya sebagai budaya manusia yang dijalankan sesuai tradisi masing-masing mengabaikan banyak aspek penting dari apa itu agama dan apa tujuan agama itu sebenarnya.

"Lalu, apakah tradisi Hindu di Bali harus dihilangkan?"

Tidak perlu dihilangkan. Justru dipertahankan. Berikut beberapa alasannya. Pertama adalah identitas dan Warisan Budaya. Budaya dan tradisi Hindu di Bali merupakan bagian integral dari identitas dan warisan budaya masyarakat Bali. Menghilangkan tradisi ini bisa mengakibatkan hilangnya rasa identitas yang telah membentuk masyarakat Bali selama berabad-abad. 

Kedua adalah Kehidupan Sosial dan Komunitas. Tradisi Hindu mempengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari di Bali, termasuk ritual, festival, dan upacara adat. Penghapusan tradisi ini dapat merusak struktur sosial dan komunitas yang telah terbentuk dan memberikan kekuatan kepada masyarakat.

Ketiga adalah Keseimbangan Ekologis dan Spiritual. Banyak ritual dan upacara Hindu di Bali yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam dan upaya menjaga keseimbangan ekologis. Tradisi ini sering kali mempromosikan pelestarian lingkungan yang penting untuk keberlanjutan ekosistem Bali. 

Keempat adalah Daya Tarik Wisata. Budaya dan tradisi Hindu Bali juga berperan penting dalam menarik wisatawan. Kegiatan seperti upacara keagamaan, tarian, dan seni tradisional menarik pengunjung yang menghargai keunikan budaya Bali. Menghilangkan tradisi ini dapat berdampak negatif pada industri pariwisata.

Kelima adalah Sosial. Menghormati dan mempertahankan budaya serta tradisi yang ada dapat membantu menciptakan keharmonisan sosial dengan menghargai keberagaman dan melestarikan praktik-praktik yang sudah ada. Menghilangkan tradisi dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam masyarakat yang telah terbiasa dengan cara hidup yang ada.
Keenam adalah Pendidikan dan Pengetahuan. Tradisi Hindu juga berperan dalam pendidikan dan transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi. Banyak nilai-nilai etika dan filosofi hidup diturunkan melalui praktik-praktik keagamaan yang mendalam, yang tidak hanya membentuk individu tetapi juga komunitas.

Secara keseluruhan, meskipun perubahan zaman mungkin memerlukan adaptasi, penting untuk mempertimbangkan dampak dari menghilangkan budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali.

Kenapa Di Bali, Wisatawan Diijinkan Berkunjung Ke Pura?

Di Bali, ada beberapa alasan mengapa orang Bali membiarkan wisatawan (bule) masuk ke areal utama pura yang disucikan?Pertama karena toleransi dan Keterbukaan. Orang Bali dikenal dengan sikapnya yang ramah dan terbuka terhadap wisatawan. Mereka seringkali melihat kunjungan sebagai bentuk penghargaan dan minat terhadap budaya mereka.
Kedua karena pendidikan dan Promosi Budaya. Dengan membiarkan wisatawan mengakses area pura, orang Bali bisa memperkenalkan dan menjelaskan lebih banyak tentang agama dan budaya mereka. Ini bisa menjadi kesempatan untuk mendidik orang luar tentang tradisi mereka.

Ketiga karena Peran Wisatawan dalam Ekonomi Lokal. Wisatawan seringkali membawa dampak positif terhadap ekonomi lokal, termasuk di sekitar pura. Pendapatan dari wisatawan membantu mendukung kehidupan masyarakat setempat dan pemeliharaan pura. Keempat karena Pengaturan dan Etika Kunjungan: Biasanya ada aturan yang mengatur bagaimana wisatawan harus berpakaian dan berperilaku ketika mengunjungi pura. Dengan mengikuti aturan ini, pengunjung bisa menunjukkan rasa hormat terhadap tempat suci tersebut.

Namun, penting untuk selalu mematuhi aturan dan etika yang berlaku saat mengunjungi tempat-tempat suci di Bali untuk menghormati keyakinan dan tradisi lokal.

"Apakah wisatawan tahu kalau wanita menstruasi dilarang masuk ke pura?"

Tidak semua orang asing atau "bule" mengetahui bahwa dalam beberapa tradisi Hindu di Bali, wanita yang sedang menstruasi dilarang masuk ke pura atau tempat suci lainnya. Ini adalah bagian dari adat dan keyakinan lokal yang mungkin tidak diketahui oleh orang-orang dari budaya atau agama yang berbeda. Oleh karena itu, penting bagi wisatawan dan orang asing untuk diberi informasi tentang aturan dan adat istiadat setempat sebelum mengunjungi tempat-tempat suci di Bali. Banyak pura di Bali juga memasang tanda atau memberikan informasi kepada pengunjung tentang hal ini untuk memastikan penghormatan terhadap tradisi lokal.

Sabtu, 24 Agustus 2024

Kesurupan.

Kesurupan atau pengalaman yang sering dianggap sebagai fenomena spiritual atau supernatural di masyarakat, sering kali berhubungan dengan kepercayaan budaya, psikologi, dan sosial. Apakah kita patut mempercayainya? Itu tergantung pada perspektif individu. Secara ilmiah, kesurupan sering kali dijelaskan melalui mekanisme psikologis dan sosial seperti stres, sugesti, atau gangguan kejiwaan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini bisa muncul dalam konteks kelompok atau individu yang sangat percaya pada kekuatan spiritual atau supernatural.

Namun, dalam konteks budaya dan kepercayaan lokal, kesurupan bisa memiliki makna yang lebih mendalam dan penting. Dalam banyak masyarakat, kesurupan dipandang sebagai bentuk komunikasi dengan dunia spiritual atau sebagai bagian dari ritual budaya yang memiliki nilai-nilai dan fungsi sosial tertentu. Keputusan untuk mempercayai atau tidak mempercayai fenomena kesurupan sering kali bergantung pada keyakinan pribadi, latar belakang budaya, dan pemahaman individu tentang realitas.

Sad Ripu.

Musuh sejatimu Tidak Ada Di luar Dirimu, Tapi Mereka Adanya Di dalam Diri. Di luar yang Ada adalah Teman, Sahabat, Saudara. Kenali Musuh-musuhmu dengan Baik kemudian Tundukan, Kuasai dan Kendalikan. Dengan Demikian Engkau akan Bebas dari Penderitaan. Musuh Itu ada enam  dan Sangat Dekat denganmu, Sering Kali Berjumpa dan Membuat Masalah dalam Hidup. Mereka Telah Menguasai Kesadaran Rohani dan Akal Budhimu. Mereka adalah kemarahan, keinginan yang tak terkendali, kebingungan, kemabukan, keserakahan, dan rasa iri atau dengki.

Inilah enam musuh yang Bersemayam Di dalam Diri dan Menguasai, Mengendaliksn serta Mengatur Hidupmu. Segera Tundukan, Kuasai Balik dan Kendalikan (kontrol). Mulailah dari Belajar membatasi keinginan. Jangan Beli atau Gapai bila Tidak membutuhkan. Hiduplah Sesuai kebutuhan bukan keinginan. Bila Teman, Tetangga atau Saudaramu berhasrat Besar akan Sesuatu, ingatkan, jika bisa. Bila Tidak Bisa,, Cukup Ingatkan diri  bahwa Hal Itu Belum atau Tidak Dibutuhkan. Milikilah Sesuatu Sesuai Fungsi, jangan Turuti Gengsi Demi Harga Diri. 

Orang miskin adalah Mereka Selalu Ingin dan Ingin bila Perlu Ambil Semuanya dan Merampas yang Bukan Miliknya. Orang kaya adalah Mereka yang Selalu Bersyukur, Cukup dan Senantiasa Bisa Berbagi dengan yang Lain. Semoga Mencapai Ketenangan dan Hidup Sederhana Penuh Rasa Syukur. 



Kamis, 22 Agustus 2024

Awatara Dan Kejahatan.

"Kehadiran Awatara adalah untuk memberantas kejahatan. Lalu mengapa sampai sekarang kejahatan masih merajalela?" 

Kehadiran awatara dalam konteks spiritual atau keagamaan, terutama dalam tradisi Hindu, biasanya dilihat sebagai manifestasi ilahi untuk menegakkan dharma (kebenaran) dan mengatasi adharma (ketidakadilan atau kejahatan). Namun, keberadaan kejahatan yang "merajalela" meskipun ada awatara bisa dilihat dari beberapa perspektif diantaranya adalah:

Pertama karena Siklus Karmika dan Kali Yuga. Dalam pandangan Hindu, dunia berjalan melalui siklus yuga (zaman), dan kita saat ini berada di Kali Yuga, zaman kegelapan dan keburukan, di mana kejahatan dan ketidakadilan lebih menonjol. Kejahatan di Kali Yuga bukan hanya tentang individu, tetapi merupakan ciri zaman itu sendiri. Awatara mungkin muncul untuk meminimalkan kejahatan atau ketidakadilan yang paling parah, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan semua bentuk kejahatan karena itu adalah bagian dari sifat Kali Yuga.

Kedua adalah Dharma dan Adharma Berkelanjutan. Kehadiran awatara bukanlah solusi permanen untuk masalah dunia, melainkan intervensi yang muncul ketika adharma mencapai tingkat yang tidak dapat diterima. Setelah misi awatara selesai, dunia kembali ke keseimbangannya yang berfluktuasi antara dharma dan adharma. Ini menggambarkan bahwa kebenaran dan kebatilan selalu ada, dan setiap individu memiliki peran dalam memilih jalan mereka sendiri.

Ketiga karena Kehendak Bebas. Dalam banyak tradisi spiritual, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk membuat pilihan moral. Kehadiran awatara memberikan contoh atau inspirasi tentang bagaimana hidup yang benar dapat dijalani, tetapi tidak memaksa manusia untuk mengikuti jalan tertentu. Kejahatan dapat terus ada karena orang-orang masih memiliki kebebasan untuk memilih antara dharma dan adharma.

Keempat adalah Ujian dan Pembelajaran. Dari sudut pandang spiritual, kehidupan di dunia ini sering dilihat sebagai tempat ujian dan pembelajaran. Kehadiran kejahatan atau adharma dapat dilihat sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh individu untuk mengembangkan kesadaran spiritual dan moral mereka.

Dengan demikian, meskipun awatara datang untuk memberantas kejahatan, kejahatan bisa tetap ada karena berbagai faktor ini. Setiap individu dan masyarakat dihadapkan pada tantangan untuk menjaga dan mempraktikkan dharma dalam kehidupan sehari-hari.

"Apa yang menyebabkan terjadinya kejahatan?"

Kejahatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Beberapa penyebab utama kejahatan meliputi:

Pertama adalah faktor Ekonomi dan Kemiskinan. Ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi sering kali menjadi pemicu utama kejahatan. Ketika seseorang mengalami kesulitan finansial, mereka mungkin merasa terpaksa melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kedua adalah Faktor Sosial. Lingkungan sosial yang buruk, seperti tumbuh di keluarga yang tidak stabil atau komunitas dengan tingkat kriminalitas tinggi, dapat mempengaruhi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan kriminal. Kurangnya pendidikan dan akses ke peluang yang lebih baik juga dapat berkontribusi pada tindakan kriminal.

Ketiga adalah Faktor Psikologis. Beberapa individu mungkin melakukan kejahatan karena masalah kesehatan mental atau gangguan psikologis. Gangguan seperti impulsivitas, kurangnya empati, atau gangguan kepribadian dapat mempengaruhi perilaku seseorang.

Keempat adalah Pengaruh Teman Sebaya. Tekanan dari teman sebaya atau keinginan untuk diterima dalam kelompok tertentu bisa mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan, terutama di kalangan remaja.

Kelima adalah Pengaruh Media dan Budaya. Eksposur terhadap kekerasan di media, termasuk film, televisi, dan video game, serta budaya yang mungkin memuliakan tindakan kriminal, bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang terhadap kejahatan.

Keenam adalah Kurangnya Penegakan Hukum. Di beberapa tempat, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya sistem peradilan yang efektif dapat membuat kejahatan menjadi lebih umum, karena pelaku merasa bahwa risiko tertangkap dan dihukum rendah.

Ketujuh adalah Substansi Penyalahgunaan. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang dapat mengganggu penilaian seseorang dan meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku kriminal.

Faktor-faktor ini seringkali saling berhubungan dan dapat berkontribusi bersama dalam menyebabkan seseorang melakukan kejahatan.

















Rabu, 21 Agustus 2024

Kewaspadaan.

Dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 290 dijelaskan bahwa lenyapnya semua makhluk hidup akibat dari kelalaian. Jika seseorang tidak memiliki rasa waspada, maka semua makhluk akan hancur sedemikian rupa. Maka dari itu, kita harus memiliki watak Dewa yang selalu waspada dan menjaga diri."

Jadi, Sloka ini mengajarkan pentingnya kewaspadaan dalam menjalani kehidupan, sebagai cara untuk menghindari kehancuran yang disebabkan oleh kelalaian atau keteledoran.

Ketenangan hati.

Air yang keruh itu jangan diaduk agar tidak semakin keruh. Bersabarlah dan tenanglah  sejenak. Nanti yang jernih akan muncul Ke permukaan. Sama halnya Saat kamu dihadapkan dengan masalah. Semakin kamu pikirkan, Maka ia akan menjadi racun bagi dirimu. Maka dari itu, Bersabarlah. Belajarlah untuk menenangkan dirimu. Karena terkadang masalah itu bukan dari orang lain. Tapi dari dirimu sendiri. Bagaimanapun juga, kamu harus punya kendali Atas pikiranmu sendiri.

Ketenangan hati akan hadir Saat kamu belajar untuk mengontrol diri Dan membiarkannya berlalu. Jangan berkeluh kesah atas masalahmu. Jangan basahi wajahmu Dengan air matamu. Segeralah bangkit dan Basahilah wajahmu dengan air suci. Sujudlah. Adukan setiap masalahmu Kepada Tuhan. Saat kamu menangis dalam sujudmu, Tuhan memang tak memeluk ragamu. Namun menenangkan segala Yang ada dalam hatimu. Hati akan tenang Bila kita bisa menerima kenyataan bahwa Apa yang kita dapat, itu sudah ditetapkan. Apa yang hilang itu sudah ditakdirkan.

Sesungguhnya jika kita meyakininya, semua yang terjadi adalah untuk kebaikan kita. Terkadang kita dipermainkan oleh keadaan supaya kita bisa merasakan sensasi dari semua permainan kehidupan ini. Terkadang diberi kesenangan, terkadang diberi kesusahan. Dan semua itu mengasah kepekaan dari rasamu. Bagaimana mengelola rasa? apakah bisa seimbang Apakah saat senang berlebih dan saat susah, menyalahkan orang lain dan menghujat tuhan? Kehidupan selalu mengajarkan banyak hal yang positif jika kita meresponnya dengan baik. Jadi, mari mengolah rasa dan menumbuhkan kesadaran diri bahwa hidup ini indah. Jadi, jangan lupa bahagia. Intinya selalu bersyukur. Karena diluar sana masih banyak yang lebih susah dari kita. Bahkan ada yang fisiknya tidak sempurna. Jadi untuk apa mengeluh?






Hubungan Harmonis antara Manusia, Alam, dan Spiritualisme

Tri Hita Karana adalah konsep filosofi Hindu Bali yang menekankan harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. Meskipun ada kritik yang mengatakan bahwa konsep ini hanya sebatas slogan, banyak orang di Bali masih berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Memang benar bahwa Bali, seperti banyak daerah lain, mengimpor berbagai barang dari tempat lain, termasuk kebutuhan pokok dan bahan upakara. Hal ini bisa jadi karena keterbatasan sumber daya lokal atau karena faktor ekonomi. Namun, ini tidak berarti bahwa prinsip Tri Hita Karana tidak relevan. Penerapan prinsip tersebut bisa berlangsung dalam banyak aspek kehidupan, meskipun ada ketergantungan pada barang dari luar.

Seiring waktu, banyak masyarakat Bali berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan praktis dan idealisme filosofis mereka, dan mungkin tantangan-tantangan tersebut adalah bagian dari proses adaptasi dan penyesuaian.

I Wayan Padet & Ida Bagus Wika Krishna dalam Jurnal Genta Hredaya Volume 2, No. 2, September 2018 menyebut istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul saat Konferensi Daerah Badan Perjuangan Umat Hindu Bali di Perguruan Dwijendra Denpasar pada 11 Nopember 1966. Tri Hita Karana disebut sebagai konsep spiritual, kearifan lokal, sekaligus falsafah hidup masyarakat Hindu Bali yang bertujuan untuk menciptakan keselasaran hidup manusia. Sejak itulah istilah Tri Hita Karana berkembang, meluas, dan memasyarakat. Ajaran Tri Hita Karana bersifat universal sehingga dijadikan sebagai landasan hidup menuju kebahagiaan lahir dan batin.

Mengutip dari ulasan di laman resmi Pemkab Badung, Tri hita karana berasal dari bahasa Sanskerta yang terbentuk dari tiga kata, yaitu Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan atau sejahtera, dan Karana artinya sebab atau penyebab. Dengan demikian, falsafah Tri Hita Karana mengandung makna tiga penyebab kebahagiaan. Adapun tiga penyebab kebahagiaan yang dijabarkan dalam konsep Tri Hita antara lain:

Parhayangan, yaitu hubungan harmonis dengan Tuhan. Parhyangan menegaskan bahwa manusia diharapkan senantiasa menghaturkan sujud bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.Pawongan, yaitu hubungan harmonis dengan sesama manusia. Pawongan menekankan hubungan yang harmonis antarsesama manusia yang dapat diwujudkan dalam hubungan dalam keluarga, hubungan dalam persahabatan, maupun hubungan dalam pekerjaan.Palemahan, yaitu hubungan harmonis dengan alam lingkungan. Palemahan menekankan hubungan antara manusia dengan alam, mencangkup tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lainnya. Ketiga hubungan yang harmonis itulah yang diyakini akan membawa kebahagiaan, kerukunan, dan keharmonisan dalam kehidupan.

Dikutip dari tulisan I Wayan Padet & Ida Bagus Wika Krishna berjudul Falsafah Hidup dalam Konsep Kosmologi Tri Hita Karana dalam Jurnal Genta Hredaya Volume 2, No. 2, September 2018, berikut adalah contoh penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari:

Contoh Penerapan Parhayangan

Parahyangan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka penerapannya dapat dilaksanakan dengan Dewa Yadnya. Misalnya dengan membersihkan pura-pura, taat sembahyang dan melaksanakan ajaran-ajaran agama serta mengamalkan dharma.

Contoh Penerapan Pawongan

Pawongan adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia. Contoh penerapan pawongan adalah dengan menjaga dan menjalin hubungan yang baik dengan bersikap tenggang rasa, saling menghargai, dan saling tolong-menolong dengan setiap orang.

Contoh Penerapan Palemahan

Palemahan merupakan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Contoh penerapan palemahan adalah menjaga kebersihan lingkungan dan tidak mengeksploitasi isi alam, serta menjaga kelestariaannya.


Catur Marga Yoga.

Pengertian Catur Marga Yoga adalah empat jalan atau cara mencapai kesempurnaan hidup atau Moksa. Dalam agama Hindu, Catur Marga Yoga meliputi Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Dikutip dari buku Kreatif Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V untuk SD yang ditulis oleh Dewa Artana, dkk, Catur Marga Yoga terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1. Bhakti Marga Yoga

Bhakti Marga Yoga Merupakan cara mencapai Moksa melalui sikap bakti kepada Sang Hyang Widhi. Kata Bhakti berarti hormat, yang mana rasa hormat dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

2. Karma Marga Yoga

Karma Marga Yoga Merupakan cara mencapai Moksa melalui kerja tanpa pamrih. Orang yang melaksanakan Karma Marga Yoga disebut dengan Karmin, di mana Karmin akan bekerja keras tanpa menginginkan hasil.

3. Jnana Marga Yoga

Jnana Marga Yoga Merupakan cara mencapai Moksa melalui pengetahuan. Orang yang melaksanakan Jnana MArga Yoga disebut dengan Jnanin.

4. Raja Marga Yoga

Raja Marga Yoga Merupakan cara mencapai Moksa melalui tapa, brata, yoga, dan samadhi. Tapa dan brata merupakan latihan mengendalikan diri. Yoga dan samadhi merupakan latihan meditasi atau pemusatan pikiran. Dalam melaksanakan Catur Marga Yoga, umat Hindu dapat memulainya dengan niat yang tulus. Adapun niat tulis tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan kesungguhan hati. 

Dalam kitab Bhagavad Gita Bab 12 Sloka 290, yang dikenal sebagai Bhakti Yoga dijelaskan bahwa orang yang terikat pada tubuh tidak mungkin melepaskan semua kegiatan. Namun, orang yang melepaskan hasil dari kegiatan itu disebut sebagai orang yang meninggalkan hasil. Sloka ini menekankan bahwa meskipun seseorang tidak bisa sepenuhnya berhenti dari melakukan tindakan fisik, mereka yang melepaskan hasil dari tindakan mereka (dari keserakahan dan keinginan) dapat dianggap sebagai orang yang benar-benar meninggalkan.

Dalam Bhagavad Gita Bab 7 Sloka 21 dijelaskan bahwa kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Aku berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap"  

Menurut kitab Sarasamuscaya 1.4 dijelaskan bahwa menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik. Demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia. Maka yang bisa kita lakukan sebagai umat Hindu adalah dengan selalu melakukan perbuatan baik, dan menghindari prilaku yang menyebabkan dosa. Sehingga kita dapat mencapai tujuan umat Hindu yaitu moksa.

Dalam Bhagawadgita Bab 3 sloka 9 dijelaskan bahwa orang yang dengan pikiran terpusat mengendalikan indria-indrianya dan tanpa keterikatan pada hasil melaksanakan perbuatan-perbuatan suci dalam Karma Yoga, orang yang demikian sesungguhnya jauh lebih maju. Sloka di atas menjelaskan bahwa kedudukan orang yang memiliki jiwa yang tulus ikhlas dan tanpa pamrih dipandang jauh lebih baik daripada orang palsu yang berpura-pura yang mulai mengikuti kerohanian sebagai tontonan untuk menipu orang yang tidak tahu apa-apa. Tukang sapu yang tulus ikhlas di jalanan, jauh lebih baik daripada ahli semadi gadungan yang hanya bersemadi untuk mencari nafkah. Sehingga kita didorong untuk mengupayakan memiliki sifat tersebut. 

Sementara dalam Bagawadgita bab 11 sloka 55 dijelaskan bahwa Siapa yang dengan tanpa pamrih dan penuh kesungguhan menyembah-Ku dengan bhakti (pengabdian) yang murni, ia akan mencapai Aku. Ia yang dengan sepenuh hati memikirkan Aku, akan menjadi satu dengan-Ku. Sloka ini menggarisbawahi pentingnya bhakti (pengabdian) yang tulus dalam mencapai persatuan dengan Tuhan.

Sedangkan dalam Bhagawad Gita bab 12 Sloka 13 dijelaskan bahwa orang yang mempunyai itikad kebajikan , bersikap bersahabat kepada sesama mahluk ,ramah tamah ,bebas dari rasa mementingkan diri sendiri ,tekun bekerja atas nama Tuhan, merupakan bhakti yang amat tinggi nilainya.








.



Kedamaian.

Bagi mereka yang tulus menyayangimu, seberapapun besarnya kesalahanmu, kekuranganmu, mereka akan memaafkanmu dan mau melihat sisi kebaikanmu Bagi mereka yang tidak suka padamu, seberapa banyakpun kebaikan yang kau buat, di mata mereka kau tetap tidak baik, kau tetap salah. Dan hanya mereka yang benar. Jadi, belajarlah ikhlas dan legowo menerima seperti apapun penilaian orang lain terhadapmu. Kita percayakan pada Karma dan pada Semesta yang Agung. Karena kau tak akan  bisa membahagiakan semua orang. Santailah dan nikmati hidupmu di jalan yang direstui Tuhan. Itu lebih mulia dan lebih bermanfaat. Bathinmu lebih tenang dan bahagia.

Dalam Bhagawadgita 9.30 dijelaskan bahwa Meskipun Seseorang melakukan perbuatan yang paling jijik, kalau ia tekun dalam bhakti, ia harus diakui sebagai Orang Suci karena ia mantap dalam ketabahan hatinya dengan cara yang benar"

Sementara dalam Bhagawadgita bab 9 sloka 31 dijelaskan bahwa dalam waktu yang singkat ia menjadi saleh dan mencapai kedamaian yang abadi. Wahai putra Kunti, nyatakanlah dengan berani bahwa penyembah-Ku tidak akan pernah binasa"

Sedangkan dalam Bhagawadgita bab 9 sloka 32 dijelaskan bahwa orang yang berlindung kepada-Ku, walaupun mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, Vaisya (pedagang), Sudra (buruh) semua dapat mencapai tujuan tertinggi"



Sabtu, 17 Agustus 2024

Kenapa Kita Harus Belajar Spiritual?

Agama sering kali menyediakan pedoman moral dan etika, tetapi karakter dan tindakan seseorang lebih dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti lingkungan, pengalaman pribadi, dan pilihan individu. Dengan demikian, agama sendiri tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi baik atau jahat, melainkan cara seseorang menginterpretasikan dan menerapkan ajaran agama tersebut yang memainkan peran utama. Kendati demikian, bukan berarti kita harus melepaskan diri dari agama. Justru kita wajib belajar agama dan spiritual.

Kenapa kita diwajibkan belajar spiritual? Menurut saya, dengan mempelajari spiritual, kita diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana. Bukan manusia pintar ya? Ingat, pintar dan bijaksana itu berbeda. Contohnya, orang yang sangat pintar merakit bom lalu meledakkan bom tersebut di zona dakwah, hal itu tidak bisa disebut bijaksana. 

Orang yang sukses belajar spiritual adalah orang yang suka berbagi. Yang berlimpah harta seharusnya berbagi dengan orang-orang yang miskin harta. Tapi orang-orang jaman sekarang sepertinya sedang mengalami degradasi moral. Berbeda dengan jaman dahulu. Kalau orang-orang jaman dahulu bekerja demi kesejahtraan seluruh umat manusia. Makanya ada istilah bekerja tanpa pamrih. Bukan berarti kita tidak butuh uang, bukan pula tidak butuh imbalan. Melainkan kita diharapkan bekerja di jalan Dharma dan bekerja secara jujur. Berkarya mengutamakan kualitas, bukan meraup banyak keuntungan yang menyengsarakan banyak orang.
             
Contohnya, demi meraup untung besar, ada oknum produsen makanan yang tega mencampurkan produknya dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya. Yang mengakibatkan kesehatan konsumen terganggu. Kita seharusnya bekerja demi keselamatan manusia bukan menghancurkan manusia. Jaman sekarang sepertinya banyak manusia yang ingin menghalalkan segala cara. Entah orang lain sengsara atau bagaimana, mereka tidak mau tahu. Yang penting dapat untung banyak. Inilah ciri-ciri sifat manusia di jaman Kaliyuga. Kejujuran sulit ditemukan di jaman ini. Maka dari itu, mulai dari sekarang kita harus belajar spiritual. Punya buku-buku Hindu jangan cuma dipajang. Tetapi dibaca lalu diamalkan. Selain kita diharapkan agar pintar, kita juga dituntut agar bijaksana.

Jumat, 16 Agustus 2024

persahabatan

Li Ka-shing seorang Miliarder dari Hongkong pernah mengatakan bahwa hal  yang paling sulit di dunia ini adalah Pinjam Uang. Kalau Ada Orang Ingin Meminjam Uang Padamu, 
Jawablah Seperti Ini. Orang yang mau meminjamimu uang adalah pahlawanmu. Apabila orang tersebut memberimu pinjaman tanpa syarat, maka ia adalah pahlawan tertinggi di antara pahlawan- pahlawanmu yang lain. Sampai saat ini, pahlawan seperti itu tidak banyak. Jika kamu sampai menemukan mereka, hargailah seumur hidupmu!

Orang yang bisa bersedia meminjamkan uang ketika kamu kesulitan, bukanlah karena ia punya banyak uang, tapi karena ia ingin menarikmu saat jatuh. Yang dipinjamkannya kepadamu juga bukanlah uang, melainkan ketulusan, kepercayaan, dukungan dan kesempatan untuk kamu berinvestasi di masa depan. Janganlah sekali- kali menginjak kepercayaan tersebut. Karena sekali orang lain kehilangan kepercayaan padamu, maka hidupmu pasti hancur. Ingat, kepercayaan orang lain adalah harta seumur hidup.

Selain itu, tolong kamu catat perkataan di bawah ini:

1. Orang yang suka inisiatif mentraktir, bukanlah karena ia punya banyak uang, tapi karena ia memandang "pertemanan lebih penting" dari pada hartanya. 

2. Orang yang suka mengalah saat bekerja sama, bukanlah karena ia takut, melainkan tahu apa artinya "berbagi". 

3. Orang yang bersedia bekerja lebih keras dari orang lain, bukanlah karena ia bodoh, tapi karena mengerti apa artinya "bertanggung jawab".

4. Orang yang terlebih dulu minta maaf saat berdebat, bukanlah karena mengaku salah, melainkan tahu artinya "menghargai". 

5. Orang bersedia membantumu, bukan karena berhutang, tapi karena menganggapmu sebagai "teman".

Sudah berapa banyak orang yang tidak memperhatikan logika ini? Sudah berapa banyak orang yang menganggap pengorbanan orang lain adalah "hal yang semestinya"? Bila orang tulus berjalan, ia akan jalan sampai ke dalam hati. Bila orang munafik berjalan, cepat atau lambat, ia akan ditendang sampai keluar dari pandangan orang lain. Bila pertemuan di antara manusia adalah jodoh, maka hal yang diandalkan hanyalah ketulusan dan kepercayaan.

Kamu mau menjadi orang seperti apa? Semuanya adalah pilihanmu sendiri. Percayalah, hubungan antar manusia harus mengandalkan kepercayaan.
Terserah kamu mau pinjam uang atau tidak, yang terpenting kamu harus memberikan kepercayaan!


Tiga Tempat Wisata Religi Yang Sangat Unik.

Tempat Wisata religi yang sangat unik diantaranya, yang pertama adalah Patung dewa Murugan di kuil Batu Cave di Malaysia. Dewa Murugan bagi masyarakat suku Tamil Nandu di India selatan sama dengan Dewa Kartikeya, kakaknya dewa Ganesha. Kalau kepercayaan orang Bali, Kartikeya sama dengan dewa Rare Kumara. Beliau dipercaya sebagai penjaga bayi. Makanya dewa Rare Kumara distanakan di Pelangkiran atau di atas tempat tidur bayi.  Suku Tamil Nandu yang ada di Malaysia sangat memuja dewa Murugan yang ada di kuil Batu Cave di Malaysia. Yang menjadi daya tarik kuil Batu Cave adalah dengan keberadaan patung dewa Murugan yang terbesar di dunia yang menjulang di dekat tangga naik ke Batu Cave. Untuk mencapai puncak gua, anda harus menaiki 272 anak tangga. Lokasi Batu Cave sekitar 13 Km di arah utara Kuala Lumpur. Patung dewa Murugan tingginya 43 Meter. Patung tersebut terbuat dari 1550 Kubik beton,250 Ton baja Bar dan 300 Liter cat emas yang didatangkan dari negara Thailand. Bagi pengunjung yang ingin sembahyang, juga disiapkan peralatannya oleh beberapa Pujari. Apa yang dimaksud dengan Pujari? Kalau di Bali, Pujari itu setingkat dengan Pemangku atau Sulinggih. Setiap satu tahun sekali pada bulan Februari biasanya akan diadakan festival Thaipusam di Batu Cave.

Tempat wisata religi yang sangat unik, yang kedua adalah tempat Melukat di Sebatu Gianyar propinsi Bali. Di kabupaten Gianyar Bali, ada tempat unik untuk Melukat. Apa itu Melukat? Melukat adalah pembersihan diri secara rohani. Lokasi tersebut sekitar 40 Km dari kota Denpasar. Sebelum mencapai lokasi tersebut, anda akan melewati indahnya sawah Terasering di desa Ceking Tegallalang Gianyar. Jika anda kebingungan mencari lokasi tersebut, anda bisa bertanya kepada masyarakat sekitar sana. Dan anda tidak perlu bingung karena banyak terdapat petunjuk jalan. Untuk mencapai tempat Melukat di Sebatu, anda harus memiliki tenaga ekstra karena lokasinya sangat terjal dan jauh ke bawah melewati beberapa anak tangga yang sangat menguras tenaga. Di pertengahan tangga, anda akan menemukan air pancuran yang disebut Beji untuk membersihkan diri. Kemudian anda akan melewati anak tangga yang terjal sampai bertemu Pelinggih pura Dalem Pingit dan Kusti. Setelah sembahyang di Pelinggih tersebut, anda langsung dapat menuju tempat Melukat yang berupa air terjun yang sangat besar. Yang sangat unik dan ajaib, warna air akan berubah jika seseorang yang Melukat badannya terisi hal negatif seperti Black Magic. Khusus wanita yang sedang haid dan anak kecil yang belum tanggal gigi tidak diperbolehkan Melukat di tempat tersebut. Dalam perjalanan pulang, anda akan merasakan kesegaran yang luar biasa disamping air terjunnya sangat dingin dan udara yang sejuk membuat perjalanan Melukat anda sangat bersahaja. Jangan lupa, ada warung kecil di perjalanan yang menjual makanan khas Sebatu seperti sayur daun paku, pisang goreng dari nangka atau hanya sekedar menikmati hangatnya kopi sembari menikmati kesegaran udara Sebatu.

Wisata religi sangat unik yang ketiga adalah pura Bhur Loka di lereng gunung Seraya kabupaten Karangasem Bali. Komplek pura diatasnya pura Bhuah dan di puncak pura Swahloka. Warga seraya lazim menyebutnya pura Puncak sari gunung Kembar. Keunikan pura tersebut adalah dijadikan tempat Shafaran oleh umat Islam dari bukit Tabuan desa Seraya. Umat Hindu dan umat Muslim di desa Seraya memiliki hubungan yang sangat baik. Leluhur umat Muslim di bukit Tabuan adalah penganut Islam Waktu Telu. Makanya mereka juga mengenal tradisi Shafaran.



Empat Tipe Orang Pencari Tuhan.

Di sebuah hutan terpencil Tuhan menjelma sebagai seorang pertapa sakti (guru suci) yang dapat mengabulkan permohonan semua orang. Orang orang yang datang kepadanya dari berbagai latar belakang dan dibedakan menjadi 4 kelompok. kelompok pertama dan terbanyak adalah mereka yang sedang mengalami penderitaan, sakit dan kebingungan. Kelompok kedua jumlahnya hampir sama yaitu kelompok orang yang menginginkan kekayaan dan jabatan. Kelompok ketiga jumlahnya sedikit yaitu kelompok orang yang menginginkan ilmu pengetahuan.  Kelompok keempat dan terakhir jumlahnya paling sedikit hanya 1-3 orang yaitu kelompok orang yang ingin mengabdi atau melayani guru yang tak lain adalah perwujudan Tuhan. Dari keempat kelompok yang disebutkan tadi dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil saja orang yang bersungguh sungguh mau mengabdikan diri kepada Tuhan. Karakter manusia yang paling menonjol adalah ketika sengsara barulah ingat kepada tuhan. Pada saat bahagia sebagian besar tidak ingat kepada tuhan. Justru hidupnya penuh dengan hura-hura, konsumtif, serta Hedonis.
            
Selain itu, orang ingat pada tuhan ketika murid akan memasuki masa ujian atau ulangan umum. Atau ketika para Caleg berusaha mencari suara sebanyak-banyaknya pada saat pemilihan umum. Makanya pura di Bali menjelang pemilu sudah bisa dipastikan akan dipenuhi dengan Caleg yang memohon pada tuhan agar berhasil menjadi legislatif dan wakil rakyat. Mereka yang semula pelit tiba-tiba berubah menjadi berjiwa sosial dengan cara menyumbang dana demi mencari massa, pendukung, simpatisan dan suara sebanyak-banyaknya. Ketika mereka menjadi pejabat kemudian mereka lupa pada pendukungnya.
        
Halaman pura juga akan disesaki oleh para pengusaha dan para pengejar harta. Kalau mengejar harta untuk kesejahteraan dunia, masih bisa diterima. Tetapi bagaimana dengan orang yang gila harta dan suka memperkaya diri? Dan jarang bersedekah? Nah orang seperti itu perlu diketuk pintu hatinya agar tersadarkan. 

Walaupun tujuan orang datang ke pura berbeda-beda, namun tuhan tetap menerima mereka sebagai pemuja yang baik hati. Makanya dalam sloka Bhagawadgita 7-16 dijelaskan bahwa ada empat tipe orang yang baik hati memuja padaku, wahai Parta. Mereka adalah yang sedang sengsara, yang sedang mengejar ilmu, yang sedang mengejar harta, dan orang yang berbudi luhur. Diantara keempat tipe orang yang baik hati memuja padaku, hanyalah tipe orang yang paling akhir yang paling utama. Karena orang tersebut datang memujaku, murni karena kecintaan dan rasa syukur. Selain itu, mereka juga selalu mendoakan semua mahluk hidup dan alam semesta supaya kedamaian dan kesejahteraan tercipta dalam dunia ini.
                
Berbeda dengan tipe pemuja tuhan yang datang ke pura yang sedang sengsara. Orang yang sedang sengsara merupakan orang yang dalam kondisi kurang baik dan membutuhkan bantuan. Kenapa bisa demikian? Itu disebabkan karena berbagai macam permasalahan hidup yang tak kunjung henti. Pada saat itulah orang tersebut memohon petunjuk dari tuhan untuk menyelesaikan masalah hidupnya. Selain orang sengsara, seperti yang sudah dijelaskan di atas, orang yang sedang mengejar ilmu atau orang yang sedang bersekolah juga datang ke pura. Jika kita lihat secara mendalam, bukan karena mereka ingin mendapatkan hasil yang baik tapi untuk memohon restu kepada tuhan supaya ujian sekolah dapat dilaluinya dengan baik.
       
Ada juga orang yang sedang mengejar harta. Orang tersebut melakukan pemujaan supaya dalam setiap pekerjaan dapat dilaluinya dengan baik. Jika dilakukan dengan tujuan untuk mensejahterakan dunia, tentu hal itu seharusnya menjadi tujuan utama. Tetapi jika hal tersebut dilakukan untuk memperkaya diri dan jarang bersedekah, maka orang seperti itu perlu diketuk pintu hatinya agar tersadarkan. 
        
Suatu hari saya pernah menerima email yang berisi pertanyaan "Apakah boleh melakukan pemujaan terhadap tuhan dengan cara meditasi telanjang di pura? Bukankah untuk mencari tuhan kita harus telanjang bulat sama seperti bayi yang baru lahir agar energi suci dari tuhan dapat kita terima secara maksimal" Begitu bunyi email tersebut. 

Lalu saya balas "kalau melakukan meditasi sesuai keyakinan anda, itu sah-sah saja. Entah telanjang bulat atau bagaimana, asalkan dilakukan di tempat pribadi, bukan tempat umum, hal itu tidak akan jadi masalah. Kalau meditasi dengan cara telanjang di pura itu rasanya kurang etis. Karena pura itu milik umum dan pura itu tempat sembahyang dengan pakaian yang sopan. Dan belum pernah saya lihat orang memuja tuhan di pura dengan cara telanjang bulat. Karena kita bukan bayi lagi. Kalau kita bayi, khan tidak apa-apa kita telanjang bulat di hadapan orang-orang. Kita bukan bayi lagi. Kita adalah orang dewasa. Takutnya nanti orang-orang menganggap kita gila. Seandainya bayi pun, orang tuanya belum pernah menelanjanginya ketika diajak sembahyang ke pura.
                  
Kemudian saya menambahkan lagi "Apakah meditasi telanjang itu diharuskan di pura? Apakah tidak boleh di tempat lain? Seandainya diharuskan di pura, lebih baik minta ijin dulu pada pengurus puranya. Kalau diijinkan, silahkan. Kalau tidak diijinkan, anda tidak boleh ngotot. Karena pengurus pura itu berhak dalam pemberian ijin atau tidak. Jangan hanya karena kita ingin mendekatkan diri pada tuhan justru masalahnya akan semakin tambah ribet. Maaf, jika seandainya jawaban saya tidak memuaskan anda. Karena jawaban saya adalah murni dari cara pandang saya. Jika anda tidak puas, silahkan cari perbandingan kepada orang-orang yang lebih ahli dari saya. Saya pun mengakhiri email.
 





Upacara Metatah.

Apa itu upacara Metatah? Dalam situs Blogspot dengan URL poethree-sweetgirl.blogspot.com menjelaskan bahwa Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang Bali yang menganut agama Hindu Bali. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki usia dewasa secara niskala. Upacāra metatah juga sering disebut dengan mesangih atau upacara potong gigi secara simbolis. yang dimaksud dengan memotong adalah meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.

Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña. Berdasarkan pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.

Apa tujuan dari upacara Metatah? Adapun tujuan dari upacāra Metatah dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Metatah mengandung tujuan, sebagai berikut yaitu Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu(enam musuh dalam diri manusia) yang mempengaruhi pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong libido seksualitas. Sad ripu meliputi Kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), Mada (mabuk), Moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Keenam musuh diri itu harus dibersihkan dari setiap diri manusia, sehingga ritual ini menjadi kewajiban agar kehidupan setelahnya menjadi bersih dari semua sifat buruk tersebut. Sad Ripu yang tidak terkendalikan akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya yang suci dapat mencapai surga loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan muda- mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.

Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang anak yang suputra/ baik (pahala bagi orang tua).

Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Metatah, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggigit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.


Sejarah Asal Usul Hari Dipawali.

Dalam buku yang berjudul How and Why do Hindus Celebrate Divali? yang diterbitkan pada tahun 2013 karya Jean Mead dijelasakan bahwa Diwali merupakan lambang spiritual mengenai “kemenangan terang atas kegelapan, kebaikan atas kejahatan, dan pengetahuan atas ketidaktahuan.” Diwali dikenal dengan berbagai istilah lainnya seperti Deepawali, Deepavali, atau Dipavali. Keragaman istilah ini disesuaikan dengan bahasa asalnya. Seperti diketahui, cukup banyak bahasa lokal yang digunakan di India, semisal Sanskerta, Hindi, Marathi, Kannada, Urdu, Tamil, dan seterusnya. Asal istilah Diwali diperkirakan bersumber dari bahasa Sanskerta, yakni Dipavali. Menurut James G. Lochtefeld dalam The Illustrated Encyclopedia of Hinduism (2002), Dipavali berarti “barisan atau serangkaian lampu” yang kemudian dikaitkan dengan alat apapun yang bercahaya seperti lampu, lentera, lilin, dan lain-lain.

Istilah Dipavali juga dapat dimaknai secara tersirat. Salah satunya tercatat dalam Sanskrit English Dictionary (2008) suntingan Monier Williams yang mengartikannya sebagai “apa yang bercahaya, menyinari, atau pengetahuan”. Perayaan Diwali selama 5 hari setiap tahunnya ditetapkan berdasarkan penanggalan Hindu pada awal musim gugur setelah akhir panen musim panas. Menurut kalender Masehi, peringatan Diwali jatuh antara bulan Oktober hingga November. Tahun ini, Diwali dirayakan mulai 27 Oktober 2019. Constance Jones dalam Religious Celebrations: An Encyclopedia of Holidays Festivals Solemn Observances and Spiritual Commemorations (2011) memperkirakan Diwali merupakan perpaduan dari perayaan panen di India. 

Istilah Diwali ditemukan dalam teks-teks Sanskerta lama berangka tahun awal Masehi. Dalam naskah Skanda Purana yang ditulis pada sekitar abad 8 Masehi, misalnya, disebutkan bahwa diya (lampu) melambangkan bagian dari matahari, sang pemberi kosmik cahaya dan energi untuk seluruh kehidupan, demikian dikutip dari Guests at God's Wedding (2005) karya Tracy Pintchman. Manohar Laxman Varadpande lewat buku History of Indian Theatre (1987) mencatat, istilah Deepavali (Dipavali atau Diwali) bermula dari abad ke-7 Masehi. Deepavali diperkirakan berasal dari bahasa Sanskerta versi Nagananda, yakni Dipapratipadotsava.
                 
Dipapratipadotsava merupakan akronim dari dipa yang artinya “cahaya”, pratipada yang bermakna “hari pertama”, dan utsava yang berarti festival. Dengan demikian, Dipapratipadotsava atau Dipavali atau Diwali dapat dimaknai sebagai hari pertama festival cahaya. Sepanjang perjalanan riwayatnya, ditemukan pula beberapa versi asal-usul Diwali yang lain beserta bukti-bukti sejarahnya. Tradisi ini terus dilestarikan, terus berkembang, bahkan meluas hingga kini. Faktanya, peringatan Diwali saat ini mendunia, dirayakan dengan gegap-gempita tidak hanya di India saja, melainkan di banyak belahan bumi lainnya. Tak hanya itu, perayaan tradisi ini juga menjadi agenda tahunan sebagai komoditas sektor pariwisata


Introspeksi Diri Di Hari Raya Nyepi.

Naskah-naskah kuno yang membahas tentang Brata di hari raya Nyepi salah satunya adalah Lontar Sundarigama. Disana dijelaskan bahwa pada hari raya Nyepi sangat dilarang untuk menyalakan api maupun api nafsu yang ada pada diri manusia. Saya sangat setuju dengan isi Lontar tersebut. Karena pada saat hari raya Nyepi, umat Hindu di Bali mentaati empat larangan yang disebut dengan Catur Brata Penyepian diantaranya Amati Geni yang artinya dilarang menyalakan api, Amati Karya atau tidak boleh melakukan pekerjaan, Amati Lelungan atau tidak boleh bepergian, dan Amati Lelanguan atau tidak boleh mengumbar hawa nafsu. Kenapa kita harus mentaati empat larangan tersebut? Karena orang yang paham akan hakikat Tatwa agama agar melakukan Samadhi, Tapa, dan yoga untuk mencapai alam Sunia atau sunyi pada saat hari raya Nyepi. 

Konsep hari raya Nyepi merupakan salah satu contoh beragama dengan Niwerti Marga yang artinya beragama dengan cara berbenah diri. Selain Catur Brata Penyepian, kita sudah sepatutnya menerapkan ajaran Catur Paramita yaitu Maitri atau sikap bersahabat, Karuna atau cinta kasih, Mudita atau selalu memiliki perasaan gembira dan Upeksa atau tidak boleh memperkeruh masalah. Dan juga menerapkan konsep Tri Pararta yaitu Asih, Punia, dan Bhakti.

Tiga hari sebelum Nyepi dimulai, biasanya umat Hindu di Bali melakukan upacara Melasti ke pantai yang bertujuan untuk mensucikan diri dalam menyambut hari raya Nyepi atau tahun baru Saka. Sementara satu hari sebelum Nyepi, umat Hindu akan menggelar upacara Pangrupukan. Pada saat hari Pangrupukan juga digelar upacara Tawur Kasanga atau Pacaruan Tilem Sasih Kasanga yang bertujuan untuk menetralisir sifat Bhutakala agar tidak mengganggu kehidupan manusia di dunia. Biasanya masyarakat Bali akan mengarak Ogoh-Ogoh pada malam hari. Apa itu Ogoh-Ogoh? Perlu anda ketahui bahwa Ogoh-Ogoh adalah patung raksasa sebagai simbol Bhutakala yang berwujud menyeramkan. Saya berharap agar di hari Pangrupukan bukan hanya mementingkan seremonial semata. Akan tetapi kita harus memaknainya dengan introspeksi diri. Agar tidak seperti perayaan yang sudah lewat terjadi keributan antar pemuda pada saat mengarak ogoh-Ogoh. Kita sudah semestinya tidak mencontoh pengalaman yang tidak baik di masa lalu. Makna Penyepian kita diminta untuk Mulat Sarira atau merenungi apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita kerjakan di masa yang akan datang. 

Seorang bijak Sri-Sri Ravi Shankar menyatakan perayaan adalah sifat alamiah jiwa atau spirit. Setiap perayaan adalah spiritual, sedangkan perayaan tanpa spiritualis tidak memiliki kedalaman. Karena tujuan Nyepi adalah memohon pada tuhan agar mensucikan alam yang menjadi tempat tinggal manusia dan alam semesta. Kita harus mengetahui latar kehidupan di tahun sebelumnya. Dengan mengetahui latar kehidupan pada tahun sebelumnya, kita dapat membuat target kehidupan guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Seperti semboyan Sila Suluh Siwi Sastra, Sundar Sulur Jayaning Rat Matemu, yang artinya Dharma Shanti Penyepian kita aktualisasikan makna Penyepian guna terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Upanisad, manusia terdiri dari Purusa dan Pradana. Purusa adalah unsur jiwa yang membawa kekuatan Catur Citta yaitu Dharma, Wairagya, Aiswarya, dan Jnana. Sedangkan Pradana membawa Panca Klesa yaitu Awidya, Asmita, Raga, Dwesa, dan Abiniwesa. Dalam Bhagawadgita dinyatakan ada dua jenis kecendrungan manusia yaitu sifat dewa dan sifat raksasa. Dalam Khata Upanisad, manusia diumpamakan seperti kereta kuda. Badan kereta ibarat badan jasamani, kuda ibarat Indriya, tali kekang ibarat pikiran, kusir kereta ibarat kesadaran Bhudi dan pemilik kereta ibarat Atman. Kenapa di hari Nyepi kita dituntut melakukan Introspeksi diri? Sebagaimana disebutkan dalam buku Subhasitani pada halaman 172, ibarat matahari terbenam setiap hari mengambil bagian dari durasi hidup kita. Mengetahui hal ini kita harus mengamati setiap hari apa perbuatan baik yang telah kita lakukan. Seseorang harus sering introspeksi diri atas prilakunya setiap hari. Apakah tindakannya itu menyerupai kualitas hewan atau kualitas orang yang mulia.


Kamis, 15 Agustus 2024

Tradisi Penamaan Suku Bali.

Tradisi penamaan di kalangan suku Bali unik karena berkaitan dengan jenis kelamin, urutan kelahiran, dan status kebangsawanan atau kasta. Ini memudahkan masyarakat Bali mengetahui kasta dan urutan kelahiran seseorang. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke-14, pada masa pemerintahan Raja Gelgel "Dalem Ketut Kresna Kepakisan," meskipun pengaruhnya dari Majapahit belum pasti.

Nama berdasarkan Wangsa atau kasta.

Wangsa Brahmana bergelar Ida atau Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan. Dulunya, mereka adalah pemuka agama, pendeta, dan Pedanda.
Tapi di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang termasuk menjadi karyawan, pekerja dan pejabat biasa. 

Wangsa Kesatria bergelar Anak Agung, Cokorda, I Gusti Agung,  dan I Dewa. Mereka adalah keturunan raja, bangsawan dan pejabat tinggi, di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang.

Wangsa Waisya bergelar Ngakan, Kompyang, Sang, atau Si. Dulunya, mereka berprofesi di bidang niaga dan industri tapi di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang, bahkan ada yang menjadi pejabat negara seperti halnya Ksatria. 

Kaum Sudra tidak memiliki gelar kebangsawanan dan menggunakan nama berdasarkan urutan kelahiran seperti Wayan, Putu, Made, Nyoman, dan Ketut, di masa modern saat ini profesi mereka sudah merata di segala bidang bahkan ada yang menjadi pejabat negara. 

Nama berdasarkan jenis kelamin

Kalau laki-laki  namanya ada yang berawalan "I" ada juga tidak. Kalau perempuan ada yang berawalan "Ni" ada juga tidak. Untuk keturunan bangsawan, digunakan "Ida" atau "Ayu" dan "Istri" sebagai padanan "Ayu".

Nama berdasarkan urutan kelahiran.

Kalau anak pertama biasanya nama depannya Wayan, Putu, atau Gede. Sedangkan anak kedua nama depannya Made, Nengah, atau Kadek. Anak ketiga nama depannya Nyoman atau Komang. Dan anak keempat nama depannya Ketut.

Jika memiliki anak lebih dari empat orang, nama-nama ini diulang kembali dengan beberapa variasi. Tradisi ini kini menjadi ciri khas budaya orang Bali.


Menjaga Pikiran.

Jagalah pikiranmu agar tidak melebar jauh dari tujuan utama hidupmu.Terlalu berat ,dan banyak berfikir ,untuk hal-hal yang belum pasti anda ketahui ,untuk hal-hal yang negatif membuatmu lemah dan juga bisa membuatmu sakit. Batasilah pikiranmu hanya untuk hal-hal yang positif yang mengarah untuk kebaikan hidupmu. Jikalaupun masalahmu banyak ruwet dan datang  bersamaan juga bertubi-tubi, tetaplah tenang dan jangan panik.

Fokuslah pada tiga hal yang  urgent dan pilih satu hal yang paling urgent. Carilah solusinya dan pecahkan dengan keyakinan dan doa khusuk. Niscaya satu persatu masalahmu selesai. Intinya jangan memikirkan semua hal. Pikirkanlah yang memang ranah dan ruang yang layak anda pikirkan. Fokuslah untuk mengurusi hidupmu. Sekalipun wajib memberi saran atau masukan untuk sahabat atau rekananmu. Intinya jangan terlalu masuk jika tidak diminta. Berhentilah melibatkan hidup dan pikiranmu yang menguras tenaga, pikiran, dan kemampuanmu untuk orang lain yang tidak benar-benar membutuhkan itu.

Fokuslah untuk menyayangi dirimu, keluargamu, dan lingkungan terdekatmu yamg memang benar perhatian dan menghargaimu. Berbuat baik itu wajib. Namun kita tidak wajib membantu dan membahagiakan semua orang. Berkarma baiklah hanya pada mereka yang memberimu ruang untuk itu. Jagalah pikiranmu, jagalah hatimu, dan jagalah langkahmu. Niscaya tujuan hidupmu untuk bahagia lahir bathin akan lebih cepat terwujud.





Rabu, 14 Agustus 2024

Kenapa Hindu Dituduh menyembah Patung, Batu, Dan Berhala?

Tuduhan bahwa Hindu menyembah patung, batu, atau berhala sering kali berasal dari pemahaman yang memahami atau kesalahpahaman mengenai praktik agama Hindu. Dalam agama Hindu, patung, gambar, atau simbol sering kali digunakan sebagai media untuk membantu pemujaan dan meditasi. Mereka dianggap sebagai penyembah berhala.

Dalam agama Hindu, ada keyakinan bahwa dewa-dewa bisa berada di mana saja dan dalam bentuk apapun, dan patung atau gambar tersebut berfungsi sebagai alat untuk menghubungkan umat dengan aspek ilahi yang lebih besar. Jadi, alih-alih menyembah objek tersebut secara langsung, umat Hindu lebih banyak berdoa dan bermeditasi untuk mencapai hubungan spiritual dengan kekuatan ilahi yang diwakili oleh objek tersebut.

Bicara yang lemah lembut, manis dan sopan.

Tanamkanlah Rasa Peduli dan Prihatin Kepada Mereka yang Menderita, Kehilangan dan Mereka yang Terabaikan. Lakukanlah Tindakan Nyata yang Masif Tanpa Pamerih untuk Membantu, Melayani dan Mengasihi Mereka. Cobalah yang Těrbaik untuk Mělaksanakan dari Setiap Ucapan yang Lěmbut, Manis, dan Měnolong. Inilah Jalan Menuju Tuhan Hyang Maha Esa. 

Dalam Bhagavad Gita, Bab 17, Sloka 15 dijelaskan bahwa "Kata-kata yang tidak menimbulkan kegelisahan, benar, menyenangkan, dan bermanfaat, adalah ucapan yang tepat dari seorang pembicara, Sedangkan ucapan yang penuh kebohongan, kasar, dan menyinggung, adalah ucapan yang tidak pantas." Dalam konteks Bhagavad Gita, sloka ini menekankan pentingnya berbicara dengan cara yang konstruktif dan bermanfaat, serta menghindari ucapan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau konflik.







Selasa, 13 Agustus 2024

Proses kehidupan.

Proses hidup seseorang Bagaikan seorang penambang emas di sungai. Memproses endapan “lumpur hitam”, yang diambil dari dasar sungai. Dipilih” dan “dilebur” jadi logam mulia. Banyak yang diambil, Tapi sedikit yang terpilih. Dan yang terpilih dicuci dengan kesabaran Dan KETABAHAN hingga berkilau. Tapi yang TIDAK TERPILIH, Pasti akan TERJATUH kembali ke dalam sungai,  LENYAP dalam deras nya air. Selanjutnya YANG TERPILIH, Harus masuk dalam PROSES PEMURNIAN. Kuali panas siap melelehkannya.

Siapa yang MENYERAH, Dan tidak bertahan, PASTI akan hancur oleh panasnya kuali pemurnian. Tapi Siapa yang BERTAHAN.., Dialah yang teruji. JADILAH EMAS MURNI Yang TERBAIK. Sahabatku, seperti apa hidupmu saat ini KETAHUILAH, Penderitaan yang kita alami kini Adalah proses kehidupan, untuk memisahkanmu dari segala yang BURUK, yang masih ada dalam hidupmu demi MEMURNIKAN hidupmu untuk dibentuk menjadi “emas murni” yang TERBAIK..!


JANGAN MENYERAH...!

Air mata tdk akan jatuh percuma..!


Sesuatu yg BAIK,Datang untuk siapa yg PUNYA KEYAKINAN


Sesuatu yg LEBIH BAIK..Datang untuk siapa yg BERDAYA UPAYA


Sesuatu yg TERBAIK...PASTI datang untuk siapa yg TIDAK PERNAH MENYERAH !!!



Apakah Bhutakala Sama Dengan Jin?

Pertanyaan mengenai kesamaan Bhutakala dengan jin merupakan pertanyaan yang kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai teks dan tradisi keagamaan, khususnya dalam konteks Hindu dan Islam.  Tidak ada satu pun teks suci yang secara eksplisit menyatakan kesamaan atau perbedaan langsung antara Bhutakala dan jin.  Oleh karena itu, pembahasan ini akan mengkaji konsep kedua entitas tersebut secara terpisah, kemudian menganalisis potensi kesamaan dan perbedaan berdasarkan interpretasi dan analogi.
 
Dalam tradisi Hindu, Bhutakala seringkali dikaitkan dengan entitas gaib yang berkaitan dengan alam semesta.  Konsep ini tidak memiliki definisi tunggal dan bervariasi tergantung pada konteks dan aliran kepercayaan tertentu.  Beberapa teks mungkin menggambarkan Bhutakala sebagai mahluk yang menjaga keseimbangan alam, sementara yang lain menggambarkannya sebagai entitas yang dapat bersifat jahat atau mengganggu.  Tidak ada kitab suci Hindu yang secara khusus mendedikasikan satu bab atau bagian untuk menjelaskan secara detail tentang Bhutakala.  Sebaliknya, konsep ini muncul secara tersebar dalam berbagai teks, seperti Purana dan cerita rakyat.  Pemahaman tentang Bhutakala seringkali bergantung pada interpretasi dan tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.  Oleh karena itu, sulit untuk memberikan rujukan kitab suci yang spesifik untuk definisi Bhutakala.
 
Di sisi lain, konsep jin dalam Islam dijelaskan secara lebih sistematis dalam Al-Quran.  Jin digambarkan sebagai makhluk gaib yang diciptakan dari api yang tak terlihat, berbeda dengan manusia yang diciptakan dari tanah liat.  Al-Quran menjelaskan bahwa jin memiliki kebebasan memilih antara kebaikan dan kejahatan, dan mereka dapat berinteraksi dengan manusia, baik secara positif maupun negatif.  Beberapa jin taat kepada Allah dan beriman, sementara yang lain menolak dan menjadi sumber fitnah atau gangguan.  Ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang jin tersebar dalam berbagai surah, dan memberikan gambaran yang relatif jelas mengenai sifat dan kemampuan mereka.  Sebagai contoh, surah Al-Jinn (72) secara khusus membahas tentang jin dan interaksi mereka dengan manusia.
 
Membandingkan kedua konsep ini, kita dapat melihat beberapa potensi kesamaan.  Baik Bhutakala maupun jin digambarkan sebagai entitas gaib yang dapat berinteraksi dengan dunia manusia.  Keduanya juga dapat memiliki sifat yang baik maupun jahat, tergantung pada perilaku dan niat mereka.  Namun, perbedaan yang signifikan terletak pada sumber dan deskripsi mereka.  Konsep Bhutakala lebih ambigu dan bervariasi dalam tradisi Hindu, sementara konsep jin dijelaskan secara lebih sistematis dan terstruktur dalam Al-Quran.
 
Perlu diingat bahwa interpretasi terhadap teks-teks suci seringkali bersifat subjektif dan bergantung pada konteks budaya dan pemahaman masing-masing individu.  Oleh karena itu, kesimpulan yang pasti mengenai kesamaan atau perbedaan antara Bhutakala dan jin sulit untuk dibuat.  Perlu kajian lebih lanjut dan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai teks dan tradisi untuk dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif.  Perbandingan ini lebih merupakan eksplorasi konseptual daripada penegasan faktual.  Menyatakan kesamaan atau perbedaan secara mutlak tanpa konteks dan nuansa yang tepat akan menjadi penyederhanaan yang berlebihan.

Kenapa Hindu Memberikan Persembahan Kepada Bhutakala?

Tradisi memberikan persembahan kepada Bhutakala bukan hanya ada di Bali. Di India pun mengenal tradisi seperti itu. Kalau tidak percaya, coba saksikan film India yang berjudul Mahadewa, ketika terjadi perang antara para dewa melawan para Bhuta. Bukankah boss para dewa adalah dewa Siwa juga? Jadi kesimpulannya adalah dewa dan Bhuta itu pada prinsipnya adalah sama-sama anak dari tuhan. Dan yang perlu kita ingat  adalah film Mahadewa adalah produk India dan bukan produk Bali. Dengan kata lain umat Hindu di India pun mengakui bahwa Bhuta  itu bukan mahluk haram. Maka dari itu, Hindu di Bali mengenal istilah Dewa Ya Bhuta Juga Ya.

Selain itu, pada hari Pengrupukan atau malam sebelum hari Nyepi ada istilah Nyomia Bhuta. Nyomia Bhuta adalah salah satu tradisi atau ritual dalam budaya Bali yang bertujuan untuk menenangkan atau menyeimbangkan energi-energi negatif yang dipercayai hadir dalam kehidupan manusia. Istilah "Bhuta" merujuk pada roh atau entitas gaib yang dianggap memiliki energi negatif atau destruktif. Dalam konteks tradisi Bali, nyomia bhuta dilakukan sebagai upacara untuk memohon kedamaian dan agar energi negatif ini tidak mengganggu kehidupan manusia.

Ritual ini biasanya melibatkan persembahan tertentu, seperti sesajen yang berisi makanan, bunga, dan benda-benda lain yang dianggap sakral, yang diletakkan di tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat berkumpulnya roh-roh tersebut. Tujuan utama dari nyomia bhuta adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia gaib) serta menjaga keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Hindu di Bali juga ada tradisi membuat Ogoh-Ogoh pada saat Pengrupukan. Ogoh-Ogoh adalah simbol perwujudan Bhutakala. Oleh karena dewa dan Bhuta sama-sama anak dari tuhan, makanya Bhuta dalam Hindu tidak diusir atau dimusuhi. Melainkan diberi Labahan atau Segehan [makanan] agar mereka tidak mengganggu menurut mitologi Hindu di Bali. Memberi makanan tidak sama dengan menyembah sebagaimana pendapat agama non Hindu dan orang yang mengaku Hindu tidak boleh berpandangan seperti itu. Kita menyayangi dan memberi makan pada sapi bukan berarti kita menyembah sapi melainkan simbol menyayangi semua mahluk atau yang biasa disebut dengan Prema.

Orang yang terbiasa membaca kitab suci pasti selalu menanyakan sesuatu hal misalnya tradisi itu apakah ada dalam kitab suci atau tidak? Hal itu adalah wajar dan tidak salah. Mereka ingin tahu dan mereka sudah mulai berpikiran kritis. Maka dari itu kita sebagai orang yang intelektual harus bisa menjelaskan sesuatu kepada mereka yang belum mengerti. Karena Hindu itu bukan agama hukum dan tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Belajar Hindu harus secara komprehensif dan kronologis. Contohnya, apakah Ogoh-Ogoh ada dalam kitab suci? Tentu saja tidak ada. Pasalnya dasar sastra yang menyebut Ogoh-Ogoh memanglah tidak ada. Tapi yang ada hanyalah mengusir Bhutakala. Dan mengusir Bhutakala model Hindu tidaklah sama caranya dengan model agama lain dalam mengusir setan. Kalau agama lain mengusir setan dengan cara kasar yakni dilempar. Tapi kalau cara Hindu adalah dengan menyenangkan atau memberi Segehan atau Caru. Sementara Ogoh-Ogoh adalah Bhutakala yang Personifikasi atau dibuatkan wujud.

Banyak orang-orang yang suka filsafat sering menyarankan agar tradisi mengarak ogoh-ogoh saat Pengrupukan dihilangkan. Tentu saja hal ini akan menjadi kontroversi dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Jika Ogoh-Ogoh dihilangkan, itu artinya sama dengan menghapus Hindu karena itu adalah hiburan keagamaan. Tapi yang harus selalu ada dalam menyambut Nyepi adalah penyucian desa dan rumah dengan api. Tujuannya untuk menetralisir hal-hal negatif ataupun kekotoran. Kenapa di Bali harus ada Ogoh-Ogoh ketika menyambut Nyepi? Karena Ogoh-Ogoh di Bali adalah simbol Bhutakala atau sifat negatif manusia. Makanya Bhutakala itu tidak dihilangkan dengan cara kasar tetapi dengan cara halus. Dengan cara memberikan Caru atau Segehan yang disebut Tawur Kesanga agar Bhutakala itu senang hatinya. Ketika hatinya sudah senang maka beliau akan berubah menjadi Dewa menurut konsep Hindu Di Bali. Ketika beliau telah berubah menjadi Dewa, maka kita akan tenang melakukan Catur Brata Penyepian yaitu empat hal yang dilarang saat Nyepi diantaranya tidak boleh menyalakan api. Dan api disini bukan saja berarti api, tetapi juga berarti api amarah yang ada di dalam diri manusia dan api hawa nafsu yang disebut Sadripu. Yang kedua tidak boleh bekerja, ketiga tidak boleh bepergian, dan keempat adalah tidak boleh bersenang-senang.

Saya sangat setuju dengan adanya Ogoh-Ogoh di malam Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Asalkan Ogoh-Ogoh Itu berbentuk Bhutakala seperti Raksasa, Celuluk, Rangda dan lain-lain. Asalkan Ogoh-Ogoh itu tidak menyimpang dari tema Bhutakala. Karena jaman sekarang itu kreatifitas seseorang hampir melewati batas norma kemanusiaan yang melanggar undang-undang Pornografhy. Misalnya membuat ogoh-ogoh yang bersifat Porno dengan memperlihatkan alat kelamin pada ogoh-Ogoh. Kalau Ogoh-Ogoh sampai dibuat ada kelaminnya, itu oknum perorangan yang tidak mengerti filsafat agama, etika, dan ritual dan juga tidak memikirkan dampak negatifnya. Ogoh-Ogoh yang menampilkan hal-hal porno sangatlah bertentangan dengan undang-undang Pornografi dan juga bertentangan dengan ajaran agama.

Selain memberikan persembahan kepada Bhutakala, Hindu di Bali juga mengenal konsep memanusiakan alam, lingkungan dan Tuhan. Makanya orang-orang yang tidak paham dengan Hindu tradisi Bali, mereka pasti akan mengatakan bahwa Hindu di Bali adalah penyembah mahluk halus, bersekutu dengan setan, iblis, penyembah berhala, pohon, batu, dan lain-lain. Konsep memanusiakan alam dalam tradisi Bali misalnya pohon dihiasi dengan kain. Pohon juga diberikan Rarapan seperti kue, permen, rokok, kopi dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga, Hindu di Bali tetap memegang teguh konsep Wyapi Wyapaka yang artinya tuhan ada di mana mana termasuk ada di pohon, batu, dan lain-lain. Meskipun Hindu di Bali dituduh penyembah berhala, tapi sesungguhnya tetap memuja Tuhan. Mengenai Hindu di Bali diperbolehkan mempersembahkan darah dan daging binatang, itu disebabkan karena Hindu di Bali menganut paham Siwa Sidanta dan Bairawa

Hindu memandang Bhutakala ataupun mahluk jahat yang lain bukan sebagai unsur kejahatan mutlak, bukan sebagai musuh, atau sesuatu yang seharusnya tak ada di antara manusia dan tuhan. Melainkan bagian dari rangkaian penciptaan yang lahir dari sang pencipta sendiri. Tanpa kehadiran mereka, tidak akan ada yang disebut sebagai kebaikan. Bagaimana kalau kekuatan jahat itu tidak ada? Mungkin alam yang kita pijak sekarang ini bukanlah bernama bumi. Disinilah tempat keberadaannya semua Tatwa termasuk Rwa Bhineda sebagai dua perbedaan yang tetap seimbang. Umat Hindu pada saat melaksanakan rangkaian upacara apapun, selalu menghadirkan atau mengundang para Bhutakala dalam upacara yadnya. Bhutakala juga diundang untuk diberi sesajen dan setelah mereka menikmatinya diharapkan untuk tidak mengganggu proses dan jalannya upacara yadnya. Satu hal lagi yang unik yaitu rasa bersahabat yang diberikan dan ditunjukkan oleh orang-orang Hindu kepada Bhutakala, dimana setiap pagi setelah kita memasak, kita memberikan persembahan rutin dalam wujud Yadnya Sesa. Semua yang kita lakukan itu ada landasan Filosofinya dari Weda sendiri. Bukan sekedar ritual yang tak beralasan dan yang bersifat sia-sia. Bukan suatu ketakutan dari orang-orang Hindu terhadap kekuatan Bhutakala apalagi untuk menduakan tuhan.

Dan mengenai Ritual Mecaru atau Tawur mempunyai makna untuk memberikan upah kepada para Bhuta supaya tidak mengganggu saat melaksanakan pemujaan. Setelah para Bhuta tersebut diberikan Lelaban atau upah melalui ritual Mecaru, maka mereka tidak akan mengganggu dalam kurun waktu tertentu sesuai besarnya upah yang diberikan. Setelah kurun waktunya habis maka para Bhuta tersebut akan mengganggu lagi sehingga perlu dilakukan ritual Mecaru lagi, begitu seterusnya. Kenapa para Bhuta perlu diberikan upah sebelum melaksanakan pemujaan? Secara umum, umat Hindu di Bali melakukan pemujaan akan mempersembahkan daging yang merupakan kesenangan para Bhuta. Jika para Bhuta tersebut tidak diberikan upah maka persembahan yang ada dagingnya tersebut akan diambil oleh para Bhuta. Berbeda halnya jika dalam melakukan pemujaan tidak mempersembahkan daging maka tidak perlu dilakukan ritual Mecaru. Karena persembahan tersebut tidak akan diganggu karena tidak ada dagingnya. Yang dimaksud Nyomya saat ritual Mecaru adalah berdamai. Artinya setelah para Bhuta diberikan upah melalui ritual Mecaru atau Tawur maka mereka tidak akan mengganggu karena sudah berdamai dalam kurun waktu tertentu. Dalam Bhagawadgita sloka 13-21 dijelaskan bahwa alam adalah penyebab segala sebab dan akibat material. Sedangkan mahluk hidup adalah penyebab berbagai penderitaan dan kenikmatan di dunia ini. Mungkin penjelasan dari sloka di atas adalah apabila Atman menempati badan sebagai para Bhuta maka ia akan berprilaku sebagai para Bhuta dan ia tidak akan bisa merubah prilakunya apalagi seperti para Dewa. Hanya dengan diberikan Lelaban atau segehan melalui ritual Mecaru. Selain itu, yang berwenang menentukan naik turunnya tingkat sang roh adalah perbuatannya sendiri dan rasa bhaktinya terhadap tuhan.

Sementara ritual Kesanga atau sehari sebelum Nyepi merupakan upacara Bhuta Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Tawur artinya membayar atau mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari alam itu dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Bhuta dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis.





Minggu, 11 Agustus 2024

Semakin Menua, Jiwa Seharusnya Semakin Damai.

Kitab Katha Upanishad Sloka pertama berisi ajakan kepada pembaca untuk bangkit dan berjaga-jaga dalam pencarian pengetahuan yang lebih tinggi. Konteksnya adalah ajakan untuk tidak terjebak dalam rutinitas hidup sehari-hari, melainkan untuk mengejar pemahaman yang lebih dalam tentang realitas dan tujuan hidup. "Uttisthata" berarti bangkit, "jagrata" berarti berjaga-jaga, dan "prapya varan" berarti setelah mencapai kebijaksanaan. Ini menekankan pentingnya kesadaran dan usaha aktif dalam pencarian spiritual

Semakin menua kita seharusnya menciptakan hidup damai, tenang, dan mengabdi untuk kehidupan. Tidak mau ribut, ribet dan ruwet. Apalagi meladeni orang toxic. Jika mampu, singkirkanlah semua racun yang merusak kehidupanmu. Menua bukan tentang usia. Tapi tentang tanggung jawab dan kesadaran. Bagaimana anda berkehidupan dengan menyadari hidup hanya setarikan Nafas. Seharusnya semakin bijak. Bukan semakin ego dan menuruti keinginan. Semoga semakin tahu diri Bahwa tidak semua orang bisa memahami, memaklumi dan memaafkan.

Sahabat tercinta, Orang lain boleh jahat, Boleh berkhianat, dan Boleh menyakitimu. Tapi, Jangan denganmu. Anda harus selalu memaafkan dan tetap berbuat baik. Usia boleh menua tapi jiwa harus selalu muda, tetap semangat, tetap berkarya dan tetal bekerja. Dan yang paling penting adalah bagaimana anda tahu berterimakasih. Berterimakasih untuk apapun, dan untuk siapapun. Cintailah dirimu sendiri. Karena tidak ada orang yang bisa mencintaimu melebihi dirimu sendiri. Termasuk suami dan anak-anakmu. Hempaskanlah orang-orang yang berkhianat. Pertahankanlah orang yang sayang dan mencintaimu. Bila dibenci jangan balas membenci. Jangan biarkan siapapun merampas kebahagiaanmu.

Bijak itu sebenarnya keputusan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. tapi karena pertimbangan yang rasional kemanusiaan, maka pelanggaran yang dilakukan seseorang bisa dieleminir dan masih menguntungkan orang banyak.
Untuk memutuskan inilah diperlukan orang yang berwawasan luas dari segi agama dan kemanusiaan yang selalu mengedepankan logika dan wiweka.

Dalam kitab Slokantara Sloka 31 dijelaskan bahwa orang sadhujanma atau budiman walaupun ia amat miskin, ia tidak akan melakukan pekerjaan tercela.
Seseorang yang lahir dari keluarga baik-baik, walaupun hidupnya semiskin pengemis, ia tidak akan melakukan pekerjaan jahat.
Memikirkan pun ia tidak mau.




Sabtu, 10 Agustus 2024

Kesabaran.

Di bawah ini ada sebuah cerita tentang kesabaran seorang wanita  yang saya kutip dari tulisan di Google. Mari kita simak ceritanya.

Seorang wanita memenuhi undangan wawancara untuk sebuah pekerjaan yang diinginkannya. Sesuai dengan undangan yang diterimanya, wanita itu datang tepat jam 5 pagi di musim hujan yang dingin. Setelah sampai, dia dipersilahkan masuk dan menunggu selama 3 jam sebelum diwawancarai. Apa yang ditanya penguji terhadap wanita ini saat wawancara? Wanita tersebut hanya disuruh mengeja abjad dan disuruh menjawab pertanyaan sepele "2+2 jadinya berapa?" Setelah itu, wanita tersebut disuruh pulang.

Jika kita menjadi wanita ini, bagaimana reaksi kita? Tentunya kita akan marah sebab kita merasa dipermainkan. Mengapa disuruh datang jam 5 pagi, bukankah seharusnya lebih manusiawi jika disuruh berangkat lebih siang? Saat kita sudah datang jam 5 pagi, ternyata masih harus menunggu 3 jam lamanya, bukankah kita punya alasan untuk marah? Sebab kita membayangkan nyamannya 3 jam di pagi hari itu jika digunakan untuk melanjutkan tidur.  Terlebih lagi pertanyaan yang diberikan kepada kita adalah pertanyaan anak TK, bukankah kita bisa marah? Datang jam 5 pagi dan menunggu 3 jam hanya untuk pertanyaan bodoh seperti itu?

Namun dari banyak pelamar, wanita inilah yang akhirnya diterima bekerja. Mengapa bisa demikian? Si penguji menjelaskan alasannya, "pertama, saya menyuruhnya datang jam 5 pagi sementara hujan sedang turun. Saat ia datang berarti dia punya Komitmen. Saat saya menyuruhnya menunggu selama 3 jam dan dia melakukannya, berarti dia punya Kesabaran. Saat saya memberikan pertanyaan sepele, dia tidak jengkel dan marah, berarti dia punya Pengendalian Diri yang bagus". Sahabat, sesungguhnya setiap hari kita dihadapkan dengan ujian-ujian kehidupan semacam itu. Melalui hal-hal kecil dan sepele sesungguhnya kesabaran, komitmen, integritas dan karakter kita sedang diuji. Jika kita berhasil lulus melalui ujian-ujian seperti itu, percayalah bahwa berkat dan keberhasilan sudah menanti di depan kita. Jadilah pemenang atas setiap ujian kehidupan.

Sabtu, 03 Agustus 2024

Kenapa Terjemahan Bagawadgita Tidak Sama Di Setiap Jilidnya?

Dalam Bhagawad Gita: Bab 9 Sloka 23 berbunyi: Wahai putra Kunti, bahkan para penyembah yang dengan setia memuja dewa-dewa lain juga memuja-Ku. Namun, mereka melakukannya dengan cara yang salah. Yang jadi pertanyaan adalah kenapa Menyembah dewa dikatakan salah? 

Terkadang terjemahan kitab Bhagawadgita selalu tidak sama di setiap jilidnya. Karena terjemahan Bhagavad Gita bisa bervariasi karena beberapa faktor. Berikut adalah beberapa alasan utama:

Bahasa Asli dan Nuansa: Bhagavad Gita ditulis dalam bahasa Sanskerta yang sangat kompleks dengan banyak nuansa. Penerjemah mungkin menafsirkan kata atau frasa tertentu secara berbeda tergantung pada konteks dan pemahaman mereka tentang bahasa Sanskerta.

Pendekatan Filosofis: Berbagai penerjemah mungkin memiliki pendekatan filosofis atau teologis yang berbeda, yang dapat mempengaruhi bagaimana mereka menerjemahkan teks. Beberapa mungkin lebih fokus pada aspek metafisik, sementara yang lain mungkin lebih menekankan pada aspek praktis atau etika.

Versi Teks: Ada beberapa versi teks Bhagavad Gita yang mungkin sedikit berbeda dalam hal urutan kata atau bagian yang disertakan. Ini dapat mempengaruhi terjemahan.

Interpretasi Pribadi: Penerjemah sering kali memasukkan interpretasi pribadi mereka ke dalam terjemahan mereka, yang dapat menghasilkan perbedaan dalam teks akhir.

Tujuan dan Audiens: Tujuan terjemahan dan audiens yang dituju juga dapat mempengaruhi cara penerjemah menafsirkan dan menyajikan teks.

Karena faktor-faktor ini, tidak mengherankan jika ada variasi dalam terjemahan Bhagavad Gita di berbagai jilid atau edisi.



Jumat, 02 Agustus 2024

Jangan menyerah.

Hidup memang tidak mudah untuk ditempuh maupun disentuh. Meskipun demikian, kita harus tetap semangat dan selalu optimis dalam menjalani hari. Dan ketika menemukan rintangan, maka jadikanlah itu kesempatan untuk terus berkembang dan kuat. ingat, besi yang ditempa terus menerus dan berulang, akan menjadikan sebuah nilai yang begitu berharga. Dan di saat kita akan menggapai sebuah impian, dibutuhkan kesungguhan usaha dan ketekunan serta semangat yang besar pula dalam menjalaninya. Jangan pernah takut untuk gagal. Karena  kegagalan bukan berarti akhir dari suatu kalimat. Namun itu adalah awal dimana kita akan memahami makna sebuah perbaikan untuk langkah ke depannya menjadi lebih baik. Tetaplah bangkit dan teruslah melaju walaupun langkah terasa begitu berat. Ingat, hidup tidak selamanya sulit. Tentu akan ada kemudahan yang mengiringi dalam setiap perjalanan. Jangan pernah menyerah. Selama matahari masih terbit, harapan itu selalu ada. Di bawah ini ada sebuah cerita yang saya kutip dari Google.

Ada seorang pemuda yang stress berat karena bisnisnya gagal. Dia mengunjungi orang bijak untuk minta petunjuk.

"Semua yang saya rintis, lenyap seketika. Tabungan habis. Hidup ini tidak ada artinya lagi" ujar pemuda itu. Setelah mendengarkan keluh kesah si pemuda, berkatalah si orang bijak.

"Apakah masih bisa melihat? Apakah tangan dan kaki masih berfungsi ?"

"Bisa Pak" sahut pemuda itu

"Apakah masih bisa berpikir ?"

"Bisa Pak"...

"Kalau begitu, masih bisa tertolong. Masih banyak aset berharga lainnya yang dimiliki." Kataorang bijak itu. Kemudian orang bijak bertanya lagi "Ketika dilahirkan, apakah sudah langsung memiliki uang ?"

"Tidak"

"Apakah akan membawa uang ke liang kubur pada saat meninggal ?"

"Tidak !"

"Jadi sebenarnya tidak ada yang habis, bukan ?".

Nah sobat, saat menghadapi kemunduran atau kerugian, janganlah merasa bahwa semuanya telah habis. Tidak ada yang habis di dalam hidup ini kecuali harapan untuk melakukan perubahan. Berjuanglah dengan penuh semangat dan strategi yang baru serta yakini bahwa selalu ada jalan keluar bagi orang yang mau berjuang dengan sepenuh hati. Kesuksesan pasti akan bisa diraih kembali. Kita belajar ikhlas dari sesuatu yang sulit kita ikhlaskan. Kita belajar menerima dari sesuatu yang sulit kita terima. Namun dari hal-hal itu,kita harus sadar bahwa tak selamanya yang kita dengar, lihat, jalani, alami, bahkan rasakan, akan terwujud sesuai harapan kita. itulah sebabnya kita diajarkan untuk bersyukur. Jika kita bisa mengendalikan diri, maka kita akan bisa mengendalikan segala tindakan kita. Ada banyak hal yang tidak kita inginkan untuk terjadi, namun terjadi dan kita harus belajar darinya. Ada banyak hal yang juga tidak ingin kita lihat, namun tetap terlihat dan harus di hadapi. Ada banyak hal yang tak ingin kita dengar, namun juga tetap terdengar dan harus kita pahami. Sebuah kenyataan tidaklah mungkin untuk dihindari, namun hanya dapat dihadapi. Namun bagi mereka yang tak putus asa akan selalu ada harapan.